Gara-gara tulisan lama Pak Usman soal hulu atau Deder Gading Yogya muncul lagi, saya jadi tertarik menulis soal ini. Apalagi ini nyambung dengan obrolan teman-teman belakangan ini di group facebook keris soal Deder Gading Yogya.
Banyak teman yang anti atau tidak suka dengan Deder Gading untuk sandangan keris Yogya. Alasan yang sering diungkapkan biasanya; tidak ada pusaka kanjeng kiai yang memakai Deder Gading.
Yang ekstrim bilang, pusaka jangan diberi sandangan dari bagian hewan baik gading, tanduk, dan sebagainya. Karena itu katanya sama saja menyandangi pusaka dengan bathang alias bangkai.
Itu pendapat yang kerap muncul. Lucunya yang bilang pusaka kok dipakaikan bangkai beberapa waktu kemudian malah pamer Deder Gading haha 😄
Memang pusaka utama Yogyakarta dedernya bukan dari gading. Tapi setahu saya pemakaian DederGading tidak dilarang apalagi dilarangnya dengan alasan bangkai itu tadi.
Bahkan di pakem soal sandangan Yogya yang sering kita baca dan dengar mengatakan bahwa dederkeris harus lebih tua warnanya dari warangkanya, kecuali gading dan Timoho kendit untuk warangkaTimoho kendit. Nah di sini gading malah diberi pengecualian.
Lalu mengapa Deder Gading tidak dipakai dan cenderung dihindari?
Ada yang berpendapat karena lebih rapuh dari kayu. Juga karena Deder Gading agak susah memadu padankannya. Sebab idealnya Deder Gading yang cerah perlu dipadankan dengan warangka dari gadung juga atau kayu yang warnanya cerah, bukan yang lebih gelap.
Berbeda dengan Deder Tayuman dan kemuning yang diwarna gelap yang cocok masuk ke berbagai warangka. Bahkan kendit pun cocok dengan deder ini.
Selain itu gading banyak dinilai tidak serasi dengan konsep kebersahajaan Yogya. Sebab dari dulu gading ini memang termasuk bahan yang mahal yang menimbulkan kesan pamer.
Pak Usman juga menulis soal ini yaitu bahwa sebenarnya pada zaman dahulu yang biasa menggunakan Deder Gading para bakul atau saudagar di Pasar Gedhe. Sementara para ningrat tinggi pada zaman itu lebih senang Kayu Tayuman yang bagus.
Menurut Pak Usman, ini logis karena kalau ningrat tinggi tanpa deder mencolok, semua orang sudah mengenal. Kalau bakul kaya, kalau tidak ada unsur “pamer”, tidak cukup untuk menarik perhatian pihak lain.
Seiring zaman bergeser, banyak ningrat yang nyambi bakulan. Terutama sesudah Perang Jawa, di mana para ningrat pendukung Perang Jawa diambil tanah-tanahnya sehingga untuk menyambung hidup dengan berdagang. Mereka adalah kelompok tengah yang mengadopsi cara kedua belah pihak. Pada awal abad 20, ketika liberalisme sudah merambah Indonesia, banyak bakul kaya menjadi berpengaruh, akhirnya mendorong ningrat-ningrat juga menjadi bakul.
Saya setuju dengan Pak Usman. Banyak dijumpai pangeran pun memiliki koleksi keris dengan DederGading. Bahkan Pak Bambang Sulawidjaja pernah membagikan foto keris Yogya bersandangan gading (lihat foto) yang beliau kutip dari buku “Court Arts of Indonesia” yang merupakan keris Sultan Hamengkubuwono VIII. Keris mewah itu diberikan kepada Ratu Kerajaan Belanda, Wilhelmina pada 1923 sebagai tanda hormat ada Peringatan 25 Tahun Ratu tersebut bertahta.
Dari sana terbukti sandangan gading pernah dibuat kraton. Jadi kalaupun pusaka utama tidak menggunakan gading itu bukan berarti tidak boleh. Bedakan antara tidak boleh dan tidak dipilih.
Lalu hadih keris mewah dengan perabot mewah tentu sebagai wujud penghormatan. Apalagi gading memang dikenal sebagai bahan mewah dan menunjukkan status sosial.
Gading sendiri sebagai barang mewah sudah dikenal sejak zaman kerajaan kuno. Dia menjadi barang berharga yang sering dipersembahkan kepada raja dan dipakai raja untuk pamer kemewahan atau flexing bahasa sekarangnya.
Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga misalnya memakai balai-balai dari Gading Gajah. Ini disaksikan dan dicatat oleh utusan Dinasti Dinasti Tang (618-907) dan masuk ke Sejarah Lama Dinasti Tang Buku 197, yang dikemudian hari dikompilasi W. P. Groeneveldt menjadi buku “Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources”
Dalam kompilasi yang sama, dalam catatan Zheng He Sejarah Dinasti Ming Buku 304, pada tahun 1416 digambarkan gading menjadi salah satu bahan favorit untuk hulu keris.
“Gagangnya terbuat dari emas, cula badak, atau gading gajah, yang dibentuk menjadi wajah manusia atau setan dan dikerjakan dengan sangat teliti,”
Di abad VIII di Jawa deder keris tercatat digunakan untuk menunjukkan status sosial dan pamer alias flexing. Ini bisa dilihag di dalam catatan John Joseph Stockdale dalam buku “The Island of Java” halaman 36-37:
“Senjata utama mereka adalah keris (kris), semacam belati seperti pisau berburu kecil, dan selalu mereka bawa kemana pun mereka pergi. Gagangnya terbuat dari bahan-bahan yang berbeda yang nilainya lebih atau kurang berharga tergantung pada kekayaan atau status sosial pemakainya,”
Jadi saat itu untuk mengetahui status sosial orang Jawa bisa melihat dari deder keris yang dipamerkannya. Sementara untuk wanitanya, hal yang sama bisa dilihat dari tusuk kondenya yang terbuat dari kayu, kulit penyu, perak, dan emas, yang dipakai sesuai status sosial pemakainya.
Jadi sudah sejak dulu di saat sumbernya masih melimpah, Gading Gajah sudah masuk barang berharga atau mewah. Maka sering jadi sarana pamer kemewahan. Apalagi kini saat sudah langka dan dilindungi. Saking langkanya punya uangnya belum tentu bisa dapat barangnya, apalagi kalau komplit dengan warangkanya.
Maka sampai saat ini di dunia keris hulu atau Deder Gading makin cocok jadi sarana flexing, selain perabot emas, tentu saja. Bahkan yang kurang dana pun banyak yang maksa ingin punya. Lalu ini kemudian ditangkap pasar dengan menyediakan KW atau tiruannya.
Seperti barang mewah lainnya, gading memang ada KW-nya. Mulai dari tulang yang diproses mirip gading, sampai gading sintetis alias faux ivory.
Deder faux ivory ini sudah banyak beredar dan jadi pilihan untuk yang mau flexing tapi dana pas-pasan. Kalau istilah sekarang BPJS: Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita 😃
Bagi saya itu sah-sah saja. Asal jangan gading tiruan dilabeli gading beneran. Itu namanya pemblondrokan dan pemblondrokan adalah bagian dari dunia perkerisan yang tidak perlu kita lestarikan.