Salah satu hulu Madura yang populer adalah hulu yang disebut Putra Satu. Banyak yang mengenal dan tahu hulu itu, tapi tak banyak yang tahu bahwa nama hulu itu sebenarnya keliru.
Hulu Putra Satu adalah salah kaprah atau keliru dari Hulu Pottre Sadhu. Ada yang menulis Pottre Shadu, Pottre Sadhu, atau Pottre Sade.
Pottre Sadhu adalah Bahasa Madura, sementara Putra Satu bukan Bahasa Madura, melainkan Bahasa Indonesia atau Bahasa Melayu. Makanya tidak ada kata “Putra” dan “Satu” di dalam Kamus Standard Bahasa Madura-Indonesia (Adrian Pawitra, 2009).
Sementara di kamus tersebut “Pottre” atau “Pottre(h)” ada, yang artinya: putri atau anak perempuan raja (hal. 563). Sementara kata “Sadhu” tidak ada. Di sana kata yang mendekati adalah kata “Saddha” yang artinya jelita, terkait wajah wanita (hal. 598). Tapi jelita tidak cocok karena sosok yang digambarkan seram bertaring.
Saya sempat cek ke sahabat yang orang Madura dan berbahasa Madura, misal Pak. Abdul Gafar Karim. Dia mengatakan tidak begitu yakin dengan makna Sadhu, namun kata ini kadang dalam bahasa Madura kadang berarti “keras kepala” (entah bermakna konotatif atau denotatif).
Sementara sahabat lain Mas Rofiq Sabda Pandita mengatakan di komunitas Madura di Lumajang, Jawa Timur, ada kata Shadu. Istilah ini digunakan orang-orang Madura sepuh yang berarti; cocok, karib, atau dekat (sifat hubungan).
Sadhu kemungkinan juga dari Bahasa Sansekerta yang artinya; yang diberkati atau sosok suci atau petapa. Kata ini digunakan setelah seseorang menyelesaikan suatu tugas dengan baik atau memuaskan, sering kali dalam konteks komitmen religius. Kata Sadhu ini juga ada di Bahasa Jawa Kuno yang artinya sama yaitu baik, berbudi luhur, orang suci, petapa (Kamus Jawa Kuno – Indonesia hal.974). Kemungkinan kata yang sama juga ada di Bahasa Madura kuno dengan makna yang sama.
Jadi jika digabungkan dengan Pottre, tiga pengertian Sadhu atau Shadu tadi bisa berarti: putri yang bersifat keras kepala, putri yang berhubungan dekat atau karib, dan putri yang baik, berbudi luhur, dan suci layaknya petapa. Yang terakhir tampak cocok dengan sosok Dewi Ratnadi yang digambarkan di Hulu Pottre Sadhu.
Tapi yang jelas ini sosok putri, bukan putra.
Lalu siapakah putri ini?
Untuk menjawabnya kita perlu mengetahui karakter Hulu Madura. Menurut Pak Suhartono Rahardjo dalam buku “Ragam Hulu Keris Sejek Zaman Kerajaan” (2003 hal. 44), Hulu Madura mengambil bentuk dari dewa, binatang, dan tokoh legenda.
Legenda yang biasa dipakai adalah seputar tokoh legendaris Jokotole. Contohnya ornamen kuda di hulu dan warangka Madura, yang juga terinspirasi kuda Jokotole.
Jika kita lihat tokoh legenda Madura di sekitar Jokotole yang memakai kata Pottre, setidaknya ada dua. Pertama Pottre Koneng, yang merupakan Ibu Jokotole dan yang kedua Pottre atau Putri Majapahit yang jadi istri Jokotole yaitu Dewi Ratnadi.
Pottre Sadu jelas bukan Pottre Koneng, sebab tidak ada penggambaran jelek atau seram pada Pottre Koneng sebagaimana yang tergambar di Hulu Pottre Sadhu. Sementara kalau Dewi Ratnadi sesuai, karena putri ini memang digambarkan buruk rupa.
Pak Toni Junus (2011) dalam buku “Pesona Hulu Keris / The Beauty of Kris Hilt” (2011, hal. 55), juga mengungkapkan bahwa Pottre Sadhu ini adalah Dewi Ratnadi, yang dihadiahkan Raja Majapahit, yang dijuluki Pottre Sadhu, yaitu putri yang buta dan jelek rupa seolah penjelmaan raksasa bertaring. Dari kata Pottre Sadhu ini kemudian bergeser pengucapan menjadi Putra Satu.
Dalam Babad Sumenep atau Babad Songennep (terjemahan tahun 1996), Dewi Ratnadi merupakan putri dari Raja Brawijaya. Putri ini menderita sakit cacar. Usaha penyembuhan ke sana ke mari tidak pernah berhasil. Bahkan kedua belah matanya buta. Dari penyakit yang dideritanya itu, Dewi Ratnadi menangis siang malam. Ia merasa malu karena tidak sama dengan saudara lainnya (hal. 62-63).
Singkat cerita Jokotole yang bejasa membuat gerbang besi di Majapahit dan menjinakkan kuda liar raja, mendapat hadiah dari raja. Awalnya dia akan dinikahkan dengan Ratna Dewi Maskumambang, putri Brawijaya yang cantik, tapi tidak jadi karena intrik, dan akhirnya dinikahkan dengan Dewi Ratnadi yang sakit dan jelek (hal.77)
Jokotole menerima dengan ikhlas dan membawa Sang Putri pulang ke Sumenep. Di perjalanan Dewi Ratnadi ingin mandi tapi tidak ada air. Jokotole lalu menancapkan tongkat “Bulu Gading” dan saat dicabut air muncrat dan mengenai mata istrinya dan jadi tidak buta lagi.
Lalu setelah mandi, Dewi Ratnadi yang tadinya jelek, buta, penuh dengan cacar, dan timpang, sekarang telah berubah. Raut wajahnya sangat cantik, kulitnya kuning mengkilat, dan tidak timpang lagi. Ia bagai bidadari yang baru turun dari kayangan, cantik berseri-seri. Jokotole sangat bangga dengan istrinya (hal. 87-90).
Babad Sumenep banyak menceritakan istimewanya Dewi Ratnadi. Tempat mandinya dan petilasannya selama perjalanan banyak menjadi nama desa di kemudian hari. Kerena istimewanya Pottre ini, wajar dihormati dan dijadikan hulu keris.
Jadi jelas bahwa Hulu Pottre Sadhu ini adalah sosok putri, prempuan, dan feminin. Ini terlihat di Hulu Pottre Sadhu tua koleksi Pak Guntur Setyanto (Samin House Collection) yang fotonya saya pakai di tulisan ini.
Ini adalah wujud Hulu Pottre Sadhu yang benar, di mana sosoknya adalah perempuan. Di ukiran wajahnya juga menunjukkan penggambaran Dewi Ratnadi yang bermata buta (lihat matanya) dan berwajah seram dengan stilisasi taring.
Pola rambut hulu ini juga terlihat feminin, tidak seperti rambut di hulu yang maskulin misalnya rambut di Hulu Buto atau Yaksa. Bahkan di hulu Pak Guntur itu, rambutnya memakai ikat rambut yang khas perempuan. Ditambah dengan ragam hias lainnya yang semakin menonjolkan wujud femininnya.
Ini jelas berbeda dengan Hulu Pottre Sadhu yang telah salah kaprah jadi Putra Satu. Karena namanya keliru jadi nama maskulin, maka banyak yang mengukir sosok ini jadi sosok pria.
Karena menyangka ini sosok pria dari namanya. Maka hulu-hulu Putra Satu yang lahir belakangan, dan banyak beredar di pasaran, rata-rata maskulin banget. Misalnya hulu koleksi Huntington Miller Collection yang ada di buku Bruce W. Carpenter “Heroes, Gods and Guardians: Hilt and Keris of Indonesia” (2021), di sana ada koleksi hulu ini dari bahan gading yang maskulin banget, karena ada kumisnya (hal.82-83). Selain itu sering juga dijumpai beredar hulu serupa dengan wujud badan maskulin, rambut maskulin, dan lain sebagainya.
Hulu Pottre Sadhu sendiri juga banyak ragamnya. Selain yang menampilkan wujud putri berwajah seram bertaring, juga ada yang berpostur sama tapi wajahnya bertopeng, tapi rambutnya kelihatan. Ada pula yang wajah dan badannya ditutupi semacam “hijab” atau kain tapi kakinya masih kelihatan, ada juga yang sudah ful “dihijabi” yang hanya menyisakan postur khasnya saja, tapi sekujur tubuhnya tertutup stilisasi ukiran atau ornamen khas Madura. Ada juga yang menyebut versi tertutup atau terstilisasi ini sebagai Bale Mekabun.
Hulu Pottre Sadhu realis kemungkinan dibuat di era pra Islam. Sementara versi ditutup sebagian bahkan distilisasi penuh kemungkinan mulai di masa Islam, yang menghindari penggambaran figur realis dan menggantinya dengan stilisasi dengan ornamen flora.
Sampai di sini semoga yang masih salah kaprah soal Hulu Putra Satu jadi faham dan tahu bahwa itu adalab keliru dari Hulu Pottre Sadhu. Semoga setelah tahu itu keliru, tidak melanjutkan dalam penyebutan dan pembuatan hulunya.
Maki kita kembalikan Hulu Madura ini pada fitrahnya, yaitu sosok wanita yang namanya pakai Bahasa Madura, bukan sosok pria yang namanya pakai Bahasa Indonesia.
Jadi jangan lagi keliru soal hulu Pottre Sadhu.