Lahirnya Pahlawan Besar

4F0FBEA9-7370-44A8-AC9E-B94CA96CDB40Hari ini, 232 tahun lalu atau 11 November 1785, lahirlah seorang anak laki-laki yang dibeneri nama Mustahar. Anak yang kemudian juga dipanggil dengan nama Raden Mas Antawirya ini, merupakan putra Raja Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono III yang lahir dari garwa ampeyan (selir)nya yaitu Raden Ayu Mangkarawati.

Sebenarnya Antawirya adalah seorang putra mahkota yang akan diangkat jadi Sultan Hamengkubuwono IV. Namun dia menolak peluang itu. Bahkan memilih jalan terjal di luar benteng Keraton.

Empat puluh tahun kemudian, Antawirya dikenal dengan nama Diponegoro. Di saat itu pula dia menempuh jalan pedang yang membuat Pemerintah Kolonial Belanda tidak akan pernah lupa akan namanya.

Pangeran Diponegoro. Bangsawan yang memilih hidup dan berjuang bersama rakyat itu, telah begitu merepotkan para Kompeni.

Cengkeraman Kompeni atas Keraton Yogyakarta seolah menjadi mentah saat Diponegoro mengobarkan Perang Jawa (1825-1830). Perang lima tahun itu adalah masa di mana untuk pertama kalinya sebuah pemerintahan kolonial Eropa menghadapi pemberontakan sosial yang berkobar di sebagian besar Pulau Jawa. Hampir seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta banyak daerah lain di sepanjang pantai utaranya, terkena dampak.

Meski akhirnya Belanda menang. Namun itu adalah sebuah kemenangan yang pahit. Karena 7000 serdadu pribumi pemerintah kolonial dan 8000 tentara pemerintah kolonial tewas. Belanda juga dibuat bangkrut karena biaya perang sangat amat mahal, sekitar 25 juta gulden atau setara USD 2,2 miliar saat ini.

Ini adalah pemberontakan pertama sepanjang sejarah Jawa modern yang pecah dengan akar persolan yang terletak pada masalah penderitaan sosial dan ekonomi, bukan pada ambisi dinasti para elit istana. Tidak seperti kata aktivis kiri yang mencoba mereduksi perlawanan Diponegoro, yang dikatakan hanya karena tersinggung makam leluhurnya dilewati proyek jalan Belanda. Pandangan keliru ini diajarkan di pelatihan-pelatihan gerakan mahasiswa. Mungkin karena Diponegoro dianggap mereka sebagai representasi kaum feodal.

Tapi tidaklah demikian. Diponegoro juga melawan kaum feodal. Dia justru berhasil menyatukan banyak elemen sosial berbeda. Dia dengan cepat bisa menyatukan para bangsawan dan pejabat tinggi yang dipecat, menyatukan guru agama dan para bandit dalam barisan yang sama. Ada juga kuli angkut, buruh harian, para petani, hingga kaum tukang, dalam satu gerakan dan perjuangan.

Pemimpin kharismatik bersurban putih ini menghimpun mereka semua di bawah panji-panji Islam Jawa. Para pengikutnya meyakini bahwa dialah sosok Ratu Adil yang akan hadir membebaskan rakyat dari penindasan. Seperti Musa yang membebaskan Bani Israel dari penindasan Mesir.

Maka mereka pun berjuang total menghadapi perang yang disebut sebagai perang sabil (perang suci). Chairil Anwar menggambarkan semangat itu dalam puisi “Diponegoro”nya:

“Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU”

Sejarah juga mencatat, setelah mengalahkan Diponegoro (dengan licik), barulah Kompeni bisa meredam perlawanan di daerah lainnya. Meski sudah ditangkap dan diasingkan, spirit perjuangan dan perang gerilya Diponegoro dan pasukannya juga terus berlanjut (dengan sandi sawo kecik).

Maka tidak berlebihan jika Pangeran Diponegoro dikenang sebagai Pahlawan Besar. Hari ini adalah hari lahirnya pahlawan besar itu, yang kebetulan juga berdampingan dengan Hari Pahlawan.

Foto: sketsa Pangeran Diponegoro setelah ditangkap Belanda yang dibuat oleh A.J. Bik di Batavia tahun 1830. Sang Pangeran memakai baju ulama yang menjadi pakaiannya selama Perang Jawa. Juga sebuah keris pusaka Kanjeng Kiai Bondoyudo yang selalu disengkelitnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *