Tepat saat usia saya menginjak angka empat puluh tahun, saya merasa perlu ada sesuatu untuk penanda. Karena usia empat puluh ini katanya istimewa.
Life begins at forty, kata orang Barat. Usia kenabian, kata orang Islam, karena Nabi Muhammad SAW mendapat wahyu pertama di usia itu. Serta banyak lainnya terkait usia patangpuluhan.
Lalu saya memilih keris sebagai penanda.
Keris yang kemudian jadi pilihan adalah keris buatan baru atau keris kamardikan. Keris ini karya Mas Krisna Singo Menggolo Putro. Seorang empu muda dari Malang.
Saya termasuk yang setuju dengan Pak Ferry Febrianto bahwa salah satu cara melestarikan keris adalah dengan membeli atau memesan keris baru. Biar para empu, termasuk para pembuat sandangan, bisa terus melanjutkan berkarya.
Selain itu keris baru itu jelas: jelas pembuatnya, kapan dibuatnya, dan dari bahan apa dibuatnya. Jelas juga harganya. dan masih bisa buat nusuk maling.
Keris buatan Mas Krisna ini berdapur Nogo Seluman. Naga yang kelihatan sebagian tubuhnya dan sebagian lainnya tersembunyi. Ini sesuai dengan pekerjaan saya yang menuntut “sesakti” naga tapi tidak boleh kelihatan dan cukup “di belakang layar/panggung” saja. Juga pengingat agar saya selalu low profile.
Selain itu ini juga bisa mengambarkan hidup di era pandemi di mana kita juga sebagian keluar, sebagian berdiam. Sebagian online, sebagian offline, dan lain sebagainya.
Kalau biasanya Naga Seluman itu luk atau berkelok, ini lurus. Bisa dimaknai bahwa di usia kenabian ini hidup hendaknya lurus-lurus saja.
Juga bisa menjadi pengingat agar selalu lurus, jujur, dan gak neko-neko.
ihdinas siratal mustaqim, tunjukkanlah kami jalan yang lurus.. Sebuah doa di dalam Surat Al Fatihah yang senantiasa kita rapal dan panjatkan setiap hari.
Sementara pamor keris ini adalah Ron Genduru tapi ada wengkonnya alias Ron Genduru Winengku. Kalau di Jawa Timur disebut juga pamor Bulu Ayam.
Saya suka pamor yang terinspirasi dari daun Genduru (Caryota Mitis) ini, karena unik dan indah. Selain itu juga saya kagumi karena pamor ini termasuk pamor miring yang tingkat kesulitan pembuatannya cukup tinggi.
Pamor ini saya maknai sebagai perlambang tangga kehidupan. Bersusun makin ke atas makin kecil dan menyatu: manunggal. Wengkon yang melingkupinya adalah pagar atau perisai. Mengingatkan kita untuk membatasi diri dari hal-hal negatif.
Jumlah ron atau daunnya kebetulan ada 17. Ini melambangkan 17 rakaat salat wajib dalam sehari. Lambang yang sama juga diterapkan di 17 lipatan blangkon Yogya.
Sedangkan di gonjo jumlahnya lima melambangkan lima rukun Islam.
Pamor ini, jika disebut bulu ayam juga bermakna bagi saya karena bulu ayam bisa jadi perlambang pena di masa lalu. Ini sesuai dengan pekerjaan saya yang di seputar dunia tulis menulis.
Bahan pamornya campuran meteor dan nikel. Simbol penyatuan unsur langit dan bumi (bopo angkoso ibu bumi). Vertikal dan horizontal. Hablumminallah dan hablumminannas. Itulah inti keseimbangan hidup.
Demikian cerita keris baru saya dan maknanya menurut tafsir saya. Karena sejatinya keris itu menjadi bermakna karena dimaknai oleh kita manusia. Itulah yang membuat dia berharga bahkan diakui jadi warisan budaya dunia.
Filosofinya mungkin agak gotak gatuk matuk. Tapi bukankah gotak gatuk matuk itu salah satu kearifan kita sebagai orang Jawa? Hehe
Sekadar berbagi, jangan dibuli. Mohon dikoreksi dan dimaafkan kalau ada kesalahan