Saat ini, ketika bicara politik tampaknya menjadi kurang lengkap kalau tidak menyinggung hasil survei. Memang survei merupakan salah satu fenomena yang mewarnai dunia politik pasca reformasi, dan perannya semakin penting.
Dulu, survei hanya marak dan dikenal di dunia akademik saja, namun saat ini sudah menjadi referensi dunia politik. Hasil survei mengenei posisi parpol, capres, kinerja pemerintahan, dan sebaganinya, sangat ditunggu-tunggu hasilnya. Sampai-sampai hasil quick count sebuah lembaga survei lebih dipercaya ketimbang penghitungan resmi KPU, yang datangnya memang kalah cepat.
Survei juga bisa memancing polemik, menjadi panduan langkah politik, sampai dijadikan dasar sebuah kebijakan. Tak jarang politisi kebakaran jenggot atau bereaksi berlebihan atas sebuah survei. Maklum, hasil survei memang sering akurat memprediksi.
Amat berpengaruhnya survei, sampai-sampai Denny JA yang memimpin Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyebut survei sebagai pilar kelima Demokrasi, setelah trias politika (eksekutif, legislatif, dan Yudikatif), dan Pers.
Entah karena memang melihat faedah pentingnya, atau cuma ikutan tren dan euforia, saat ini banyak parpol yang menggantungkan langkah dan strategi politiknya pada hasil survei. Golkar akan menentukan capres dengan survei, PAN juga demikian, bahkan PDIP yang sudah memiliki Capres, juga tetap akan memperhatikan survei untuk langkah politik.
Seolah tak mau ketinggalan, Pansus RUU Pemilu juga sampat melontarkan wacana membatasi lembaga survei. Terutama menyangkut hasil quick count, yang dikhawatirkan mempengaruhi pilihan saat ada pemilihan ulang, atau mereka yang belum mencoblos di zona waktu berbeda.
Di luar sikap sangat percaya dengan hasil survei, survei juga dinilai perlu diwaspadai. Hasil survei sering menjebak. Seperti yang dikatakan politisi senior Eros Djarot, pendekatan angka-angka tau kuantitatif sering tidak cocok dengan kenyataan, sering meleset.
Belum lagi selama ini banyak lembaga survei yang “berbisnis”. Misalnya saat pilkada, tak hanya para calon yang bersaing, beberapa lembaga survei juga ikut bersaing. Survei kemudian dituding sebagai pesanan untuk membentuk dan mempengaruhi “persepsi” masyarakat.
Maka, sebaiknya survei harus dilihat secara cerdas. Survei ibarat potret perilaku masyarakat. Namanya perilaku, dia tentu bisa cepat berubah, bisa juga tidak. Jadi jangan terlalu mengandalkan pemataan hanya dengan sebuah potret yang tentu terbatas, namun juga jangan terlalu meremehkan sebuah potret yang sering menggambarkan sesuatu apa adanya.
Jadi, para politisi seharusnya jangan terlalu menggantungkan pada survei. Survei bisa dijadikan sebagai sebuah panduan. Ibarat panduan, bisa memuluskan jalan bisa menyesatkan.