Keretaku Tak Tepat Waktu

foto: mediaindonesia.com

Sudah sejam lamanya wanita muda itu duduk di bangku stasiun Tanjung Barat. Sesekali dia melihat jauh ke arah kanannya, sesekali melihat jam tangannya. Matahri pagi mulai terik menandakan siang akan tiba, namun kereta yang ditunggu tak juga tiba.
Popy, nama wanita berusia 26 tahun itu. Dia sedang menunggu Kereta Rel Listrik (KRL) atau kereta commuter Jakarta-Bogor untuk membawanya ke Stasiun Gondangdia, Jakarta Pusat. Dia memang memilih kereta commuter sebagai moda transportasi sehari-hari menuju tempat kerja kerena dinilainya cepat, bebas macet dan murah biayanya.
Namun kali ini pegawai swasta ini kecewa dan pendangan itu berubah karena kereta yang ditunggunya tak kunjung tiba.

“Sudah sejam saya menunggu tapi belum datang, biasanya suka telat juga tapi tidak lama,” ujarnya.
Soal lambatnya kereta juga dikeluhkan Maya, 29, penumpang setia dari Pondok Kopi. Dia kecewa dengan kereta yang dinilainya tak lagi tepat waktu sesuai jadwal. Padahal dipilihnya kereta karena dinilai lebih cepat dan tepat waktu dibandingkan angkutan lain seperti bis.
“Suka lelet banget, rekor dari pondok Kopi sampai Juanda 25 menit,” ujarnya.
Bukan hanya tak tepat waktu, KRL juga dikeluhkan karena banyak ketidaknyamanan yang dialami penumpang selama perjalanan. Hal ini bermula dari berjubelnya penumpang di dalamnya. Bayangkan saja sekitar 400 ribu orang per hari menaiki kereta itu.
Sering tak tepat waktu membuat kereta yang pertama tiba menjadi rebutan, bahkan ada yang nekat naik ke atap. Yang di dalam harus berdiri berhimpit-himpitan dan terinjak. Keadaan ini juga yang kemudian membuat KRL rawan tindakan kriminal.
Para copet sering beraksi menyambar dompet dan HP milik penumpang. Cerita lama ini kerap terjadi saat penumpang bejubel dan berhimpit, terutama di jam masuk dan pulang kerja.
Popy sendiri pernah coba dicopet. Tas kerjanya disilet hingga sobek oleh si copet yang berusaha mengambil barang dalam tasnya. Dia baru sadar saat sudah turun di stasiun tujuan. Beruntung, si copet tidak menemukan dompet dalam tasnya.
Namun hal yang sangat membekas di benak Popy bukan peristiwa itu, melainkan pelecehan seksual yang kerap dialami wanita di tengah desak-desakannye penumpang. Saat itu dia pulang kerja di sore hari, saat kereta berjalan dia merasa ada bapak-bapak yang terus memepetnya dari belakang. Rupanya bapak itu mencoba memanfaatkan keadaan dan melakukan tindakan yang menjurus pada pelecehan seksual.

“Saya kaget, takut dan turun di stasiun terdekat. Padahal masih jauh dari stasiun tujuan. Mulai saat itu saya takut naik KRL dan tiap pulang saya pilih naik bis saja,” ungkapnya.
Penumpang KRL lain, Desy, 26, juga menyimpan memori buruk soal moda transportasi yang jadi andalan warga pinggiran Jakarta itu. Suatu pagi dia berangkat menuju Stasiun Jakarta Kota dari Kalibata.
Selama perjalanan dia hanya mengeluhkan sumpek dan kotornya kereta. Pedagang asongan dan pengamen yang terus melintas semakin membuat perjuangan mereka berdiri di dalam gerbong menjadi berat. Belum lagi jika mereka menawarkan dagangan atau meminta uang dengan setengah memaksa.
Tak hanya sampai disitu, ternyata sesampainya di tujuan nasib buruk masih menimpa Desy. Betapa tidak, dompet dan dua HP nya raib dicopet tanpa disadarinya.
“Saya tidak sadar, karena menjaga agar tidak jatuh dan menahan desakan saja sudah perjuangan. Mungkin saat itu pencopetnya beraksi,” kenangnya.
Desy menyesalkan seolah KRL hanya semacam alat angkut saja. Jangankan kenyamanan bagi penumpang keamanan dari tangan jahil saja susah didapat.
Kisah tragis bahkan dialami Kun, 35, yang sudah bertahun-tahun menjadikan kereta sebagai transportasi sejak dulu berangkat sekolah sampai kerja. Sama seperti yang lain Kun menilai kereta murah dan cepat.
Dia mengaku berdesak-desakan dan kekumuhan adalah resiko yang harus dihadapi. Namun dia mengaku kapok naik kereta saat kakinya terluka kena lemparan batu.
Rupanya saat keretanya melintas di sekitar Pasar Minggu ada tawuran dan beberapa pelajar melempari kereta. Kun yang duduk dekat pintu terkena lemparan keras di kakinya.
“Saya tiga bulan kesulitan jalan. Setelah itu saya memilih naik motor. Kalau lagi gak naik motor baru sesekali naik kereta lagi,” ujarnya.
Lemparan baik batu atau botol yang dialami Kun dikenal sebagai ranjau oleh pengguna KRL. Lemparan yang kadang juga dilakukan orang iseng membahayakan penumpang, apalagi tidak ada pintu di banyak KRL ekonomi.
Kisah mereka hanya beberapa contoh ketidaknyamanan yang kerap dijumpai dalam KRL atau kereta commuter. Banyak kisah lainnya yang kebanyakan memang bertutur soal ketidaknyamanan dan kriminalitas. Jika saat ini masih ada yang menggunakan moda transportasi ini kebanyakan mengaku tak ada pilihan lain, karena hanya KRL lah moda transportasi yang murah dan menjangkau wilayah penyanga Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *