![](http://duniadian.com/wp-content/uploads/2022/08/299542468_10228436353963298_6520234436596302626_n-910x1024.jpg)
Di hari kedua Lebaran, hanya bersama orang kepercayaan dan pengikut ala kadarnya, Pangeran Diponegoro datang ke Magelang menemui seterunya; Jenderal Hendrik Markus de Kock. Dengan memakai surban dan jubah ala ulama, Sang Pangeran hadir ke pertemuan yang tidak disadarinya adalah sebuah jebakan.
Pertemuan yang terjadi pada tanggal 2 Syawal 1245 Hijriyah, atau 28 Maret 1830 Masehi yang awalnya disebut silaturahmi itu, berubah jadi penangkapan. Pangeran Diponegoro yang tidak siap akhirnya ditangkap secara licik dan dipisahkan dari pengikutnya.
Tanpa sepengetahuan Sang Pangeran, jelang pertemuan di masa gencatan senjata itu, de Kock telah mengatur jebakan dengan detail. Termasuk menyiapkan pasukan, kereta, dan perlengkapan lainnya yang akan membawa Diponegoro dari Magelang ke Batavia, untuk selanjutnya dibuang ke Sulawesi.
Penangkapan itu merupakan kemenangan besar bagi Belanda. Sebab ini mengakhiri Perang Jawa yang dipimpin Pengeran Diponegoro.
Perang besar yang berkobar lima tahun. Perang yang menyatukan ningrat dan jelata, gali dan santri dalam satu barusan. Perang yang membuat banyak serdadu Belanda tewas dan membuat keuangan kolonialis itu tiris dan nyaris habis.
Setelah penangkapan, Sang Pangeran kemudian dibawa ke Batavia. Di sana dia menjalani serangkaian proses sebelum dibuang ke Sulawesi.
Salah satunya adalah proses dibuat gambar diri. Karena zaman itu belum ada foto yang sepraktis dan secanggih saat ini, maka dibuat sketsa dengan pensil dan kertas.
Yang menggambar Sang Pangeran di tahun 1830 itu adalah A.J. Bik. Dari gambar A.J. Bik inilah sosok Diponegoro diketahui dan kemudian menjadi acuan gambar dan lukisan di kemudian hari terkait Pangeran Diponegoro.
Di gambar itu Sang Pangeran memakai baju
ulama lengkap dengan surbannya, yang menjadi pakaiannya selama Perang
Jawa. Terlihat sebuah keris disengkelit di depan. Itulah keris pusaka Kanjeng Kiai Bondoyudo yang selalu disengkelitnya.
Belanda tidak merampas keris tersebut karena menghormati Sang Pangeran. Karena bagi orang Jawa keris bukan sekadar senjata, tapi juga piyajdel yang ada simbol kehormatan di sana.
Keris ini tetap menemangi Sang Pangeran di masa pembuangan. Kemudian dikubur bersama pemiliknya di akhir hayatnya.
Dari gambar otentik A.J. Bik yang mencoba menggambar seakurat mungkin dan detail ini, kita tahu wujud keris Sang Pangeran. Minimal bentuk sandangannya.
Di sana terlihat bahwa keris Kanjeng Kiai Bondoyudo berwarangka Gayaman gaya Yogyakarta. Ini sesuai dengan pakem sandangan bahwa untuk sehari-hari dan berperang, warangka yang dipakai adalah Gayaman.
Bahannya sendiri jika melihat gambar sepertinya kayu Timoho dengan pelet ngigrim. Untuk gaya Yogyakarta Timoho pelet ngigrim ini adalah salah satu yang terbaik.
Untuk pendok, terlihat memakai pendok bunton. Sementara motif ukiran dan bahannya kurang jelas tergambar di sketsa hitam putih yang dibuat dengan pensil itu.
Sedangkan untuk deder atau gagang kerisnya, di sana terlihat deder yang dipakai adalah deder Lempuyangan. Bahannya mungkin kayu tayuman yang merupakan bahan yang biasa dipakai untuk deder dari dulu hingga kini.
Deder Lempuyangan yang dipakai Pangeran Diponegoro ini menarik menurut saya. Sebab ini bisa memperkaya wawasan terkait sandangan keris, terutama keris Yogya.
Di sana terlihat bahwa deder Lempuyangan itu ternyata dulu lazim dipakai untuk warangka Gayaman. Sementara di masa kini, seolah deder Lempuyangan hanya untuk dipakai di warangka Wulan Tumanggal dan Sandang Walikat saja.
Selain itu, deder Lempuyangan Sang Pangeran juga memakai selut. Ini menarik, sebab saat ini makin jarang, bahkan mungkin tidak ada deder Lempuyangan yang dipakaikan selut.
Bagi saya sandangan Keris Sang Pangeran yang terlihat di gambar A. J. Bik ini menarik. Selain membuat makin tahu padu padan deder Lempuyangan, juga membuat jadi tahu wujud keris Bondoyudo. Minimal dari sandangannya.
Jadi kalau ada yang ngaku-ngaku menyimpan Keris itu tapi dengan sandangan yang berbeda. Maka kemungkinan besar cuma ngaku-ngaku.
***
Foto: Deder Lempuyangan kayu tayuman buatan masa kini berlatar gambar Pangeran Diponegoro karya A.J. Bik.