Dari beragam varian hulu keris di Nusantara, salah satu yang terkenal adalah hulu atau Danganan Bebondolan. Hulu ini banyak digunakan di Bali dan Lombok (di Lombok disebut Dana Bondolan).
Hulu ini bentuknya sangat sederhana karena awalnya diciptakan untuk keperluan fungsional yaitu sebagai hulu senjata tikam. Dalam buku “The World of the Balinese Keris”, 2017, karya Muhammad Bakrin, Toni Junus Kanjeng NgGung, dan Wayan Mardita, hal.42, diungkapkan bahwa bentuk sederhana ini fungsional untuk genggaman erat yang penting saat perkelahian satu lawan satu “siat rapet”.
Kemudian karena Masyarakat Bali adalah masyarakat yang sangat mengutamakan seni dan keindahan. Maka bentuk danganan yang awalnya tampil dalam kesederhanaan, kemudian menjadi semakin beragam dan dibuat dengan cita rasa keindahan.
Di Bali, awalnya hulu yang sederhana dan fungsional ini banyak dijumpai dan bisa dikatakan adalah hulu “sejuta umat”, karena hulu ini bisa dipakai siapa saja. Danganan ini bukan merupakan hulu keris yang hanya boleh dimiliki oleh kalangan tertentu atau kalangan bangsawan saja.
Di Lombok pun sama. Menurut Lalu Djelenga dalam “Keris di Lombok”, 2000, hal. 290, hulu ini disebut Dana Bondolan, dan merupakan bentuk umum, sederhana, dan paling banyak dijumpai. Dulunya untuk keperluan sehari-hari atau orang biasa. Sekarang bisa dipakai siapa saja dalam keadaan dan untuk keperluan apapun.
Bahkan saat ini keris di Lombok lebih banyak tampil memakai hulu ini. Dibandingkan hulu berupa figur realis seperti yang banyak digunakan di Bali. Ini mungkin pengaruh Islam yang dianut masyarakat Lombok yang memang menghindari penggambaran figur realis.
Di Lombok biasanya Bondolan ini dipasangkan dengan angkup (warangka) Tolang Paoq yang artinya biji mangga (“Keris di Lombok” hal. 296). Warangka ini di Bali disebut Batun Poh atau Bebatun Pohan yang artinya juga biji mangga.
Di Bali, danganan ini biasanya dipasangkan dengan warangka Batun Poh atau kadangkala dengan Kojongan. Namun tidak biasa dipasangkan dengan warangka Kekandikan, Sesrengatan, atau Jamprahan karena terasa kurang serasi (Pande Wayan Suteja Neka dan Basuki Tegun Yuwono, “Keris Bali Bersejarah”, 2010, hal. 130).
Neka dan Basuki (hal. 130 – 131) juga mengungkapkan bahwa Danganan Bebondolan ini dipiliah menjadi dua gaya, yaitu: Gaya Bali Utara atau yang lebih populer dikenal dengan istilah danganan keris Buleleng dan Gaya Bali Selatan atau danganan keris Bali pada umumnya. Gaya Bali Utara cirinya ukurannya relatif lebih besar dan panjang, tiap bagian sudut-sudutnya dibuat garis timbul yang rapi dan tegas, serta bagian kepala tampak lebih besar dan mendongak, tegas dan berwibawa.
Sementara Gaya Bali Selatan cirinya ukuran relatif lebih kecil dan lebih pendek serta tampak lebih sederhana, dengan bagian sudut-sudutnya polos, bagian perutnya lebih besar dan tampak buncit berisi. Serta bagian kepalanya relatif lebih pendek dan lebih kecil, sehingga tampilannya tampak lebih menunduk sopan dan sederhana.
Bebondolan banyak dibuat dari bahan kayu dan jarang dijumpai dibuat dari tanduk atau gading. Kayu yang banyak dipakai adalah kayu Pelet atau Berora/Berore atau Timoho (Kleinhovia hospital L.) terutama yang memiliki Pelet Bebet atau Kendit dalam istilah di Jawa. Apalagi di Lombok, Pelet Bebet hanya cocok dan dipakai untuk Danganan atau Danda keris, bukan untuk warangka (“Keris di Lombok”, hal. 279).
Bahkan di Lombok, menurut Lalu Djelenga (Hal. 279 – 281), Pelet Bebet di Bondolan memiliki beragam varian, dan masing-masing dipercaya memiliki tuah yang berbeda. Beberapa variannya antara lain: Pelet Bebet Kembang: garisnya bentuknya tidak lurus dan kadang membentuk variasi indah berbunga, yang dipercaya membawa khasiat kebahagiaan, keberuntungan dan murah rezeki. Kemudian ada Pelet Bebet Lebar: garisnya lebar, yang memiliki tuah atau khasiat sama dengan Bebet Kembang.
Ada juga Pelet Bebet Kelinden: berupa garis lurus kecil sampai seperti benang, yang tuahnya perlindungan dan kewibawaan, bahkan bisa menjinakkan hewan berbisa atau buas. Tapi Bondolan dengan pelet ini tidak boleh dibawa memancing karena dipercaya bisa membuat ikan tidak mau menyentuh umpan. Terakhir Pelet Bebet Kembar: garisnya bersusun, dua atau lebih, yang tuahnya merupakan kombinasi tuah Bondolan Bebet varian lainnya.
Di Bali, Danganan Bebondolan dengan Pelet Bebet atau pelet memilit memiliki makna yang mendalam. Di Facebook, Nyoman Adi, yang mengutip tokoh keris Bali, I Gusti Ngurah Okasunu, memposting kutipan naskah kuno yang menarik mengenai makna Bebondolan dengan Pelat Bebet tersebut:
Niki geguritan carcan kadutan né nuturang mepuasa, kadi tutur yoshinori ohsumi.
Sinom silir
Soroh sarwa bebondolan,
né pélétné negul mlilit,
nyatwang ngenta negul basang,
ngupawasa tra ngrayunin,
betukan mwang batun nyali,
basang-basang mwang pepusuh.
Nto tra répot nto msandekan.
Isin basangé nyegerin
Bedak metu,
nginum twah asaksanaan.
Artinya
Kelompok danganan bebondolan,
yang pélétnya melingkar melilit.
Menuturkan tidak makan mengikat perut, berpuasa tidak makan.
Lambung dan biji nyali,
usus besar dan jantung.
Itu tidak répot itu mengaso.
Isi petutnya segar.
Haus muncul,
minum hanya secukupnya
Itulah Danganan Bebondolan atau Dana Bondolan. Hulu keris yang meski tampil penuh kesederhanaan, namun terlihat indah dan kaya akan pemaknaan.
Ini seperti yang dikatakan Seniman Jenius Leonardo Da Vinci: “Simplicity is the ultimate sophistication”. Justru kesederhanaan itu adalah puncak dari kecanggihan.