Kalau Mbah Siti masih hidup, pasti dia bangga. Karena sebagai pembatik rumahan, tak pernah terbersit di pikirannya bahwa batik yang digelutinya seumur hidup akhirnya diakui dunia.
Apalagi kalau Mbah Siti melihat banyak pegawai dan orang Jakarta memakai batik hari ini. Hari bersejarah di mana batik diakui sebagai warisan dunia asal Indonesia oleh UNESCO.
Mbah Siti pasti senang. Tapi dia tidak pernah mengharapkan hal itu. Bagi pembatik kecil seperti dirinya, membuat batik dijalani sebagai sebuah profesi dan ritual penciptaan karya seni. Sama seperti seorang pelukis dengan lukisannya. Atau saya cucunya yang jadi wartawan dengan tulisannya.
Unsur komersial sebangai penghidupan tentu ada, tapi berkarya adalah yang utama. Karena itu dulu saat membatik mulai ditinggalkan kebanyakan wanita Jawa, si mbah tetap bertahan.
Saya ingat sekali hari itu, saat itu saya masih SD. Saya bertanya pada Mbah Siti (dia nenek saya dari pihak ibu yang merupakan adik perempuan kakek saya): mengapa dia tetap membatik, padahal sudah jarang dan kalau dijual harganya tak seberapa.
Mbah Siti, yang sedang sibuk menorehkan canting berisi malam panas mengikuti pola batik bergambar burung merak, mengatakan bahwa dirinya sudah lekat dengan batik. Dia mengatakan membatik bukan soal berapa batik laku dijual. Toh dia tidak menggantungkan diri dari batik tulis yang jadi dua bulan sekali.
Memang saat itu harga batik tak begitu mahal. Lain dengan saat Mbah Siti masih muda, kala itu batik masih bisa jadi penghidupan. Makanya Mbah Siti dan saudaranya mengajari ibu saya (keponakannya) untuk membatik juga.
Jadi untuk bayar SPP sekolah, ibu saya harus membatik satu kain mori dulu. Makanya dulu Sendangharjo, Tuban, Jawa Timur, tempat mereka tinggal, terkenal sebagai sentra batik. Para perempuan membatik, sementara para suami bekerja di besalen membuat senjata dan alat pertanian atau dikenal sebagai pandai besi. Sampai hari ini paman saya masih melestarikan pandai besi milik keluarga.
Lalu waktu berjalan, batik kurang diminati, hanya acara-acara tertentu yang butuh batik. Apalagi muncul batik cap atau batik pabrik yang tak butuh waktu lama membuatnya, dan tentu saja murah harganya. Maka nasib orang seperti Mbah Siti makin tak berdaya. Banyak yang kemudian memilih meninggalkannya.
Tapi Mbah Siti, yang selalu kuganggu saat membatik dengan mengambil malamnya untuk mainan, tetap bertahan dengan batiknya. Dia merasa puas jika batiknya selesai dan pulang dari tempat pewarnaan atau diwedel.
Dia juga masih bangga saat itu walau sedikit nenek-nenek Jawa yang pesan batik kepadanya. Dia juga senang saat batik Jawa menasional walau hanya untuk acara tertentu.
Waktu berjalan, Mbah Siti tetap setia dengan batiknya sampai akhir hayatnya. Mbah sudah tiada saat kemeja batik mulai populer. Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) lah yang mempopulerkan kemeja batik dan memakainya di setiap kesempatan. Setelah itu banyak yang memakai kemeja batik untuk kerja atau mejeng, bukan cuma kondangan saja.
Tapi orang serupa Mbah Siti masih ada di hari batik ini. Mereka masih bertahan dengan canting dan malamnya, terjepit dihimpit industri batik cap dan printing. Walau saat ini batik tulis lebih mahal dari batik cap, namun pemasarannya masih dikuasai saudagar dan industri.
Pembatik tulis hanya menerima tak seberapa. Namun sampai hari ini mereka masih ikhlas bekerja, walau gelungan rambut sudah memutih, walau tangan sudah gemetar memegang canting, tapi mereka terus berkarya. Demi tradisi agar terus lestari, demi menjaga kebudayaan bangsa. Nguri-uri kabudayaan Jawi, begitu kata Mbah Siti.
Batik akhirnya diakui dunia, semoga kita tidak hanya mengapresiasi karyanya saja, semoga nasib pembatik sejati seperti Mbah Siti juga terapresiasi dan menjadi lebih sejahtera.
Jakarta, 2 Oktober 2009