Berbincang di Pematang

Foto: Bernas

“Langit masih tetap biru, tetapi padi sudah semakin menguning hingga ke pelosok-pelosok desa”. Itulah sepenggal kalimat dari pidato Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie saat HUT partainya ke 46.

Kalimat ini merupakan perumpamaan kekuatan Golkar (kuning) yang semakin lama semakin menyaingi dominasi Partai Demokrat (biru). Dengan kata lain; meski pemenang pemilu lalu Demokrat, tapi perlahan Golkar mulai mengejar dengan memenangi 53 persen Pilkada se Indonesia tahun ini.

Lalu pidato Ical, terutama penggalan kalimat tadi, menjadi perbincangan ramai. Tiba-tiba saya punya ide untuk memparodikannya. Nah berikut adalah cerita parodi saya:

*****

Suatu pagi di pematang sawah Desa Setgab (Setia Tanam Gabah) duduk tiga orang sahabat yang sehari-hari selalu bekerja di sawah. Mereka adalah Beye, Ical, dan Hatta.

Setelah sejak subuh mencangkul, tiga sahabat yang sawahnya berdampingan ini kemudian beristirahat di pematang. Lalu mereka pun terlibat perbincangan ala sersan (serius tapi santai).

“Lihat sob, bagitu indahnya langit hari ini.. Biru dan luas. Semua dipayungi angkasa yang Biru,” kata Beye yang juga ketua RW itu.

“Tapi hamparan padi yang luas juga indah, fren. Apalagi sudah mulai menguning sampai ke ujung sana. Kuningnya sudah mulai seluas langit biru,” ujar Ical, sang ketua RT sambil menghirup kopi kentalnya.

Hatta yang baru saja mencuci kaki sehabis mencangkul pun ikut nimbrung. “Alah kalian lupa rupanya. Tanpa Matahari yang bersinar terang, tak mungkin kita lihat langit yang Biru dan padi yang Kuning,” tuturnya pria berambut perak ini.

Ketiganya pun kemudian berdebat mengenai tiga hal tadi. Tentang langit biru, padi menguning, dan Matahari yang bersinar terang.

Tiba-tiba melintas seorang wanita berkebaya merah, menggendong bakul, sambil menuntun kerbau melintasi mereka. “Pada ribut apaan sih kalian,” timpalnya.

Wanita ini adalah Mbak Mega yang pergi ke sawah karena suaminya Pak Opik sedang berjualan minyak ke kota.

“Ini lo mbak yu, kita membahas soal suasana sawah. Soal langit, padi dan matahari,” sahut Hatta.

“Iya, aku sudah dengar,”

“Kalian lupa, banteng lah yang berjasa membantu membajak sawah ini” ujar Mbak Mega sambil tersenyum simpul pada Beye.

“Maaf mbak yu, itu kerbau bukan banteng,” sahut Ical.

“Sama saja, yang penting bisa nyeruduk. Padimu itu bisa dimakan habis sama dia,” tukas Mbak Mega sambil menyeka mulut kerbaunya yang putih gara-gara kena cat pagar tetangga.

Saat empat orang tersebut asik berbincang, jauh di pematang seberang, Cak Imin dan kawan-kawannya sibuk mengolah sawah yang tanamannya masih Hijau semua. Sudah berbulan-bulan diolah tanaman itu masih saja hijau sehingga membuat Cak Imin kesal.

“Kalau Hijau terus kapan panennya nih. Lebih baik aku jadi TKI saja,” teriaknya sambil membanting peci.

“Sabar mas, inilah nasib rakyat di Daerah Tertinggal seperti kita,” Ujar Helmi, sahabat Cak Imin yang membantu mengolah sawah.

Rupanya perbincangan mereka didengar Modin desa Kiai Suryadharma yang mengerem mendadak sepeda ontelnya. Kiai yang dulu satu pesantren dengan mereka ini kemudian memberikan nasehat sambil berteriak agar terdengar.

“Woi min. Makanya kalau panen jangan lupa sisihkan hasilnya buat naik haji. Kalau kamu doa di depan Ka’bah, maka nanti tanamanmu yang hijau pasti Bangkit,”

Cak Imin dan Helmi pun melempar senyum dan lambaian tangan kepada Kiai Suryadharma.

Sementara itu, di sebuah surau sedang terjadi perbincangan serius para Ustad. Mereka adalah Ustad Hilmi, Ustad Tif, dan Ustad Anis. Para Ustad ini sedang membicarakan soal musim panen yang beberapa bulan lagi akan segera datang.

“Kita kan sukses menjual bibit padi cap sejahtera. Nah panen nanti kan para petani butuh sabit. Kebetulan kita punya sabit bulan kembar,” ujar Ustad Hilmi.

“Betul ustad, siapa pun yang panen, kita ikut saja..kan kita punya sabitnya,” kata Ustad Tif yang juga berprofesi sebagai khotib mushola itu.

Tak terasa waktu pun berlalu. Hari mulai sore. Di sebuah pohon sawo seekor burung Garuda bertengger tenang menatap lagit. Burung Garuda ini milik Pak Bowo. Dia menunggu langit senja memerah sebelum terbang kembali ke rumah.

Di rumahnya, Pak Bowo sedang mendengar curhat dari Pak Wir, yang juga sesama veteran perang seperti dirinya. “Di desa ini semua orang tak punya Hati Nurani. Saya sudah dua kali nyalon, sudah mau turun, dari calon ketua RW ke calon wakil RW masih gak dipilih juga,”

“Yang lebih menyedihkan dik Bowo, yang mengalahkan saya itu bekas anak buah saya,” ujarnya lirih.

“Sabar mas, nanti kita coba lagi,” kata Pak Bowo penuh empati, karena kebetulan juga bernasib sana saat pemilihan RW kemarin.

Hari pun beranjak malam. Suasana Desa Setgab terlihat sepi. Keriuhan cuma datang dari pojok pos ronda, para pemuda sibuk memperbincangkan setahun kepemimpinan Pak Beye sebagai RW. Sementara Pak Beye asyik bermain gitar di bale-bale rumahnya. Dari rumah nomor 9 itu sayup-sayup terdengar lantunan lagu “Rinduku padamu” dan “Ku yakin sampai di sana”..

3 comments to “Berbincang di Pematang”
  1. Pingback: Tweets that mention Blog Dian Widiyanarko » Blog Archive » Berbincang di Pematang -- Topsy.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *