Kiai Sapaat, Hadiah Sunat

Salah satu kewajiban sebagai orang tua muslim dari seorang anak laki-laki adalah mengkhitankan. Khitan atau sunat, menjadi semacam pintu gerbang seorang anak laki-laki menuju kedewasaan.

Anak yang selesai disunat seolah sudah dengan berani melangkah ke jenjang kehidupan yang lebih tinggi. Karena itu biasanya orang tua atau keluarga lainnya, akan memberikan hadiah bagi anak yang telah berani dan selesai dikhitan.

Demikian pula dengan saya yang baru saja mengkhitankan anak saya Adika. Selain hadiah mainan yang dia inginkan, saya juga memberi hadiah yang istimewa yaitu: keris.

Menghadiahkan keris kepada anak laki-laki yang baru disunat, sebenarnya adalah trandisi umum di masyarakat Jawa. Bahkan menurut Putra Sri Sultan Hamengkubuwana IX GBPH Yudhaningrat, sultan baik HB VIII maupun HB IX biasanya memberikan paling tidak empat buah keris ke putranya yang habis disunat.

Keris dihadiahkan kepada anak yang baru disunat sebagai simbol bekal menuju kedewasaan. Seperti yang telah dijelaskan sunat adalah pintu gerbang menuju kedewasaan. Anak yang beranjak dewasa ini perlu diajarkan tentang tanggungjawab, dan keris juga merupakan simbol tanggung jawab. 

Maka ada juga tradisi Jawa Kancing Gelung di mana mempelai pria mendapatkan keris dari mertuanya. Keris ini sebagai simbol penyerahan tanggung jawab dari ayah mempelai wanita ke suaminya. Ini sesuai dengan syariat Islam di mana saat seorang perempuan dinikahkan, tanggungjawabnya beralih dari ayahnya ke suaminya.

Demikian pula saat anak selesai disunat, dia mulai dikenalkan untuk mulai memegang tanggungjawab yang disimbolkan dengan mulai memegang keris. Kelak dia akan menikah dan memikul tanggungjawab yang tidak ringan yang disimbolkan dengan tradisi Kancing Gelung.

Sebagai orang Jawa yang ingin turut melestarikan budaya, saya juga melanjutkan tradisi memberi hadiah keris kepada anak saya yang baru selesai disunat. 

Keris ini pun tidak sekadar keris, tapi saya buat sebagus semampu saya, baik wilah maupun sandangan-nya.

Wilah keris yang dibabar Mas Krisna atau Empu Singomenggolo Putro ini ber-dhapur Brojol dengan Urubing Dilah di pucuknya. Brojol Urubing Dillah atau di pakem hanya disebut dhapur Urubing Dilahsaja. 

Brojol dengan gandik lugas di bawah sebagai simbol kelancaran dan kebersahaajaan. Ini unsur penting yang kerap terucap dalam doa doa yang dipanjatkan di dalam kehidupan. 

Lurus di bagian tengah merupakan simbol harapan agar senantiasa ditunjukkan jalan yang lurus. Ihdinas siratal mustaqim

Jalan yang harus ditempuh sebelum mencapai puncak yang penuh cahaya yang disimbolkan dengan Urubing Dilah di bagian  atasnya.

Urubing Dilah atau Damar Murub artinya nyalanya lentera atau nyala dian. Ini simbol semangat juga simbol pencerahan. Semoga nantinya anak saya dapat menjalani kehidupan dengan semangat yang menyala dan mencapai pencerahan serta mampu memberikan pencerahan dengan mendakwahkan kebajikan. 

Pamor keris ini adalah Pamor Wengkon dan Tambal atau Tambal WengkonWengkon ini semacam bingkai atau garis yang mengelilingi pinggir bilah yang bermakna pelindung atau penangkal dari hal-hal negatif dalam mengarungi kehidupan. 

Wengkon juga dapat bermakna iman atau akidah yang kokoh sebagai pelindung diri. Dengan bingkai iman dan takwa yang kokoh bak perisai, maka semoga akan selamat baik di dunia maupun di akhirat.

Sementara Pamor Tambal ini simbol upaya menutupi ketidak sempurnaan. Tidak ada manusia yang sempurna, tapi ada manusia terbaik yang senantiasa menutup atau menambal kekurangannya dan terus berusaha menjadi lebih baik, dan lebih baik lagi.

Pun demikian dalam beragama. Jika iman, takwa, dan amal ibarat baju, mana tak satupun baju manusia yang tidak bolong. Maka dari itu kita butuh syafaat Kajeng Nabi Muhammad SAW di hari akhir nanti. Syafaat ini ibarat tambalan yang akan menutup bolong-bolong di pakaian kita. 

Karena menyimbolkan sayafaat, maka Pamor Tambal ini pun saya beri unsur ‘langit’ dengan memberi campuran bahan meteorit Aletai. Sebuah simbol harapan agar nanti di akhirat mendapat syafaat dari Rasulullah SAW.

Ukuran wilah keris ini tanggung. Lebih besar dari Patrem tapi lebih kecil dari keris Jawa normal. Ini simbol seseorang yang masih tanggung, yang masih perlu belajar, masih belum sempurna dan masih perlu banyak mengarungi samudera kehidupan.

Sandangan atau sarung keris ini juga saya buat sebaik mungkin. Warangka-nya Gayaman Yogya dari kayu Timaha gandar iras dengan pelet Kendit yang bagus. 

Pendok blewah dari perak dengan motif ModhangMendak-nya juga dari perak, model kendit dengan mata dari intan. Sementara deder-nya dari kayu tayuman dengan ukiran Putri Kinurung

Kendit pada pelet dan mendak, serta ukiran Putri Kinurung di deder ini serasi dan memiliki irisan makna yang sama dengan Pamor Wengkon. Sementara motif Modhang di pendok, serasi dengan Urubing Dilah di wilah.

Saya menamai keris ini Kiai Sapaat. Sapaat saya ambil dari kata syafaat yang saya Jawakan.

Semoga keris ini menjadi pusaka yang mahanani bagi saya dan bagi anak saya. Serta menjadi pengingat agar senantiasa hidup dengan semangat di jalan yang lurus dengan bingkai iman dan takwa, banyak memberikan pencerahan dan manfaat, serta semoga mendapat syafaat Kanjeng Nabi di hari akhir nanti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *