Kisah Romi dan Nikmat Tuhan yang Kita Dustakan

romi menjajakan minuman

Seperti biasa, di senja itu adzan magrib berkumandang di langit Jakarta. Kumandang ajakan sholat itu juga terdengar menggema di dalam pusat perbelanjaan Blok M Square lewat pengeras suara. Para pengunjung pun bergegas menaiki eskalator menuju lantai atas.

Di lantai tujuh mal baru itu sebuah masjid disediakan untuk pengunjung. Setelah mengantri mengambil wudlu mereka pun sholat di masjid yang karpetnya baru terpasang setengah itu.

Imam sholat melantunkan ayat Al Quran dengan merdu. Fabiayyi aalaaa irobbikuma tukadzibaan. Ayat yang diulang berkali-kali dalam Al Quaran Surat Ar Rahman itu dibaca dengan merdu oleh Sang Imam.

Ayat yang artinya; nikmat Tuhanmu yang mana yang kau dustakan? Itu sepertinya sengaja di baca Imam untuk mengingatkan pengunjung mal yang sedang menikmati rejeki dari Allah. Karena tak jarang saat berakhir pekan atau jalan-jalan di mal kita lupa sholat.

Saat sholat usai, salam diucapkan, saya memilih untuk bersimpuh sejenak di karpet lembut. Para jamah mulai berdiri satu-persatu meninggalkan posisinya dan keluar masjid. Di hadapan saya berdiri seorang bapak-bapak, saat berbalik saya baru tahu tangannya hanya satu lengan kirinya sudah tidak ada.

Saat itu langsung terngiang di kepala saya kalimat; nikmat Tuhanmu yang mana yang kamu dustakan. Bapak itu walau hanya saya lihat menyadarkan bahwa saya harus bersyukur dengan dua tangan yang diberikan oleh Tuhan.Keluhan kurang ini, kurang itu, selalu iri dengan rezeki orang lain seolah sirna sudah. Malu dengan bapak yang walau hanya diberi satu tangan masih bersyukur dan bersujud khusuk pada Allah, Tuhan yang menciptakan tangan.

Tak lama setelah bapak itu beranjak, dari kerumunan jamaah yang masih duduk berzikir berjalanlah seorang anak muda. Dia berjalan dengan susah payah. Kedua tangannya terlentang, kakinya juga terbuka lebar, susah sekali dia berjalan dan menjaga keseimbangan, seolah setiap dia bergerak nyaris jatuh.

Entah penyakit atau cacat apa yang dia derita sehingga begitu keadaannya. Meski untuk berjalan perlu perjuangan ternyata anak muda itu tetap memilih sholat di deretan depan. Seusai sholat, susah payah dia berjalan ke depan masjid.

Perasaan iba dan haru bercampur jadi satu saat melihat dia. Tapi ada juga penasaran yang kemudian membawa saya mengikutinya.
Sesampainya di depan masjid, anak muda itu duduk di bangku, dengan susah payah juga. Beberapa orang menyapanya, dengan bicara yang kesulitan dia menjawab. Dari situ saya tahu namanya adalah Romi.

Sempat terlintas prasangka bahwa Romi pasti hidup dari belas kasihan orang yang memberikan derma karena iba padanya. Ternyata saya salah, sebab ternyata tak lama kemudian Romi bangkit dengan susah payah dari kursinya dan mengambil the botol dari kotak plastic tempat minuman dingin. Romi lantas memberikannya pada seorang pembeli. Ternyata Romi berjualan minuman di depan masjid.

Saya tercengang dan tak habis pikir seorang dengan keterbatasan seperti dia tetap bekerja dan tau mau menyerah dengan keadaan. Bayangkan saja bagaimana dia membawa dagangannya ke lantai tujuh, sedangkan untuk berjalan bahkan duduk saja susah bagi dia.
Saya lalu mencoba mendekat dan membeli dagangannya. “Ini berapa,” ujar saya sambil mengambil satu cup kopi yang dikemas dalam kemasan gelas. “Se..libu..lima..latus..,” ujar Romi terbata sambil menunjukkan tangannya yang mengisyaratkan angka 1,5, yang artinya seribu lima ratus rupiah.

Lalu saya bayar dan memberikan kembaliannya padanya. Romi pun dengan keramahan khasnya berterimakasih, lalu duduk kembali dengan susah payah.

Saya sengaja tidak memberikan uang kepadanya. Saya membeli dari Romi, karena Romi memang tidak mau dikasihani. Dia bersyukur kepada Tuhan dengan tetapberusaha, berjualan walau dirinya kekurangan. Fisik tak menghalanginya. Sangat kontras dengan banyaknya pengemis yang meminta-minta walau badannya terlihat sehat dan kekar.

Romi menyadarkan saya, menginspirasi saya untuk tidak mudah menyerah, untuk bersyukur. Jika dia yang punya kekuarangan motorik bisa bekerja dengan semangat kenapa saya tidak. Kanapa yang lain yang lebih sehat tidak bisa. Yang lebih sehat seringkali lebih malas, tidak bersyukur dan selalu kurang dengan rezeki yang ada.

Jika Sang Iman melantunkan dengan indah; Fabiayyi aalaaa irobbikuma tukadzibaan, nikmat Tuhanmu yang mana yang kau dustakan?, si Romi mempraktekkan ayat itu. Romi menyadarkan pada saya, pada para jamaah, pada kita semua bahwa banyak nikmat Tuhan yang kita dustakan.

One comment to “Kisah Romi dan Nikmat Tuhan yang Kita Dustakan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *