Berharga Karena Luka

Lelah berkeliling ke sana kemari, Demang Kati kemudian memutuskan beristirahat di bawah pohon. Sang Demang sendiri pergi ke hutan dalam rangka mencari kayu bagus untuk dijadikan warangka pusaka.

Namun malang tak dapat ditolak. Tak menemui apa yang dicari, Demang Kato justru bertemu dengan yang tak dia kehendaki: seekor harimau. Hewan buas ini lantas menyerang, mengoyak, dan memangsa Sang Demang yang sedang istirahat di bawah pohon.

Anak Demang Kati yang kemudian mencari, hanya menemukan baju koyak dan darah bapaknya yang banyak terciprat ke pohon. Si anak kemudian menebang pohon itu dan menemukan cipratan-cipratan darah Sang Bapak menjadi motif di kayu pohon tersebut.

Itulah legenda atau dongeng terkait Kayu Katimaha. Tidak diketahui apakah nama Katimaha diambil dari nama Demang Kati, atau sebaliknya Demang Kati itu Kati-nya diambil dari Katimaha. Sebab cerita ini pun beredar bukan sebagai fakta sejarah, namun hanya beredar sebagai dongeng atau legenda.

Tapi yang jelas kayu yang nama ilmiahnya Kleinhovia hospita ini memang kemudian jadi kayu favorit untuk warangka pusaka, khususnya keris. Kayu ini banyak jadi bahan warangka keris di  Jawa, Madura, Bali, dan Lombok.

Kayu yang biasa disebut Timoho, Timo, Nundang, Berore, dan banyak sebutan lainnya ini, dipilih karena kayunya yang lunak sehingga mudah dibentuk dan tidak merusak bilah. Selain itu juga karena keindahan coraknya yang dikenal dengan istilah pelet.

Pelet ini sebenarnya adalah motif yang muncul karena luka atau penyakit pada kayu ini. Makanya pelethanya muncul di kayu Timoho yang luka atau penyakitan bukan yang subur tanpa luka.

Berbeda dengan kayu lainnya, Timoho memang berharga karena lukanya. Luka yang jadi pelet ini justru yang membuatnya berharga. Tanpa itu dia hanya kayu yang paling banter dimanfaatkan sebagai kayu bakar.

Pelet ini warnanya kecoklatan seperti darah yang mengering. Ini pula mungkin yang mengilhami legenda yang mengatakan itu terjadi karena cipratan darah Demang Kati. Mungkin ini untuk menggambarkan atau menyimbolkan betapa berharganya pelet itu.

Atau bisa jadi juga cerita itu untuk melengkapi filosofi Timoho dan peletnya,  yaitu sebagai perlambang keindahan yang muncul dari perjuangan atau pengorbanan. Perjuangan berupa kegigihan dalam berjuang melawan sakit atau luka. 

Keindahan pelet bekas luka itu kemudian menampatkan kayu ini sebagai bahan warangka utama untuk keris Yogyakarta. Ini juga membuat semakin kontras dengan keris Solo di mana bahan utama adalah kayu Cendana, yang idealnya tanpa (bekas) luka. Meskipun di Solo kayu Timoho yang berpelet bagus juga dipakai. Tapi bukan sebagai bahan utama untuk warangka.

Sebagaimana barang berharga lainnya, pelet Timoho pun kemudian ada gradenya dan dipilah menjadi banyak jenisnya. Lalu diberi penamaan sesuai krakter dan motifnya.

Untuk karekter pelet, secara garis besar Pak Bambang Harsrinuksmo dalam “Ensiklopedi Keris” (2004) halaman 359 membagi pelet dalam beberapa jenis sesuai karakternya yakni: pelet mbatok yang warna coklat tua kehitaman bagaikan tempurung kelapa tua alias batok. Lalu ada pelet nyamel yang warnanya mulai dari coklat kopi susu sampai coklat tua. 

Juga ada pelet bosokan yang warnanya agak abu-abu kopi susu, yang dianggap tidak baik untuk orang biasa. Selain itu ada lagi pelet manda-manda, yakni yang warna peletnya tidak jauh beda dengan warna kayu aslinya.

Sementara untuk motif pelet, Pak Haryono Haryoguritno dalam “Keris Jawa: Antara Mistik dan Nalar” (2006) halaman 288-296 memaparkan berbagai motif pelet Timoho anatara lain: kendit, ngingrim, gabah sinawur, sampir, purnama sidi, mbelang sapi, tulak, dewa daru, sembur, udan riris, dan lain sebagainya. Di sana Pak HHG juga memberi ilustrasi gambar yang kemudian ini jadi acuan pekeris dalam mengidentifikasi motif pelet.

Meski Timoho berharga karena peletnya, tapi tidak semua pelet ada harganya. Hanya pelet yang bagus motifnya, atau yang dipercaya ada tuahnya saja yang kemudian lebih dihargai. 

Di pasaran, Timoho pelet kendit, ngingrim, dan belang-belang adalah yang banyak dicari dan dihargai. Faktor keindahan dan kelangkaan membuat pelet ini harganya semakin melambung tinggi.

Bahkan bahan kayunya pun sudah dihargai tinggi. Karena itu dari dulu sampai kini ada yang berprofesi jadi hunter kayu ini, yang di Jawa istilahnya Blandong.

Maka tak heran saat ada bahan kayu apalagi warangka jadinya dengan pelet yang bagus akan langsung jadi rebutan. Harganya tak jarang lebih mahal dari harga keris.

Lalu sebagaimana barang berharga lainnya, selalu akan ada yang coba membuat tiruannya alias barang palsunya alias aspalnya. Tak terkecuali warangka Timoho berpelet bagus.

Maka muncul warangka yang dilabeli Timoho pelet sembur, padahal aslinya kayu Pete atau kayu lainnya. Ada juga yang dilabeli Timoho pelet kendit, padahal aslinya itu kayu Dao, dan lain sebagainya.

Juga muncul orang-orang yang membuat warangka Timo dengan pelet yang digambar atau dilukis sedemikian rupa sehingga seolah itu pelet asli. Ada yang tujuannya untuk “menyambung” pelet kendityang putus, agar terlihat nyambung. Ada pula yang menggambari warangka baik yang polos maupun ada peletnya agar motifnya jadi ngingrim atau belang.

Ada juga yang kayunya gelap, lalu digambari dengan tinta atau cairan tertentu yang terang. Ini untuk bikin pelet aspal belang atau kendit putih.

Yang jujur memberi istilah itu sebagai “sunggingan”. Dia jujur mengatakan ke (calon) pembeli, lalu memberi harga tak terlalu mahal. Ini untuk yang ingin warangka pelet bagus tapi harga terjangkau. Kejujuran ini layak dihargai.

Yang tidak jujur akan bilang itu asli. Pada (calon) pembeli pun tetap ngotot bilang asli dan memberi harga mahal. Ini untuk cari cuan haram secara instan. Ini termasuk modus pemblondrokan.

Pelet yang mengandung filosofi atau nilai didaktis sebagai perlambang perjuangan tahunan untuk menampilkan keindahan, kini dijadikan cara instan cari cuan dengan penipuan. Sebuah ironi yang menciderai nilai luhur yang dikandung keris itu sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published.