Hari ini langit Jakarta begitu gelap. Mendung sudah menggantung sejak pagi. Jarak pandang di jalanan terasa sangat terbatas. Dari kejauhan yang terlihat hanya sinar kuning lampu kendaraan. Hujan seolah hanya tinggal termuntahkan saja dari pekatnya mendung. Apalagi sebagian gedung pencakar langit yang menghiasi cakrawala Jakarta, sudah hilang tertelan kabut.
Namun, suasana siang yang mirip senja itu, tidak menyurutkan laju kendaraan roda duaku untuk menuju Kantor Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Kemeneg PAN). Di kantor yang persis terletak di samping bunderan senayan itu, siang ini akan diadakan rapat kordinasi yang pertama dan jumpa pers Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel KPK).
Soal meliput acara itu memang harus. Apalagi Kemeneg PAN adalah salah satu pos utamaku. Orang-orang di sana begitu dekat denganku. Sampai-sampai Meneg PAN Pak Taufiq Effendi pernah menanyakan tentang aku. Ya maklum lah, tak banyak wartawan yang perhatian pada pos yang satu itu. Padahal tak jarang dari sana muncul isu yang sangat bangus, bahkan menghebohkan.
Ada sesuatu yang berkesan siang itu. Saat aku dan wartawan lain mulai bosan menunggu karena acara jumpa pers molor berjam-jam, tiba-tiba muncul seorang tokoh yang selama ini kukagumi pemikirannya, masuk ke ruangan di lantai dua itu.
Dia adalah Ahmad Syafii Maarif. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah yang biasa dipanggil Buya Syafii. Buya adalah anggota Pansel yang muncul pertama kali ke rungan tersebut dan menghibur para wartawan yang mengeluh karena kelamaan menunggu. “Ini kan hari pertama anda harus maklum lah,” ujarnya yang kemudian juga menyempatkan diri bercakap-cakap dengan beberapa wartawan.
Buya siang itu tampil dengan ciri khasnya; kesederhanaan. Tubuhnya hanya dibalut baju batik warna cokelat dan mengenakan celana bahan yang sederhana. Di kakinya hanya terlihat sebuah sandal setengah usang.
Sunguh kontras dengan pejabat yang biasanya memakai jas dan sepatu mengkilat kalau menghadiri rapat penting. Tapi itulah Buya. Justru kesederhanaannya lah yang memancarkan kharisma.
Dari penampilan Buya hari itu, seolah saya diajari bahwa menjadi oarang yang sangat berarti tidak harus membalut badan dengan kemewahan. Penampilan kita memang penting, tapi itu bukan segalanya. Itulah seolah pesan terngiang saat saya bertemu dengannya.
Memang salah satu ulama Indonesia yang sangat moderat itu, selalu mengajarkan kesederhanaan dalam setiap perjumpaan. Dia memang tidak bicara kesederhanaan, tetapi dirinyalah yang mengatakan itu. Sikapnya, tutur katanya.
Perjumpaan dengan Buya hari ini mengingatkanku untuk melakukan hal yang sangat sering kulalaikan, yaitu bersyukur. Kita harus bersyukur dengan apa yang kita dapatkan, dengan baju yang kita miliki, walau kucel, walau tak selicin baju para eksekutif muda. Sebab dari Buya kita lihat bahwa menjadi orang besar tak harus dengan baju mewah dan licin.
Jadi nggak masalah baju gak necis, ya paling-paling sedikit dicurigai satpam saat masuk kantor, sebab kantorku masih seatap dengan kantor-kantor tempat para eksekutif berbaju licin mangkal. (suatu sore di kebun sirih/selasa,5-6-07)