Kultwit vs Ngeblog

Di twitter pernah terjadi perdebatan mengenai menulis blog (ngeblog) vs kuliah twit (kultwit). Manakah medium berbagi ilmu atau ide yang lebih pas di antara keduanya. Tapi sebenernya polemik ini merupakan sindiran kepada mereka yang sibuk kultwit lalu jarang menulis atau ngeblog. “Ngapain gak ditulis di blog aja sih, biar jelas dan lengkap,” demikian pendapat yang beredar kala itu.

Saya sendiri termasuk salah satu pengkritik itu. Beberapa twit saya juga sering mengkritik orang yang suka kultwit tapi tidak ngeblog. Kalau pun punya blog, isinya kumpulan kultwitnya. Padahal tukang kultwit ini puya pengetahuan atau informasi yang memenuhi syarat untuk dijadikan ide blog. Kultwitnya kalau dikumpulkan juga sebanyak tulisan blog. Lalu mengapa tidak ngeblog saja?

Setelah saya pikir-pikir, saya akhirnya tahu alasan mengapa sekarang orang suka kultwit dibanding ngeblog. Jadi kultwit vs ngeblog ini terkait dengan budaya lisan vs tulisan. Lalu saya labeli saja kultwit atau twit umumnya sebagai budaya lisan, sementara ngeblog atau menulis umumnya adalah budaya tulisan.

Di masyarakat kita, budaya lisan memang lebih kuat dan mengakar di banding budaya tulisan. Berbeda dengan masyarakat Barat yang budaya tulisannya lebih kuat. Budaya lisan ini sudah kuat sejak nenek moyang kita. Tentu kita tahu istilah “tutur tinular” atau cerita yang menyebar.

Banyak cerita-cerita rakyat yang dibuat dan disebarkan dengan budaya lisan ini. Dari cerita Panji di zaman Majapahit sampai cerita Kancil mencuri timun, semuanya ditularkan secara lisan dalam budaya lisan.

Budaya lisan ini sangat disukai oleh masyarakat kita. Berbeda dengan di Barat di mana orang suka membaca dan menulis, di sini orang lebih suka berbagi cerita dengan budaya lisan. Di kampung saya bahkan ada budaya “petan”, yaitu ritual ibu-ibu kumpul-kumpul mencari kutu rambut sambil bercerita atau bergosip.

Budaya lisan ini konon yang membuat acara gosip di tivi ratingnya tinggi. Budaya lisan mungkin juga yang menyebabkan kita punya lebih banyak komentator yang jago dibandingkan pemain bola yang jago.

Budaya lisan ini juga yang menurut saya membuat media sosial mendapat sambutan luas di Indonesia. Media sosial seolah member ruang budaya lisan di dunia maya. Media sosial dari zaman Friendster, facebook, sampai twitter pun cocok dengan budaya lisan kita. Update status yang disediakan media sosial tersebut pas sebagai ajang bercerita dan berbincang-bincang.

Jadi jangan heran kalau kemudian Indonesia masuk rangking atas pemakai media sosial. Wajar saja karena orangnya memang suka bercerita. Bedanya kalau dulu bercerita dari mulut ke mulut, sekarang dari status ke status.

Karena itu saat ada Twitter yang menyediakan tempat berkicau, banyak sekali kicauan datang dari Indonesia. Bahkan sering jadi trending topic (TT). Kicauan ini pun bentuknya macam-macam, sekedar kicauan iseng, jenaka, sampai yang serius macam kultwit.

Inilah budaya lisan model baru. Saya sebut model baru karena tidak seperti budaya lisan sebelumnya, budaya lisan ini bentuknya tulisan. Meski bentuknya tulisan, tetap saya labeli budaya lisan, karena mencerminkan ciri budaya lisan.

Nah kembali ke masalah ngeblog vs kultwit, sekarang jadi jelas mengapa orang lebih suka kultwit dibanding ngeblog. Jawabannya sama dengan mengapa para pakar atau pengamat lebih suka ngomong dan ngoceh sana-sini dibanding menulis.

Ngomong itu memang lebih mudah dari menulis. Kita bebas ngomong tanpa jelas rujukannya. Kalau menulis gak jelas sumbernya bisa dicap plagiat kita. Nah tukang kultwit juga sama. Banyak tukang kultwit yang diduga bahan kultwitnya nyontek buku, google, atau Wikipedia. Banyak tukang kultwit yang ngetwit sesuatu tanpa jelas sumbernya. Ini tentu tidak bisa dilakukan kalau kita menulis blog.

Selain itu, menulis atau ngeblog yang juga butuh skil menulis. Harus pandai menyusun kalimat, diksi, dan punya referensi yang jelas. Beda dengan kultwit yang bisa acak dan kemana-mana seperti layaknya budaya lisan.  Lihat saja kumpulan kultwit yang diunggah ke blog, lalu bandingkan tulisan blog biasa, pasti beda.

Saya tidak ingin mengatakan ngeblog lebih bagus dari kultwit. Saya cuma mau berpendapat bahwa dengan menulis atau ngeblog, informasi akan lebih lengkap dan enak dibaca. Kultwit yang lengkap akan panjang sekali serinya di timeline, dan pasti tidak semua muncul di timeline. Butuh upaya agak ekstra untuk mengumpulkan dan membaca semuanya, meski sudah diberi nomor dan hastag. Bandingkan dengan jika kita tulis di blog dan mebagi linknya di timeline. Orang cukup sekali klik dan bisa membaca tulisan kita secara lengkap dan enak.

Sebagaimana cerita di budaya lisan, twit juga bersifat terserak dan tidak rapi tersusun dibanding tulisan blog. Ada juga sih yang sibuk mengumpulkan kultwit lalu menempatkannya ke blog. Mengapa tidak ngeblog saja sekalian? Hehe.

Itulah sedikit pendapat saya mengenai kultwit vs ngeblog. Anda lebih suka ngetwit atau ngeblog itu kembali lagi kepada apakah pada dasarnya anda lebih suka budaya lisan atau tulisan. Demikian pula dengan pembacanya, ada yang lebih suka membaca kultwit, namun ada pula yang suka baca blog.

Jadi anda mau ngeblog atau kultwit? Pilihan di tangan anda!

 

14 comments to “Kultwit vs Ngeblog”
  1. Saya setuju dengan pemikiran Anda. Satu hal lagi, Twitter itu mudah tenggelam, artinya jika ada hal-hal penting yang pernah di-twit-kan beberapa hari/minggu/bulan yang lalu, maka akan sulit mencarinya.
    Lain halnya dengan blog, blog menyediakan arsip yang baik, sehingga tulisan-tulisan yang pernah dipaparkan dalam blog akan sangat mudah dicari melalui fasilitas Search, pengkategorian, maupun tags.

  2. Menarik sekali. Kebetulan saya sendiri tidak pernah membedakan keduanya karena saya pikir ngetwit & ngeblog sama-sama penting & bisa bersinergi. Saya selama ini juga mengkombinasikan keduanya.
    Salam. 🙂 – @NenoNeno

  3. Pingback: Kuliah Twit vs Blogging – News Tobaonline – Berita terupdate dari sumatera utara

  4. wah, postingan bagus, memang benar masih kuat di masyarakat Indonesia bagaimana berbicara itu lebih baik dan mudah daripada menulis.

    tapi, jika masyarakat Indonesia bisa mengkolaborasikan keduanya yaitu lisan dan tulisan menjadi sebuah kebiasaan, pastinya masyarakat Indonesia banyak yg cerdas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *