Istimewanya (Warangka) Cendana

Salah satu alasan bangsa-bangsa asing datang ke Nusantara, selain rempah-rempah, adalah kayu cendana. Kayu yang oleh orang Barat disebut sandalwood ini, sejak dahulu kala memang istimewa.

Betapa tidak, teksturnya bagus, motifnya indah, dan baunya harum semerbak. Serta menghasilkan minyak yang serbaguna.

Maka tak heran berbagai bangsa dari berbagai belahan dunia menyukai dan mencarinya. Saking berharganya, tanaman dengan dan nama ilmiahnya santalum album ini sampai dijuluki emas hijau.

Daerah yang terkenal sebagai penghasil cendana yang berkualitas terbaik sejak zaman dahulu adalah Pulau Timor. Orang Jawa menyebutnya cendana sabrang

Cendana Timor ini dalam Bahasa Timor atau Bahasa Dawan disebut hau fo meni atau hau meni. Hau artinya kayu, fo artinya yang berbau, dan meni artinya wangi atau harum. Keharuman cendana Timor memang tiada banding, bahkan mengalahkan cendana dari tempat lainnya, termasuk cendana India. 

Tome Pires dalam “Suma Oriental” yang menceritakan Nusantara di Abad ke-16 menceritakan Kepulauan Timor yang juga dikenal sebagai Pulau Cendana. Di sana dihasilkan cendana putih yang bagus dan melimpah yang tidak ditemukan di tempat lain.

“Para pedagang Melayu berkata bahwa Tuhan telah menciptakan Timor untuk cendana, Banda untuk pala, dan Maluku untuk cengkih. Barang-barang ini tidak

dapat ditemukan di mana pun kecuali di ketiga tempat ini. Saya telah bertanya kepada banyak orang dengan sangat cermat dan sabar, mengenai apakah ketiga komoditas tersebut dapat ditemukan di tempt lain, dan semua orang menjawab tidak.”

Pires mencatat cendana-cendana Timor ini banyak dikirimkan ke Malaka dan laris manis. Karena selain diminati bangsa asing, masyarakat Nusantara saat itu juga menggunakan cendana dalam ritual dan kesehariannya.

Cendana yang istimewa ini juga memiliki filosofi yang baik, yaitu untuk mencapai keberhasilan atau kemuliaan dibutuhkan upaya atau perjuangan yang tidak mudah. Ini diambil dari fakta bahwa pohon cendana yang tumbuh di atas tanah gersang, dangkal, yang berbatu-batu, justru lebih baik kayunya dibanding yang tumbuh di tanah yang subur.

Saking istimewanya cendana, konon Presiden Soeharto dahulu sampai menamai jalan di mana rumahnya berada sebagai Jalan Cendana. Sebab bagi Soeharto, cendana itu istimewa dan memiliki aroma khas yang dapat membuat orang yang menciumnya terpana.

Di dunia keris, terutama Keris Jawa, kayu cendana juga mendapat tempat istimewa. Kayu cendana menjadi pilihan untuk membuat warangka keris. 

Karena selain harum dan berserat bagus, kayu ini juga tidak keras sehingga aman bagi bilah. Juga mengeluarkan minyak yang membuat bilah wangi dan terlindungi dari karat. 

Untuk Keris Surakarta, kayu cendana Timor adalah pilihan utama untuk warangka. Sementara Keris Yogyakarta, meski yang utama bukan cendana, namun keris kraton yang pakai timoho pun biasanya gandarnya tetap menggunakan kayu cendana. Bahkan pusaka utamanya yaitu Kanjeng Kiai Agang Kopek, juga berwarangka cendana.

Mengenai penggunaan cendana untuk warangka Keris Surakarta tercatat dalam manuskrip “Kaweruh Damel Sarung” karya Ngabehi Nayawirangka. Berikut ini beberapa catatan dari manuskrip itu yang saya kutip dari buku “Keris Punggawa Jawa” karya Daryono SE dkk.

Nayawirangka mencatat jika sebelum tahun Jawa 1790, masyarakat di dalam Karaton Kasunanan Surakarta kebanyakan hanya membuat warangka kerisnya dengan bahan kayu cendana, timoho, awar-awar, dan mentaos. Kayu cendana dan timoho adalah yang paling banyak digunakan sebagai bahan warangka di masa itu. 

Kayu awar-awar memang ada yang mempergunakannya tetapi tergolong lebih jarang dibandingkan cendana dan timoho. Sementara kayu mentaos baru akan digunakan untuk warangka yang akan disungging (dilukis).

Masih dari sumber yang sama, dijelaskan bahwa warangka dengan bahan cendana yang baik jarang digunakan masyarakat. Sebab selain harganya yang mahal, juga karena kayu ini dianggap sebagai kayu khusus bangsawan kraton.

Selain itu, sebelum tahun Jawa 1790 cendana yang dipilih adalah yang memiliki kualitas super, yaitu yang sudah tua dan terletak di bagian pohon bawah (pok). Di bagian tersebut ada galih yang harum dan memiliki tekstur atau bermotif serat bagus (nginden). Ada yang motif seratnya lurus, ada pula yang saling melintang tumpang tindih bagaikan anyaman kepang (nganam kepang). 

Menginjak tahun Jawa 1820 penggunaan cendana berkualitas supet berangsur makin jarang. Karena bahan semakin langka dan sulit didapat. Apalagi kalau untuk warangka gandar iras (warangka dan gandar dari satu potong kayu bukan sambungan).

Maka kemudian kayu cendana dari grade di bawahnya yang sebelumnya tidak jadi pilihan, kemudian menjadi pilihan. Misalnya cendana yang tidak nginden, tidak nganam kepang, tidak gandar iras, dan sebagainya.

Contohnya di foto, keris saya dengan warangka Gayaman Surakarta dari cendana Timor namun yang tidak bermotif. Gandarnya juga dari cendana Timor namun tidak iras (sambungan).

Beragamnya bahan cendana ini oleh masyarakat perkerisan Jawa kemudian dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama cendana sari, yang berasal dari Timor, yang dianggap sebagai kayu cendana kelas pertama. Cendana ini biasanya digunakan sebagai bahan warangka keris oleh bangsawan keraton Surakarta.

Kedua ada cendana cengi, yang berasal dari Cina. Cendana ini lebih suram warnanya dan keras kayunya, serta kurang harum dibandingkan cendana sari.

Terakhir cendana Jawa, yang merupakan kayu dari Jawa. Cendana Jawa yang nama latinnya Exocarpos latifolia ini kurang wangi, kalau ada yang wangi pun tidak seperti wangi cendana Timor. Selain itu warna dan teksturnya juga berbeda dari cendana Timor.

Belakangan ini, cendana Jawa sering jadi pilihan untuk warangka keris baik Surakarta maupun Yogyakarta. Biasanya cendana Jawa yang banyak dipilih adalah yang seratnya bagus, baik yang ndaging urang atau nganam kepang

Bisa dilihat di foto contoh keris saya yang memakai warangka Ladrang Surakarta dari cendana Jawa nganam kepang.

Sekarang ini, cendana sari atau cendana Timor makin jarang terlihat. Jika dahulu saja sudah langka apalagi saat ini. 

Untuk warangka dibutuhkan kayu yang besar atau lebar. Untuk mendapat kayu yang besar, membutuhkan waktu lama, puluhan tahun. Sementara saat ini, masih belum besar pun sudah dipanen untuk kebutuhan minyak cendana. Akibatnya semakin langka cendana untuk bahan warangka

Cendana Timor saat ini yang berkualitas baik hanya muncul pada warangka lama baik yang masih ada bilahnya maupun randan atau warangka bekas. Bahan baik susah jarang ada. Kalau ada bahan yang asli Timor biasanya tidak cukup memadahi untuk warangka. Atau hanya bagian yang bukan galih, sehingga kurang bagus motifnya dan tidak wangi.

Maka hukum pasar pun berlaku. Makin langka makin mahal harganya. Lalu para pemalsu pun muncul dan beredarlah cendana Timor atau cendana Timtim aspal, yaitu kayu cendana Jawa atau lainnya yang diolah seolah Timor. Dengan cara dilumuri minyak cendana, kayu wangi lainnya yang bukan cendana Timot tapu diaku cendana Timor, dan lain sebagainya. 

Maka perlu waspada membeli bahan atau warangka cendana Timor. Jangan sampai sudah keluar biaya besar tapi dapatnya aspal.

Demikianlah. Di dunia keris, terutama untuk sandangan atau warangka, cendana akan terus istimewa. Dari dahulu kala hingga hari ini, hingga nanti.

Leave a Reply

Your email address will not be published.