Karya Seharga Nyawa

Suatu waktu seorang raja memanggil pembuat keris untuk menghadap kepadanya. Sang Raja minta dibuatkan hulu keris baru yang beda dan belum pernah ada.

Permintaan penguasa ini tidak main-main. Karena jika gagal memenuhi, Si Pengrajin akan dihukum mati. Maka jadilah ini sebuah proyek berkarya yang seharga nyawa.

Titah Sang Raja membuat pengrajin ini sangat tertekan. Dia sudah berusaha keras mencari inspirasi, namun tak kunjung ketemu.

Sampai saat malam tiba dan udara semakin dingin, Sang Raja pun terkena demam. Untuk melawan dingin, penguasa tersebut duduk sambil memeluk dirinya, merapatkan lututnya, dalam balutan sarung. 

Melihat Rajanya yang sedang demam itu, Sang Pengrajin kemudian mendapat inspirasi. Dia kemudian mengukir hulu yang bentuknya menyerupai posisi Sang Raja yang terkena demam itu. Kemudian ditambah dengan stilisasi dan ukiran yang menawan.

Hulu ini kemudian diserahkan kepada Sang Raja dan ternyata suka. Maka selamatlah nyawa Si Pembuat Keris itu. Bahkan kemudian mendapat hadiah dari Sang Raja.

Dari kisah pembuatannya, hulu itu kemudian dikenal sebagai Hulu Jawa Demam.

Selain itu, ada juga legenda lain terkait Hulu Jawa Demam ini. Di versi lain ini disebutkan bahwa konon inspirasi hulu ini terkait dengan Hang Tuah, tokoh Legenda Melayu, yang datang ke Banten. 

Di pelabuhan ujung Barat Pulau Jawa ini, Hang Tuah melihat seseorang yang duduk dengan posisi memeluk diri sendiri seperti sedang demam. Saat dihampiri, ternyata orang yang dikira demam ini kemudian menyerang dengan keris kepada Hang Tuah dan pasukannya. 

Tentu saja endingnya bisa ditebak, orang itu gugur setelah menyerang dengan gagah berani. Karena keberaniannya, kisah orang demam yang menyerang Hang Tuah itu kemudian diabadikan menjadi Hulu Jawa Demam.

Legenda kedua ini tidak sepopuler yang pertama. Bahkan di Semenanjung Malaya, legenda yang pertama yang dipercaya. Ini bisa dilihat dalam buku G. B. Gardner: “Keris and Other Malay Weapons”, 1936, hal. 23.

Legenda itu hadir karena begitu pentingnya hulu ini. Hulu ini merupakan babon dari berbagai varian Hulu Jawa Demam dan turunannya seperti Hulu Anak Ayam, Ulu Burung, dan lain sebagainya.

Bahkan hulu yang berasal dari Palembang ini kemudian menyebar luas ke seluruh wilayah Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Thailand Selatan, dan Myanmar. (Lihat Basuki Teguh Yuwono dan Fadli Zon “Keris Minangkabau”, 2016, hal. 110).

Di Sulawesi hulu ini disebut sebagai Pangulu Sikpri atau Hulu Takzim, juga ada varian seperti Hulu Anak Ayam yang jadi Pangulu Rekko alias Hulu Patah Tiga dengan wajah ayam atau burung. (Lihat Ahmad Ubbe “Keris Serumpun Bugis – Makassar – Melayu: Kunci Menuju Kekuasaan” (2021), hal. 36).

Di Cirebon, Hulu Jawa Demam juga beredar. Di sana hulu ini dan variannya seperti Hulu Anak Ayam disebut Garan Bebekan.

Kembali ke nama Jawa Demam. Menurut legenda yang paling populer ini terinspirasi dari raja yang disebut Jawa yang demam. Ini hulu dari Sumatra atau Palembang, tapi mengapa rajanya disebut Jawa?

Mungkin karena saat itu penguasa di Palembang adalah orang Jawa. Mengingat daerah ini pernah dikuasai dan menjadi vasal kerajaan Jawa mulai dari Singosari, Majapahit, sampai Mataram. 

Ini sejalan dengan penelitian Basuki Teguh Yuwono dan Fadli Zon, 2016, hal 108, yang menyatakan bahwa keris Palembang lebih banyak mendapat pengaruh Jawa dibanding Bugis. Catatan-caratan pengaruh Jawa di Keris Sumatra juga bisa dilihat di buku Guntur Setyanto “Nilai Didaktis Keris Nusantara (Edisi Revisi), 2022, hal 371-377.

Bahkan dalam versi yang menyebut Jawa Demam ini salah kaprah, kata Jawa pun masih dipakai. Misalnya Bambang Harsrinuksmo dalam “Esnsiklopedi Keris”, 2008, hal 206, mengungkapkan bahwa Hulu Jawa Demam adalah salah ucap yang kemudian menjadi salah kaprah dari Hulu Jawa Demang.

Menurut Bambang hulu keris model Jawa Demam sekitar tahun 1920an masih disebut Jawa Demang. Mungkin karena kesalahan ucap, atau memang karena bentuknya yang menyerupai orang menggigil dengan melipat tangan di dada, lalu orang kemudian menyebutnya sebagai hulu keris Jawa Demam atau Jawa Gigil.

Bambang juga mengutip pendapat Moh. Amin, pecinta keris di Palembang, yang juga menyatakan nama hulu keris khas Palembang itu adalah Jawa Demang. Namun kemudian sering disebut Jawa Demam, Jawa Gigil, atau Jawa Sakit. 

Namun dari versi ini pun, tetap menunjukkan bahwa hulu ini terinspirasi oleh penguasa Jawa. Baik Jawa Demang dari seorang Demang (pangkat penguasa/birokrat Jawa), atau Jawa Demam dari penguasa Jawa yang sakit demam.

Terlepas mana yang benar dan sahih, versi legenda inspirasi Hulu Jawa Demam yang dari raja yang demam, menurut saya memiliki filosofi atau nilai didaktis yang bagus. Bahkan masih relevan untuk kondisi zaman sekarang.

Dari kisah Jawa Demam itu kita bisa belajar bahwa inovasi itu penting dan telah menjadi kunci, tidak hanya di zaman ini saja, tapi sejak zaman dulu kala. Saking pentingnya, nyawa bahkan yang jadi taruhannya.

Di era sekarang pun sama. Semua bidang butuh inovasi. Berkarya tanpa inovasi akan stagnan dan ketinggalan. Jika dulu yang menuntut inovasi penguasa dan jika tidak berhasil akan mati kehilangan nyawa, kini yang menuntut pasar atau pengguna dan jika tidak berhasil akan mati gulung tikar dilindas perkembangan zaman. 

Seperti pembuat Jawa Demam yang sulit mencari inspirasi inovasi, karena banyak tekanannya, sekarang pun sama. Karenanya yang berhasil kemudian berhak atas hadiah dan kemakmuran. Sama dengan yang berhasil melakukan inovasi di zaman ini. Dia akan menguasai industri dan cepat mengumpulkan pundi-pundi cuan.

Dari empu atau pengrajin yang membuat Jawa Demam kita juga bisa ambil pelajaran akan pentingnya komitmen dan profesionalitas dalam berkarya. Saking pentingnya, bahkan siap nemerima risikonya yang seharga nyawa. 

Ini cocok diterapkan pada pengrajin hari ini. Apalagi belakangan banyak yang mengeluhkan minimnya profesionalitas dan komitmen pengrajin atau seniman. 

Banyak cerita pesan dijanjikan jadi sebulan, sudah lunas di awal, namun sesudah setahun tidak jadi juga. Bahkan sering tak jelas lagi rimbanya. Saya sendiri juga beberapa kali mengalaminya.

Yang makin bikin kesal, kadang sudah pesan duluan tapi bisa disalip oleh yang pesan belakangan. Belum lagi soal hasil tak sesuai pesanan atau perjanjian, dan lain sebagainya.

Jika di zaman Raja Demam, pengrajin begini pasti sudah mati. 

Tapi kan saat ini karya sudah tidak seharga nyawa. Tidak profesional dan tidak komit pun kan tetap baik-baik saja.

Tunggu dulu, siapa bilang? Di zaman ini yang begitu juga akan mati. Mati ditinggal pembeli atau pemesan. Cepat atau lambat. Apalagi di dunia hobi yang sempit ini.

Semoga jadi renungan bersama.

Sambil mengamati Hulu Jawa Demam yang baru saya beli dari Palembang, saya terkagum-kagum atas hebat dan agungnya Budaya Keris. Dari sebuah hulu saja kita bisa mengambil pelajaran yang berharga dan masih relevan untuk diterapkan di hari ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *