Kendit Nyawit

Dalam hal sandangan keris Jawa, sandangan dari kayu Timoho berpelet kendit menempati tempat yang istimewa. Apalagi jika kendit-nya tidak hanya ada di warangka-nya saja tapi juga di deder atau jejeran-nya alias hulunya.

Memang sandangan Timoho kendit ini memiliki filosofi yang baik, atau tuah yang bagus bagi yang mempercayainya. Soal ini saya sudah pernah membahasnya di tulisan saya sebelumnya (judulnya: Sulit Cari Kendit dan Terlilit Kendit)

Sandangan kendit yang nyawit alias serasi atau senada antara warangka dan hulunya merupakan pakem ideal dalam membuat sandangan kendit. Bahkan untuk kendit nyawit ini, dibuat pengecualian atau perlakuan khusus untuk hulu atau deder dari kayu Timoho.

Kita tahu pakem hulu keris Jawa adalah mengutamakan kayu Tayuman atau Kemuning yang kekerasan dan kepadatannya cocok untuk jadi hulu keris. Sementara kayu Timoho lebih cocok atau ideal untuk warangka karena berkarakter lunak. Tapi di sini Timoho dapat dispensasi untuk bisa digunakan jadi deder khusus untuk deder kendit yang akan dipasangkan dengan warangka kendit.

Pengecualian ini terkait dengan konsep nyawitNyawit atau serasi senada memang merupakan salah satu etiket berbusana di Jawa yang juga diterapkan dalam membusanai keris. Nyawit nganggo sandangan kang padha corake

Jadi di sini faktor estetis: terlihat serasi senada, lebih diutamakan dari faktor teknis: kepadatan, kekerasan, kekuatan. Tentu sekali lagi ini adalah pengecualian, atau dispensasi khusus untuk kendit.

Tentu berbeda dengan di Luar Jawa, di mana hulu dari bahan Timoho dengan pelet kendit banyak dipakai. Misalnya di Bali dan Lombok yang justru banyak memakai kendit atau bebet Timoho alias Berore ini justru di hulu bukan di warangka. Ini juga ditemukan pada warangka Jawa Timuran yang biasanya dari Timoho pelet belang-belang dengan hulu kendit.

Istimewanya sandangan keris kendit nyawit di keris Jawa itu banyak diabadikan di wayang kulit. Di wayang kulit yang dibuat dengan gaya penggambaran keris jelas, banyak yang menggambarkan keris yang dikenakan bersandangan kendit nyawit. Ada juga wayang kayu yang pernah saya lihat digambar memakai keris bersandangan kendit nyawit.

Di dalam naskah lama, kendit nyawit juga tercatat menjadi pilihan raja atau kaum bangsawa dalam menyandangi kerisnya. Misalnya saja di Babad Kerung Kebo. Ini adalah babad soal Pangeran Diponegoro versi Kedung Kebo yang ditulis oleh Adipati Cokronegoro I, yang merupakan Bupati Pertama Purworejo yang menjabat dari tahun 1831-1856. 

Naskah ini merupakan sumber primer tentang Pangeran Diponegoro dan Perang Jawa, selain Babad Diponegoro yang ditulis sendiri oleh Sang Pangeran, dan Babad Diponegoro yang ditulis (versi) Kraton Surakarta dan (versi) Kraton Yogyakarta.

Kita bisa melihat ulasan lengkap soal babad ini, beserta gambar ilustrasinya di buku “Sisi Lain Diponegoro: Babad Kedung Kebo dan Historiograf Perang Jawa” karya Peter Carey (2017). Di dalamnya banyak gambar ilustrasi tokoh dan peristiwa terkait Perang Jawa. Gambar itu penting karena di zaman belum ada foto, itulah cara untuk “memotret” peristiwa dan tokoh beserta budayanya.

Di dalam ilustrasi itu tergambar para tokoh Jawa selalu tampil berbusana Jawa dan memakai keris dengan sandangan kendit nyawit. Misalnya Patih Yogyakarta Danurejo IV, saat bertemu dengan Residen Yogyakarta A.H. Smissaert, tergambar menggunakan Brangah kendit nyawit (Carey 2017, di sampul buku). Di Surakarta juga sama, di sana tergambar Sunan Pakubuwono VI yang sedang berdiskusi dengan Patih Raden Adipati Sosrodiningrat II, soal keputusan apakah harus membantu Belanda dalam Perang Jawa, keduanya juga memakai Ladrang kendit nyawit dengan selut khas Solo (hal 69).

Tak hanya Yogyakarta dan Surakarta, raja di Madura pun mengenakan hal yang sama.  Masih dari sumber yang sama, tergambar Sultan Cakraadiningrat dari Bangkalan, yang sedang membicarakan pengiriman pasukan untuk membantu Belanda, juga memakai kendit nyawit di sandangan keris gaya Gayaman Madura atau Pesisiran dengan hulu yang tergambar seperti hulu Tumenggungan (hal 153).

Saat ini sandangan Timoho kendit nyawit makin jarang populasinya. Sebab memang ternyata tidak mudah membuat kendit yang nyawit ini. 

Keris lama yang kendit nyawit yang beredar juga makin jarang. Yang ada kendit-nya biasanya cuma di warangkanya saja, dedernya bukan. Mungkin dahulu nyawit lalu dedernya rusak dan diganti Tayuman atau kemuning, atau memang dari awal dibuat kendit yang tidak nyawit. Sementara di keris baru juga sama. Jarang yang membuat kendit nyawit terutama dari kayu Timoho, karena bahannya yang susah. 

Untuk membuat sandangan kendit nyawitwarangka dan deder memang harus satu bahan. Sama-sama Timoho kendit pun jika tidak satu bahan akan sulit nyawit. Saya sendiri pernah mencoba membuatkan deder kendit untuk warangka Timoho kendit gandar iras saya, sampai habis lima bahan dan jadi lima deder ternyata tidak nyawit, kurang serasi. Karena tidak satu bahan. Akhirnya saya buatkan saja dederTayuman.

Para Mranggi jika ada bahan Timoho kendit, biasanya dimaksimalkan untuk menjadi warangka saja. Tidak disisakan untuk deder. Maka kita jika ingin membuat kendit nyawit harus dapat bahan yang selain cukup untuk warangka, masih sisa dan cukup untuk membuat dedernya.

Selain itu, untuk membuat deder kendit juga ada tantangan tersendiri. Selain soal bahan, juga ada tantangan lainnya yaitu teknis penggarapan. Beberapa Mranggi deder mengungkapkan bahwa kayu Timoho ini terlalu lunak dan seratnya mudah hancur, sehingga lebih sulit membuat cecekan atau patradi kayu ini. Beda dengan kayu padat seperti Tayuman, Kemunging, dll. Kadang untuk membuat cecekandi Timoho ini harus diakali dengan meneteskan lem, dll.

Inilah alasan mengapa Timoho tidak jadi pilihan utama hulu keris Jawa. Tentu beda dengan hulu Bali atau Lombok, seperti Bebondolan misalnya, yang tak ada cecekan yang sekecil dan serumit dederJawa. Tapi sekali lagi, demi nyawit, kendala atau kelemahan teknis Timoho itu diberi dispensasi khusus untuk deder kendit.

Bagi saya kendit nyawit Timoho memang istimewa. Secara estetika dia enak dilihat, serasi, senada, seirama, dan secara filosofi juga bagus. Jika filosofi warangka Timoho berpelet kendit saja sudah luar biasa, apalagi jika kendit-nya ada dua atas bawah dan nyawit menyatu.

Sebagai pemanis, foto keris saya bersandangan Gayaman Yogyakarta dari kayu Timoho berpelet kendit nyawit. Diifinishing dengan gebek tanpa pewarna (tanpa plitur/sirlak) agar tampak warna alami kayu Timoho seperti di ilustrasi Babad Kedung Kebo. Dipadu dengan pendok dan mendak perak. Sederhana saja, bukan yang paling bagus atau sempurna, tapi cukup bagi saya.

Yang punya sandangan kendit nyawit silahkan diposting di kolom komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *