Keringat Pertama di Telaga Warna

Banyak cara merayakan pergantian tahun. Sebagian orang Jakarta merayakannya dengan pergi ke luar kota. Daerah Puncak biasa menjadi tujuannya. Pagi pertama di tahun 2011, saya juga pergi ke Puncak. Namun bukan untuk menginap di villa dan buat acara tahun baruan, melainkan untuk bermain sepeda gunung alias gowes.

Saya berangkat bersama teman gowes saya Om Eko dan Om Hasim. Om Eko yang mencetuskan ide awal gowes ke puncak di tahun baru itu. Tujuannya adalah Track Telaga Warna (TW) dan Rindu Alam (RA). Awalnya kami bertiga saja yang akan merayakan tahun baru gowes ke puncak, namun belakangan Om Dave juga ikut namun berangkat sendiri. Selain itu juga ada teman Om Eko lainnya: Om Fendi, Aheng, Hadi, dan Afong sudah menunggu di Warung Mang Ade.

Kami bertiga berangkat pagi-pagi sekali. Sekitar pukul 05.35 WIB, Om Eko menjemput saya dan Om Hasim di pinggir Jalan TB Simatupang. Perjalanan mulus, dan sekitar pukul 07.00 WIB kami tiba di Masjid Gadog. Tak lama kemudian Om Dave datang.

Suasana sepi, padahal biasanya ramai oleh orang yang akan gowes ke TW atau RA. Mungkin kali ini sepi karena semua orang masih tidur seusai  merayakan pergantian tahun tadi malam. Terus terang saja, saya juga kurang tidur. Saya cuma tidur kurang dari tiga jam karena terganggu berisik suara petasan dan kembang api. Meski ngantuk dan lemes, tekat mengucurkan keringat pertama di Puncak tidak bisa dibendung.

Perjalanan berlanjut dengan angkot. Tarif angkut orang plus sepeda sekitar Rp150 ribu per angkot. Angkot di Puncak memang jika hari Sabtu atau Minggu sengaja mangkal di Masjid Gadog. Alasan mereka lebih untung mengangkut sepeda disbanding narik penumpang di kemacetan akhir pekan.

Angkot berwarna biru ini akan membawa kita menuju Warung Mang Ade. Di sanalah para goweser Puncak istirahat sejenak sebelum turun ke trek. Di warung ini juga kita bisa sarapan dulu. Bagi yang lupa bawa perlengkapan gowes, di sini juga tersedia; ada ban cadangan, protector, helm, jersey, chain lube, dan sebagainya.

Perjalanan dari Gadog ke Warung Mang Ade sendiri sempat terhambat. Jalanan ke atas macet parah karena ada pohon tumbang. Kami akhirnya ditawari lewat jalan alternative dengan tambahan biaya Rp40 ribu. Jalannya agak ekstrim dam offroad. Wal hasil sampai Warung Mang Ade frame saya dan Om Eko lecet sedikit.

Setelah sarapan dan bertemu rombongan Om Fendi di Warung, kami langsung masuk ke Trek TW dengan menyeberang jalan. Ternyata trek ini di luar bayangan saya. Trek ekstrim penuh tanjakan dan turunan tajam yang lebih cocok sebagai trek Down Hill (DH). Belum apa-apa kami langsung dikejutkan dengan tanjakan curam berbatu. Beberapa kali sepeda saya terangkat ban depannya, semua kesulitan nanjak mulus kecuali Om Eko dan Om Dave. Maklum di luar dua orang itu, semua bisa dibilang newbie.

Hujan rintik-rintik membuat batu di trek menjadi licin. Ditambah kabut tebal membuat pandangan terbatas. Di trek turunan TTB menjadi pilihan. Licinnya trek membuat TTB begitu sulit, beberapa kali kepleset menjadi pilihan. Para goweser yang memakai sepatu yang tak cocok untuk bersepeda mulai mengeluh slip, dan harus kepleset. Salut untuk Om Eko dan Om Dave yang berani meluncur. Om Dave bahkan memakai sepeda hard tail di medan ini. Saya sendiri yang juga hard tail, Cuma berani meluncur di turunan terakir jalan batu. “Nekat juga lo,” kata Om Eko.

Lalu kami foto-foto di telaga. Karingat pertama gowes di tahun 2011 terasa benar bercucuran di sini. Apalagi ketinggian dan udara berkabut membuat bernafas saja butuh kerja ekstra. Usai foto-foto kami lanjut gowes. Kali ini treknya full turunan. Kami menyusuri jalanan kebun the yang diapit jurang disebelah kiri, pohon teh di kanan dan batu-batuan di depan. Ngeri juga melaju di jalan seperti itu dengan kecepatan sepeda cukup kencang.

Di sini, tiba-tiba Om Fendi bertanya mengapa rear shock polygonnya keluar olinya. Rupanya shock coilnya bocor. Usut punya usut ternyata dia mengaktifkan lock saat nanjak. Padahal di jalan off road, apalagi berbatu fungsi lock pada shock harusnya dimatikan.

Jalur di TW baik itu TW 1, TW 2 dan TW 3 isinya 90% turunan, jalanannya masih basah tapi bisa digowes dan tidak terlalu licin. Usai kebun teh kami masuk hutan kecil dan tetap turun. Di sini turunannya makin serem. Bisa dibilang Mini DH dengan rintangan akar-akar pohon melintang, ranting-ranting pohon, dan bebatuan yang bercampur dengan tanah gembur.

Om Dave meminta semua menurunkan seatpost sampai pol. Lalu dia meluncur dengan mulus dan cepat, menyusul Om Eko dengan Velvet hijau yang saya juluki Si Kolor Ijo. Berikutnya saya. Awalnya agak ragu melibas trek ini. Jujur ini trek ekstrim pertama saya, ditambah sepeda saya yang spek XC dan hard tail pula. Tapi saya nekad saya dan segera meluncur persis di belakang Om Eko.

Alhamdulillah saya sampai juga di bawah tak lama setelah Om Eko. Sepanjang turunan berkali-kali akar pohon membuat slip ban dan ranting menghantam kepala. Untungnya helm dan kacamata kuning menolong di kondisi seperti ini. Kami bertiga menunggu yang lain di bawah. Om Eko bilang; “Siapa bilang dulu sepeda Hard Tail gak bisa main beginian di puncak,”. lalu seperti biasa Om Eko tebar-tebar racun untuk up grade sepeda. Lalu seperti biasa Om Eko tebar-tebar racun untuk up grade sepeda.

Lalu dia menawari kami mencoba Si Kolor Ijo yang masih kinyis-kinyis dari toko. Om Dave segera mencoba dan meluncur mulus sampai bawah. Giliran saya, saya tuntun sepeda ke atas dan meluncur. Asik banget sepeda ini, jika Ginat Hard Tail saya lonncat-loncat, Velvet ini membantu stabil. “Asikkk Pak” kata saya sambil meluncur..sampai bawah saya lupa depan saya jurang dan harus belok. Lupa ngerem dan belok mendadak saya nyungsep.

Tidak terlalu keras jatuhnya, tapi karena tidak memakai protector, pedal cleat baru Om Eko yang pinggirnya ada geriginya menggores kulit tulang kering saya. Goresan tipis tapi rata garis-garis, cukup perih juga. Lalu Om Dave memberikan pertolongan dengan perlengkapan medis lengkap yang dibawanya. Semprot antiseptic, beres.

Kemudian rombongan belakang datang. Terlihat ada yang jatuh berkali-kali. Mereka bilang treknya ekstrim banget, tapi mereka suka. Mental Om Fendi dan kawan-kawan memang luar biasa. Perjalanan pun dilanjutkan. Turunan tajam tanah di apit jurang cukup bikin ciut nyali. Kami lalui dengan kombinasi gowes dan TTB. Di sini saya sempat terjungkal saat TTB dan nyaris masuk jurang. Baru di pinggirnya saya sempat meraih batang akar sehingga batal menggelinding ke bawah. Saat jatuh saya juga kena stang sepeda di dada dan lumayan memar. Akhirnya kami sampai di lapangan bola sebagai check point terakhir TW. Di sini Om Eko, Dave, dan Hasim main loncat-loncatan di gundukan saung.

Ada bapak-bapak tua yang terus mendekati kita bergantian. Ngakunya dia yang suka memperbaiki trek atas. Tak digubris yang lain dia mendekati saya. Awalnya saya cuekin saya, tapi karena kasihan dan dia juga bawa arit, juga siapa tahu emang dia yang merawat, saya kasih duit Rp5000. Itung-itung sodaqoh. Ternyata belakangan dari Om Dave saya dikasih tahu dia bukan yang merawat. Iya juga ya, kan masuk trek kita sudah bayar Rp2000. Ya sudah, lain kali saya gak akan ngasih lagi.

