Dari Lingganya Singa, Sampai Asalnya Sima

Gara-gara Ustaz Salim A. Fillah menguplod foto lingga atau penis singa Kanjeng Kiai Simbar Manik (KK SM) dan menulis soal itu, dunia perkerisan jadi ramai membahas soal lingga singa. Lingga singa di KK SM yang utuh bahkan sebiji-bijinya memang menarik dibahas, apalagi selama ini keris dhapur Singobarong dengan gandik sima atau singa kebanyakan lingganya tidak utuh, bahkan tidak ada. 

Tidak adanya lingga singa ini baik karena disengaja, yang karenanya dilabeli betina, maupun tidak ada karena hilang dimakan usia (korosi). Sementara di KK SM yang dipulangkan dari Inggris itu, lingganya utuh dan detail. Menarik memang, sampai memancing munculnya keris singa-singa lainnya.

Pembahasan jadi makin menarik saat Pak Usman memposting tentang letak lingga di gandik singa yang tidak sesuai dengan letak alat kelamin itu di hewan singa aslinya. Yang letak lingganya kelihatan seperti di keris singa justru letak kelamin anjing jantan.

Ini lalu memancing dikusi soal apa sebenarnya wujud binatang di gandik keris dhapur Singobarong, serta asal usulnya. Itu sima alias singa, atau anjing alias kikik? Atau itu harimau atau macan, yang juga diyakini sebagian kalangan.

Mari kita bahas.

Pertama-tama kita lihat wujud fisik atau penampakannya. Jika dilihat tinatah singa ini agak berbau China. Penggambaran dan posisi singanya serta ornamen ukir atau tinatahnya sangat mirip dengan Singa China yaitu Singa Batu alias Shíshīzi

Posisi dan stilisasi Singobarong dan Singa Batu terlihat mirip. Bahkan beberapa Singa Batu yang jantan, juga diberi pahatan penis seperti Singobarong. 

Untuk diketahui, Singa Batu atau Shíshīzi selalu dibuat sepasang, jantan dan betina. Namun keduanya sama identik. Yang membedakan adalah bulatan yang diinjaknya. Singa betina menginjak anak singa, sementara singa jantan menginjak bola, dan di beberapa singa batu, yang jantan ditambahin penis yang menonjol.

Stilisasi singa Singobarong yang mirip Shíshīzi ini diyakini karena pengaruh budaya China. Keyakinan masyhur ini pernah di tulis di Majalah Keris dengan laporan bertajuk “Keris dan Pengaruh Budaya Cina”.

Di dunia keris, Singa Batu ini sering disalah kaprahi atau tertukar dengan hewan Mitologi Cina yang mirip singa tapi sebenarnya buka singa yaitu Kilin atau Qilin (Qílín). Tapi wujud gandik Singobarong lebih ke mirip Singa Batu dibanding Kilin. 

Sementara pengaruh Kilin juga muncul di tinatah keris yaitu di tinatah gajah singa di bawah ganja. Di sana bentuk singanya sangat mirip gambaran Kilin.

Pengaruh China ini sangat masuk akal karena interaksi Nusantara dengan bangsa China sudah berlangsung lama. Bukan baru di era Mataram Islam yang diyakini sebagai era munculnya tinatah tersebut di keris, tetapi sudah sejak zaman mataram kuno dan bahkan era sebelumnya.

Maka tak heran jika banyak unsur budaya China yang baik diserap. Termasuk dalam seni kriya.

Atau jangan-jangan tukang tinatah di zaman Sultan Agung dulu orang China? Sehingga nuansa ukiran Negeri Tirai Bambu itu muncul dalam pahatannya.

Menurut Mas Iskandar Z., Pak Haryono Haryoguritno pernah menyampaikan bahwa tukang tinatah emas pada keris era Mataram adalah pengrajin China yg mengabdi pada Sultan Agung. Mereka berasal dari pesisiran (Cirebon-Jepara). Motif hiasan yang dibuat, termasuk singanya mirip motif China yang ada di keramik dan lain sebagainya.

Lalu apakah singa atau sima di dhapur Singobarong itu secara makna atau filosofi juga diadopsi dari China? Sepertinya bukan. Pengaruh China tampaknya hanya ornamennya saja. 

Lalu dari mana asalnya? 

Yang jelas singa ini pengaruh luar. Karena di Jawa atau Nusantara tidak ada singa. Adanya harimau atau macan

Kata sima berasal dari Bahasa Sansekerta: simha. Karakter tokoh singa di film kartun Simba juga dari kata simha ini. 

Lalu simha oleh lidah Jawa jadi sima. Sementara macan atau harimau Bahasa Sansekertanya: sardula. Kata sardula dilafalkan sama di Bahasa Jawa.

Singa dalam ornamen, patung, dan lain sebagainya hadir di Nusantara bersama masuknya agama Buddha. Ini karena hewan bersurai ini diyakini sebagai kendaraan Sang Buddha ke Nirwana. Bahkan Sidharta Gautama juga dikenal sebagai Singa Keluarga Sakya.

Maka patung singa kemudian muncul di candi-candi era Buddha di Nusantara. Seperti Candi Borobudur yang memiliki 32 patung atau arca singa. 

Pada arca singa ini, lingga atau penis juga digambarkan di area perut dan menonjol seperti di gandik keris Singobarong. Karena lingga adalah simbol kejantanan.

Ini mempertegas kepercayaan Buddha yang jadi kepercayaan mayoritas saat itu, bahwa singa adalah raja binatang yang melambangkan kekuatan, keberanian, dan kemenangan. Juga simbol kemampuan untuk melindungi umat Buddha.

Karena itu, biasanya arca singa ini menjadi penjaga yang diletakkan di pintu masuk dan keempat penjuru mata angin di Candi. Tak hanya candi di Jawa atau Nusantara, tapi juga di daerah lainnya di Asia Tenggara. Apalagi dulu daerah Asia Tenggara termasuk dalam kawasan Nusantara yang memiliki keterkaitan, termasuk budaya dan agama. Hal ini bisa dibaca di buku “Asia Tenggara dalam Kurun Niaga” karya Anthony Reid. 

Singa Buddha ini dalam wujud arcanya tentu distilisasi sesuai budaya lokal, dan tidak dibentuk realis sebagaimana patung Eropa. Singa di Candi Borobudur stilisasinya lebih terlihat kalem dan tidak garang. Sementara stilisasi di negara lain, seperti di China, lebih garang.

Mungkin karena itu, meski sima di keris Singobarong filosofinya mengambil dari Singa Buddha, tapi tinatahnya di Era Sultan Agung, mengambil ala Singa Batu China yang lebih garang. 

Yang jelas singa sebagai raja binatang yang merupakan simbol kekuatan, keberanian, kemenangan, serta kemampuan untuk melindungi, sangat meresap di budaya Nusantara. Meski kemudian jumbuh dengan macan atau harimau. Karena orang Nusantara lebih kenal macan dibanding singa.

Maka sering kita lihat penggambaran Singobarong yang hybrid antara singa dan macan. Badannya harimau tapi memiliki surai singa. Seperti di reog di mana Singobarong digambarkan bewajah loreng ala harimau tapi bersurai lebat ala singa.

Tapi kedunya beda dan dibedakan. Singa disebut sima (dari Bahasa Sansekerta simha), dan harimau atau macan disebut sardula (juga dari Bahasa Sansekerta). Di keris sendiri dhapur sima dan sardula juga ada dan beda. Jadi kalau ada yang menyamakan sima dan macan itu salah kaprah.

Singa juga semakin identik dengan kekuatan, keberanian, kemenangan setelah masuknya Bangsa Barat atau Eropa. Karena Bangsa Atas Angin ini memakai simbol singa dan bendera bergambar singa. Apalagi setelah mereka berhasil mengalahkan banyak kerjaaan dan menguasai Nusantara.

Jadi sekali lagi bentuk singa di keris, atau arca singa di candi, dan lain sebagainya itu bentuk stilisasi. Tentu wujudnya tidak persis seperti singa nyata, atau patung singa realis ala Eropa atau Bangsa Barat. Termasuk bentuk dan letak lingganya. Tetapi justru stilisasi ala Bangsa Timur ini membuat singa semakin unik dan bernilai seni tinggi, serta kaya akan makna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *