Kiai Fathullah Sang Pendiri Kota Jayakarta

foto: istimewa

foto: istimewa

Namanya Fathullah. Orang Portugis mengenalnya sebagai Faletehan (Fathullah Khan), dan dikemudian hari namanya abadi sebagai Fatahillah.

Fathullah adalah seorang ulama dan Laksamana dari Kerajaan Islam Pasai Aceh yang hijrah ke Jawa setelah kerajaannya dikalahkan dan dikuasai Bangsa Portugis. Di Demak dia diangkat jadi Panglima Armada Maritim untuk menggantikan Pati Unus.

Pati Unus yang nama aslinya Raden Abdul Qadir bin Yunus adalah sosok legendaris pemimpin pasukan penggempur Portugis. Menantu Raden Patah itu mewariskan semangat perlawanan terbadap “bangsa atas angin” yang menguasai Malaka dan mengontrol jalur perdagangan di Selat Malaka.

Semangat Pati Unus ini terus menggelora di dada pasukan kerajaan-kerajaan Nusantara yang coba merebut kembali kejayaan dari jajahan bangsa asing yang membawa misi 3G: GOLD, GOSPEL, dan GLORY. Semangat yang sama kembali menggelora saat Alfonso d’Albuquerque mengirim kapal perang dibawah pimpinan Francisco de Sa untuk menguasai Pelabuhan Sunda Kelapa.

Sunda Kelapa adalah salah satu pelabuhan strategis di Nusantara. Jika Malaka adalah kontrol atas jalur di Selat Malaka, maka Sunda Kelapa adalah kontrol jalur di Selat Sunda.

Maka untuk mengalahkan Portugis, Kerajaan Demak mengirim Kiai Fathullah alias Fatahillah. Berangkatlah armada Demak dengan kapal berbendera merah putih (bendera serupa bendera kerajaan Majapahit tapi lebih pendek). Dalam perjalanan ke Sunda Kelapa, Fatahillah mampir ke Cirebon. Di sana dia merekrut tambahan pasukan dan menikah dengan Ratu Ayu putri Syatif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati.

Singkat cerita, terjadilah pertempuran antara pasukan Portugis dengan spirit “GOLD, GOSPEL, dan GLORY”, melawan pasukan Kerajaan Islam Demak dan Cirebon dengan spirit “Jihad Fi Sabilillah (berjuang di jalan Allah)” yang digelorakan Fathillah. Pertempuran dahsyat itu pun akhirnya dimenangkan oleh pasukan Fatahillah.

Hari itu, 22 Juni 1527, Fatahillah dan pasukannya mendapatkan kemanangan yang nyata. Fatahillah kemudian menamai derah Sunda Kelapa itu sebagai Fathan Mubina artinya kemenangan yang nyata. Ini terinspirasi Quran Surat Al Fath (Kemanangan) ayat 1: “INNAA FATAHNAA LAKA FATHAN MUBIINAAN: Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata”.

Fathan Mubina juga dikenal dengan Jayakarta yang artinya sama. Mengingat pasukan Fatahillah ini dari Jawa. Di mana bahasanya adalah Jawa Kuno yang ada pengaruh Bahasa Sansekerta.

Sejak saat itu Kiai Fathullah alias Fatahillah alias Faletehan dikenang sebagai pendiri Kota Jayakarta, yang kemudian lama-lama dilafalkan jadi Jakarta. Tanggal 22 Juni pun diperingati sebagai hari jadi kota ini.

Di kemudian hari nama kota ini sempat berubah jadi Batavia dan hari jadi 22 Juni tidak diperingati sebagai hari jadi. Yang diperingati sebagai hari jadi adalah hari saat Bangsa Belanda di bawah Jan Pieterszoon Coen menakhlukkan Jayakarta pada akhir bulan Mei di tahun 1619.

Sejarah mencatat, saat Jayakarta kembali dikuasai bangsa Eropa (kali ini Belanda) yang juga membawa semangat 3G. Kesultanan Islam kembali melakukan perlawanan (kali ini Sultan Agung dari Yogyakarta). Namun sayang perlawanannya kandas, setelah aliran sungai tempat pasukan Islam minum diracun Belanda dan banyak pasukan yang terkena penyakit.

Setelah Indonesia merdeka dari jajahan Belanda, hari jadi Jakarta kembali ke hari didirikannya kota Jayakarta oleh Fatahillah yaitu pada 22 Juni. Ini berkat usulan Sudiro, yang memimpin Jakarta pada periode 1953-1958.

Itulah sepenggal sejarah berdirinya Kota Jakarta. Sebuah kota yang didirikan dengan semangat perlawanan, perlawanan atas penjajahan bangsa asing.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *