Beras di Keris dan Kemakmuran di Negeri Agraris

Belakangan ini salah satu kabar yang ramai dibahas adalah soal naiknya harga beras. Karena beras adalah bahan pokok dan makanan utama mayoritas masyarakat Indonesia, maka banyak yang protes atas kenaikan harganya.

Tulisan ini tak hendak membahas soal polemik kenaikan harga beras itu sendiri. Namun akan menjelaskan mengapa beras itu penting bagi mayoritas masyarakat kita.

Saking pentingnya, bahkan beras oleh masyarakat Jawa (juga di berbagai daerah Nusantara) tidak hanya jadi bahan pokok, tapi juga jadi simbol kemakmuran. Simbol ini bahkan disematkan di pusaka yang sangat dihargai yaitu; keris.

Yang paling populer tentu saja pamor keris Beras Wutah atau Wos Wutah. Nama pamor ini artinya secara harfiah adalah beras yang tumpah. Di Bali pamor ini disebut Baas Wutah. 

Itu adalah simbol dari kemakmuran dan kesejahteraan. Karena beras sendiri adalah sesuatu yang berharga, apalagi jika sampai tumpah-tumbah bertebaran. Sebuah pemandangan yang biasanya ada di lumbung atau gudang beras besar.

Di Budaya Jawa, Beras Wutah juga simbol dari keikhlasan atau pemberian yang tak bisa (ditarik) kembali, atau sesuatu yang sudah terjadi tidak bisa dikembalikan lagi. Ini sering diucapkan dalam pepatah: beras wutah arang bali meyang takarane (beras yang tumpah jarang bisa kembali ke takaran semula).

Pakar Keris Bambang Harsrinuksmo dalam buku “Pamor Keris” mengungkapkan bahwa pamor Beras Wutah adalah pamor yang paling paling banyak dijumpai dalam dunia perkerisan. Pamor yang tergolong pamor tiban ini, dengan berbagai variasinya, kata Pak Bambang, mungkin ada di lebih dari 50 persen keris yang dibuat.

Selain “pamor sejuta umat” tersebut, ada juga pamor lain yang terkait beras yaitu: Pendaringan Kebak. Pendaringan Kebak arti harfiahnya adalah tempat menyimpan beras yang penuh isinya.

Orang zaman dahulu menyimpan beras di pendaringan yang berupa kotak penyimpanan yang terbuat dari kayu. Penuhnya pendaringan oleh beras menandakan kemakmuran dan kesejahteraan pemiliknya. 

Maka kata Pak Bambang, maknanya pamor ini serupa dengan Beras Wutah. Hanya saja pamorPendaringan Kebak wujudnya lebih banyak dan menyelimuti hampir seluruh permukaan bilah.

Lalu ada juga pamor Pari Sawuli. Arti harfiahnya adalah padi sehelai. Sebelum menjadi butir beras, wujudnya adalah butir gabah, dan sebelum butir gabah dirontokkan, dia terjalin bersama di helai padi. Ini yang dinamakan Pari Sawuli. 

Karena itu, menurut Pak Bambang, pamor ini selain terkait kesejahteraan atau kemakmuran, juga bermakna pengayoman. Terutama di lingkungan keluarga. Laksana kebersamaan dalam ikatan butir-butir padi tadi.

Selain itu ada juga meniran atau pecahan kecil butir beras, yang juga dipakai untuk menyebut atau menamai ornamen titik-titik kecil di sandangan keris. Misalnya meniran di mendak dan ornamen lain. Juga Dewi Sri, sang dewi padi yang dijadikan dhapur keris, dan lain sebagainya.

Memang beras ini sejak masa lalu adalah simbol kemakmuran. Dia juga menjadi kebutuhan pokok dan komoditi yang berharga bagi masyarakat di negeri agraris dan bertanah subur ini. 

Di Zaman Majapahit, beras adalah komoditi utama yang tidak hanya dipakai untuk pemenuhan kebutuhan pokok, tapi juga menjadi komoditi yang berharga dalam perdagangan. Ini terekam dalam catatan Tome Pires yang berkelana di Nusantara di abad ke-16 yang kemudian dibukukan dalam “Suma Oriental”.

Di sana Pires mencatat bahwa Negeri Jawa hanya memiliki barang dagangan kaum pagan yaitu: empat atau lima jenis beras yang besarnya tak terhitung. Beras-beras ini sangat putih dan kualitasnya lebih baik di bandingkan beras dari wilayah manapun. Saat itu beras jadi komoditas utama, meski Jawa juga ada komoditas lainnya seperti cabe, asam, kapulaga, sayuran, emas, tembaga, sampai budak.

Pires juga mencatat Jawa dan Sunda juga terlibat jual beli beras ini. Kerajaan Sunda menjual beras sebanyak lebih dari 10 Jung tiap tahunnya sampai ke Malaka dan dua atau tiga Jung dari Malaka juga sering datang ke Sunda untuk memperjualbelikan budak, beras, dan merica.

Di Era Demak sampai Mataram, Jawa juga menjadi lumbung beras yang sampai diekspor ke kawasan lain di Asia Tenggara. Anthony Reid dalam bukunya “Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Jaringan Perdagangan Global” mengungkapkan pengiriman beras ini dari Jawa memakai Jung atau kapal kayu yang sangat besar. 

Bahkan saat orang Belanda menangkap dan membakar Jung pengangkut beras dari Mataram, di tahun 1618, salah satu muatannya bobotnya lebih dari 200 ton. Menurut Reid, yang biasa memakai kapal angkutan besar seperti ini hanya China dan Eropa.

Beras Jawa adalah beras terbaik. Ini terus diakui sampai di Era Kolonial. Ini tercatat dalam manuskrip tertua dalam Bahasa Inggris tentang Pulau Jawa yang terbit pertama tahun 1811: “The Island of Java” karya John Joseph Stockdale.

Menurut Stockdale barang yang dihasilkan di Pulau Jawa jauh lebih berharga ketimbang barang-barang yang dihasilkan negeri-negeri tetangganya. Barang-barang ini terutama adalah; beras, yang melampaui beras negeri-negeri lain berkat kelimpahannya, kesempurnaannya, dan rasanya. 

Jawa tidak hanya meghasilkan beras untuk memenuhi kebutuhan penduduknya saja,  tetapi juga untuk menyediakan bahan makanan bagi provinsi-provinsi di timur dan Ceylon (Sri Langka). Bahkan saking suburnya sawah di Jawa, tidak diperlukan pupuk untuk mendapat hasil panen berlimpah. 

Thomas Stamford Raffles dalam “The History of Java” menjelaskan bahwa berlimpahnya beras di Jawa karena kesuburan tanahnya yang banyak terdapat gunung berapi dan sungai yang menunjang pertanian. 

Sungai dan sistem irigasi ini, menurut Raffles, jumlahnya ribuan dan ditambah dengan karakter tanah yang subur dan baik menjadikannya siapa ditanami padi kapan saja. Tanah di Jawa disebutnya lebih subur dibanding tanah di negara-negara Melayu lainnya, terutama di Semenanjung Sumatera dan Malaya, serta menyerupai tanah-tanah paling bagus di Eropa.

Tanah ini, ungkap Raffles tidak perlu pupuk dan tidak memerlukan perawatan yang berarti, sampai padi siap dipanen. Ada satu kali panen besar dan panen kecil setiap tahunnya. Saking berlimpahnya, bahkan petani termiskin bisa untung besar dari sana.

Di buku yang sama kita juga bisa baca bagaimana beras dari Jawa menjadi penyumbang besar pundi-pundi kolonial selain rempah-rempah, kayu, dan komoditas lainnya. 

Dari catatan sejarah tentang beras tersebut, kita bisa melihat betapa makmurnya negeri ini di masa lalu dari sektor agraris. Bahkan kita tidak hanya bisa swasembada, tapi juga bisa menjadi penyuplai beras ke negeri-negeri tetangga, bagkan bangsa kolonial yang datang dari negeri nun jauh di Benua Eropa.

Ini tentu berbanding terbalik dengan kondisi negeri saat ini di mana kita masih mengklaim sebagai negeri agraris, tapi beras harus impor. Belum lagi banyak sawah yang mati atau beralih fungsi jadi bangunan perumahan, atau bangunan lainnya.

Kini, saat bangsa lain memajukan teknologi pertanian, bahkan sampai memakai drone dan robot, anak muda kita di desa malah banyak yang malu bertani. Lebih bangga jadi buruh bangsa tadi. Sarjana pertanian kita justru malah pada banting setir kerja bukan di bidangnya. 

Serta banyak hal lainnya yang membuat kita bukan raja beras lagi, dan kemakmuran negeri agraris saat ini hanya tinggal cerita belaka. 

Semoga dengan adanya simbol beras di keris bisa mengingatkan kita akan itu semua. Syukur-syukur bisa menggugah kesadaran lalu mengembalikan kejayaan seperti zaman dahulu kala. Semoga.

Leave a Reply

Your email address will not be published.