Sekitar pukul 11.30 WIB kita melanjutkan ke trek RA. Sedikit menyusuri aspal ke arah atas dan kami mulai masuk jalur RA dari jalur tembusan TW 3. Diawali jalan aspal dan “sedikit” nanjak, dan tembus ke kawasan Gunung Mas. Om Ahen interupsi menyatakan lapar dan mengajak makan siang. Namun Om Eko dengan muslihatnya seperti biasa menyatakan makannya di Taman Safari saja, sudah dekat. Saya dan Om Dave yang sudah pernah ke RA sebelumnya cuma senyum-senyum saja.

Akhirnya sekitar pukul 14.00 WIB kami sampai di kawasan terminal di depan Taman Safari. Biasanya dari turunan ke sini banyak anak-anak menawarkan jasa dorong. Namun kali ini sepi. Kami langsung menuju warung langganan dan istirahat sambil memesan nasi. Seperti biasa nasi kita bungkus dan bawa ke atas untuk di makan di saung ngehek nanti.

Kami mulai bergerak menuju Tanjakan Ngehe yang terkenal itu. Saya, Om Hasim, dan Dave gowes bertiga. Lumayan kali ini saya bisa gowes sampai lumayan atas, lebih jauh dari gowesan saya sebelumnya. Om Eko dan Dave terus melaju ke atas, Om Eko bahkan ful gowes sampai vila atas, saya dan Om Hasim ngos-ngosan berenti. Sebenarnya dengkul masih kuat, cuma nafas serasa habis. Saya baru ingat kata Om Eko bahwa gowes di ketinggian itu berat karena oksigennya tipis.

Di vila ujung beton tanjakan ngehek, saya dan Om Hasim menunggu rekan yang lain. Sementara Om Eko, Dave, sudah ke atas. Satu orang rombongan Om Fendi juga sudah ngojek ke atas. Saat menunggu tiba-tiba muncul bapak-bapak dari dalam Vila dan mengajak ngobrol soal jalur sepeda ini. Tak lama ada perempuan cantik berjilbab keluar.

Rasa lelah langsung hilang melihat perempuan ayu ini apalagi dia dengan ramah mengajak ngobrol dan mempersilahkan mampir ke dalam vila jika mau. Om Eko belakangan menyesal jalan duluan setelah saya ceritakan soal ini hihihi. Saat sedang asik ngobrol tiba-tiba ada anak kecil yang datang merangkul perempuan tadi dan sepertinya anaknya. Rombongan langsung ilfil, patah harapan, dan langsung minta diri melanjutkan perjalanan hahahaha..

Kita menuju saung ngehek dengan TTB. Saya merasakan TTB kali ini sangat berat. Usut punya usut, ternyata sepatu Specialized Tahoe yang menyebabkannya. Sepatu ini enak jika dipake gowes, tapi untuk berjalan sangat kaku dan cepat membuat lelah.

Setelah berjuang sampai saung satu, kami diajak nanjak lagi ke saung dua. Terpaksa dengan berat hati dan berat kaki kami TTB lagi. Sangat berat TTB ini saya rasakan dengan nafas sesak, perut lapar, dan sesekali pusing akibat ngantuk karena kurang tidur. Tapi prinsip saya jelas; lebih baik dorong daripasa ngojek!

Pukul 14.30 WIB kami sampai juga di saung ngehek dua. Saya segera bergegas membuka nasi bungkus dan nyam..nyam..nikmat sekali makan siang kali ini. Setelah makan Om Dave juga berpesan agar tak membuang sampah, maka bungkus pun kami masukkan tas dan bawa pulang.

Perut kenyang tenaga perlahan kembali. Tapi penderitaan panjang dorong sepeda tidak berhenti sampai di sini. Ngehek tiga masih menanti. Ada bangunan tua dan kosong di sana. Pohon dan ilalang sudah hampir menutupi bangunan itu, para penggowes biasa bilang ini rumah nyamuk, lanjut dorong karena tanjakan masih kurang bersahabat, bebatuan besar menyulitkan kami untuk tetap berada di atas sepeda.

Setelah menanjak waktunya turunan, Om Dave yang selalu di depan meminta menurunkan seat post. Kami pun melanjutkan jalan masuk ke dalam hutan. Suasana sore hari membuat hutan rimbun ini makan gelap. Kami terus gowes sampai bukit Piramid. Sekitar lima bukit lagi yang harus dilalui. Di hutan ini tiba-tiba Om Dave berhenti dan minta gowes bareng-bareng dan jangan jauh-jauh.

Rupanya di depan kami suasana makin angkar. Ada rumah besar yang hancur ditimpa pohon besar dengan suasana mistis. Di belakang saya ada temen Om Fendi yang bilang; “di sini kuburan”. Makin merinding lah jadinya. Tapi saya coba tetap tenang, berdoa, dan lanjut gowes. Tak lama kemudian rombongan terhenti. Ternyata ada masalah, seat post Om Dave patah di bautnya.

Rombongan mulai panik. Sebab kondisi masih di dalam hutan yang gelap dan waktu sudah menunjukkan jam 16.45 WIB. Akhirnya diputuskan terus gowes saja sampai ada tempat terang dan keluar hutan dulu. Di sana seat post Om Dave di sambung dengan ban dalam dari rombongan Om Fendi.

Beberapa meter sebelum di tempat ini saya tiba-tiba nyungsep. Saya tidak tahu kenapa, yang jelas seperti hilang kesadaran beberapa menit dan sudah jatuh. Saya jatuh berguling tepat menimpa batu, untung tas sepeda saya melindungi punggung. Saya menduga ini karena saya sudah terlalu capek dan ngantuk, maklum malamnya tidak bisa tidur dan trek yang telah dilalui juga lumayan jauh dan berat bagi pemula seperti saya.

Setelah seat pos beras kami turun terus sampai juga di bukit piramid. Setelah ini, saya lihat Om Eko dan Om Dave beberapa kali bimbang mau ambil jalur mana. “Wah kesasar kita,” ujar saya ke Om Hasim. Akhirnya jalur dilanjutkan ke jalur yang kadang tidak ada treknya. Kata Om Eko sih jalur baru. Hemm.. Akhirnya kita gowes sambil menembus semak-semak atau rumput tinggi. Berat juga ternyata. Belum lagi bawahnya juga becek.

Lagi mati-matian berjuang, dengan kondisi fisik mulai lemas dan mata mulai berat, tiba-tiba saya dikejutkan oleh gonggongan anjing. Memang tidak terlalu besar tapi jumlahnya ada dua ekor. Langsung saya kebut sepeda melewati dua anjing itu. Sempat mau mengejar, untung gak jadi..lega..

Berikutnya turunan macadam menyambut kami. Tangan yang sudah lemas mati-matian bertahan mempertahankan handling sepeda sampai akhirnya ketemu jalan raya atau jalan aspal. Di sinilah bonusnya, meluncur lancer tanpa hambatan.

Jarum jam menunjukkan pukul 17.50 WIB. Kami terus menyusuri turunan apal sambil berbagi jalan dengan kendaraan bermotor. Om Dave mampir di bengkel beli baut kami lanjut meluncur. Tiba-tiba di depan ada tanjakan. Saat akan menanjak, tiba-tiba dengkul saya linu. Saya sempat berhenti lama. Rupanya memar akibat jatuh yang tak saya rasa mulau kumat.

Akhirnya saya tuntun sepeda sambil tertatih-tatih ke atas di sama Om Eko, Hasim, menunggu. Setelah rombongan Om Fendi lengkap mereka kita bantu untuk cari dan sewa angkot. Mereka butuh angkot untuk kembali ke Kota Bunga di Cipanas. Sementara saya, Om Eko, Hasim, dan dave gowes ke Masjid tempat parkir mobil. Sampai di sana jam 18.15 WIB.

Jam 18.45 WIB, saya Om Eko, dan Hasim meluncur pulang. Kami berpisah dengan Om Dave yang mandi dulu di masjid. Kami menyusuri tol jagorawi dan bergegas pulang. Om Eko harus istirahat, karena besok pagi ada jadwal gowes di Longhorn Bike Park Cidokom. Sesampainya di Pasar Minggu, saya turun di TB Simatupang setelah fly over seberang Gedung MD.

Setelah di tinggal Om Eko saya pasang ban di pinggir jalan. Tiba-tiba ada anak kecil datang. Dikiranya saya ada masalah dengan sepeda. Dia agak heran melihat sepeda dan baju belepotan lumpur. Lalu saya jelaskan saya dan kawan-kawan habis menikmati tahun baru dengan bersepeda ke puncak.

Saya lalu pulang menyeberang lewat jembatan, dengan meninggalkan si anak yang masih keheranan dengan cara saya menikmati tahun baru. Akhirnya saya sampai dengan selamat di rumah. Meski sangat lelah saya begitu senang. Rencana menikmati tahun baru dengan bersepeda sudah terlaksana.

3 comments to “Keringat Pertama di Telaga Warna”
  1. mantab tulisannya om dian…. terus menggowes bersama saya dan tetap menulis… petualangan selanjutnya di Gunung Pancar yang tidak kalah mistis atau Bukit Pinang yang lebih extreem

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *