Biasanya kalau Lebaran topik yang paling banyak diperbincangkan adalah soal mudik, ketupat, opor, kuliner, maaf maafan, dan lain sebagainya seputar Hari Raya Idul Fitri. Namun tahun ini ada tambahan topik yang tak kalah ramai, yaitu soal kasus penyerangan umat Islam yang sedang salat id dan pembakaran masjid di Tolikara, Papua.
Banyak tokoh ikut memberikan, atau diminta komentarnya, dan tayang di media. Baik media mainstream, maupun media sosial.
Di antara tulisan yang beredar, saya menemukan postingan tulisan Emha Ainun Najib (Cak Nun) yang diberi judul seolah itu adalah renungan pemimpin Kiai Kanjeng itu atas kejadian di Tolikara.
Tulisan itu pertama kali dipublish oleh suarajakarta.co dengan judul Cak Nun: Renungan Pagi Peduli Tolikara. Lalu blog/web macam puyengan dan arahmamah ikutan ngeshare (tumben mereka share pemikiran Cak Nun).
Saya tidak buru-buru ikut share tulisan itu. Sebab saya belum yakin itu dari Cak Nun. Sebab selain media yang memposting bukan media atau web yang biasanya mewartawakan kegiatan Cak Nun. Selain itu, beliau juga bukan tipe orang yang gatel nulis atau buru-buru mengomentari atau memberi statement ke media.
Saya kemudian coba memverifikasi dengan cek ke web yang terafiliasi dengan kegiatan Cak Nun, seperti Maiyah, Kenduri Cinta, dll. Termasuk ke akun twitter Putra Cak Nun, Sabrang alias Noe Letto.
Bener saja, Noe lewat akun twitternya @noegesse menjelaskan itu bukan tulisan Cak Nun yang dibuat khusus untuk mengomentari soal Tolikara. Itu tulisan beliau sekitar 17 tahun yang lalu, kata Noe. Ada juga di twitter (@pocongrainbow) yang mengungkapkan bahwa itu adalah tulisan Cak Nun sekitar tahun 2000an via Milis Padangmbulan.
Jadi sekang jelas sudah bahwa itu bukan tulisan Cak Nun soal Tolikara. Meskipun, isinya sangat relevan untuk kasus tersebut. Maka banyak yang memlintir seolah itu renungan atau opini Cak Nun soal kasus Tolikara.
Inilah era banjir informasi. Informasi mengalir deras sehingga seringkali menjadi kabur. Butuh kejelian dan kecerdasan kita untuk memilah-milahnya.
Untuk kasus tulisan Cak Nun itu, setelah ketahuan riwayat tulisan itu yang sebenernya, tentu salah apa yang dilakukan beberapa web yang mengatakan itu tulisan Cak Nun soal Tolikara. Kalau pun mau menshare karena isinya relevan terhadap kasus seperti Tolikara, harusnya judulnya atau pengantar sharenya tentu saja bukan dibuat seperti itu, namun misalnya seperti ini: “tulisan lama Cak Nun ini masih relevan dengan kondisi saat ini seperti kasus Tolikara”, dan sejenisnya.
Sebab tulisan yang dibuat khusus untuk kasus Tolikara dengan tulisan atau kritik yang tidak dibuat untuk kasus itu namun relevan dan pas untuk merefleksikan kasus Tolikara, tentu beda. Yang terakhir lebih timeless dan bisa untuk kasus lain.
Namun di sisi lain, tak bisa dipungkiri tulisan Cak Nun yang dibuat lebih dari satu dekade yang lalu itu, memang masih relevan dengan kondisi saat ini. Termasuk untuk kasus Tolikara. Itulah hebatnya Cak Nun pemikiran atau kritiknya jauh ke depan, alias masih releven hingga saat ini. Atau karena keadaannya yang memang tidak berubah dari dulu sampai saat ini?
Entahlah. Tapi yang jelas tulisan atau kritikan Cak Nun ini layak dibaca lagi pasca kasus Tolikara. Tolong dibaca dan direnungkan. Terutama bagi anda yang mengidap penyakit Islamophobia. Siapa tahu sehabis membaca penyakit anda itu sembuh.
Berikut tulisan Cak Nun itu, selamat membaca:
Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Kemenag, Polsek, dan Danramil harus menyalahkan Ustadz, sebab kalau tidak itu namanya diktator mayoritas.Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas, asalkan yang mayoritas bukan yang selain Islam – harus mengalah dan wajib kalah. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Tapi kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namanya.
Kalau Khadhafi kurang ajar, yang salah adalah Islam. Kalau Palestina banyak teroris, yang salah adalah Islam. Kalau Saddam Hussein nranyak, yang salah adalah Islam. Tapi kalau Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, yang salah bukan Kristen. Kalau amerikaSerikat jumawa dan adigang adigung adiguna kepada rakyat Irak, yang salah bukan Kristen. Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero Bagdad, Amerika Serikatlah pemegang sertifikat kebenaran, sementara yang salah pasti adalah Islam.
“Agama” yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaiman yang pro dan yang kontra demokrasi, ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam.
Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia. Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas kesunyatan Islam.
Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka.
Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap Qur’an, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia. Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai Islam.
Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng membuat nomer-nomer musik, yang karena bersentuhan dengan syair-syair saya, maka merekapun memasuki wilayah musikal Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir. Musik Kiai Kanjeng mengandung unsur Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa lagi. Seorang teman menyapa: “Banyak nuansa Arabnya ya? Mbok lain kali bikin yang etnis ‘gitu…”
Lho kok Arab bukan etnis?
Bukan. Nada-nada arab bukan etnis, melainkan nada Islam. Nada Arab tak diakui sebagai warga etno-musik, karena ia indikatif Islam. Sama- sama kolak, sama-sama sambal, sama-sama lalap, tapi kalau ia Islam-menjadi bukan kolak, bukan sambal, dan bukan lalap.
Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada Espanyola, itu primordial namanya. Kalau Gipsy King mentransfer kasidah “Yarim Wadi-sakib…”, itu universal namanya. Bahasa jelasnya begini: apa saja, kalau menonjol Islamnya, pasti primordial, tidak universal, bodoh, ketinggalan jaman, tidak memenuhi kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia.
Itulah matahari baru yang kini masih semburat. Tetapi kegelapan yang ditimpakan oleh peradapan yang fasiq dan penuh dhonn kepada Islam, telah terakumulasi sedemikian parahnya. Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan ummat Islam. Kecurangan atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin yang mau tidak mau terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya.
“Al-Islamu mahjubun bil-muslimin “. Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri.
Endapan-endapan dalam kalbu kollektif ummat Islam itu, kalau pada suatu momentum menemukan titik bocor – maka akan meledak. Pemerintah Indonesia kayaknya harus segera merevisi metoda dan strategi penanganan antar ummat beragama. Kita perlu menyelenggarakan ‘sidang pleno’ yang transparan, berhati jernih dan berfikiran adil. Sebab kalau tidak, berarti kita sepakat untuk menabuh pisau dan mesiu untuk peperangan di masa depan.