Dulu, orang baca berita dengan membuka koran pagi. Kini, orang baca berita dengan membuka timeline atau linimasa twitter atau facebook. Dulu, orang bangun tidur, beraktivitas kecil (olahraga, gosok gigi, dan lain sebagainya) sebelum baca koran sambil ngopi atau sarapan. Kini, orang baru bangun langsung menyambar smartphone atau gadget lalu membuka linimasa.
Di linimasa orang yang baru bangun ini akan langsung melihat bermacam informasi yang melimpah. Tidak seperti koran yang hanya menyediakan informasi dalam bentuk berita, di linimasa, selain berita, orang juga akan mendapatkan informasi mengenai status terbaru teman-temannya, apa yang terjadi di jalan raya, gosip apa yang sedang ramai diperbincangkan, tulisan-tulisan layak baca yang dishare orang, dan lain sebagainya.
Kalau boleh saya istilahkan, dari linimasa, orang dapat baca berita plus-plus. Karena itu ada kecenderungan orang yang melek dunia online atau dekat dengan media sosial, lebih suka baca berita dari timeline media sosial seperti twitter, dibanding membaca koran atau nonton televisi. Media sosial kemudian menciptakan sebuah cara baru dalam membaca berita.
Hal ini sangat disadari oleh media mainstream. Semua media onlie bahkan memiliki akun resmi di media sosial baik di twitter maupun di facebook. Akun-akun ini digunakan oleh media online untuk menyebar berita yang diproduksinya (berupa judul dan link yang menuju ke media bersangkutan). Belakangan, media cetak pun melakukan hal ini. Koran misalnya, juga membuat akun di media sosial untuk menyebar berita atau ajakan membaca berita yang diprodukai koran itu.
Cara ini ternyata cukup efektif. Sebab rupanya saat ini memang banyak orang yang membaca berita online bukan dengan langsung membuka situs berita tapi melalui judul dan link berita yang tersebar di media sosial. Orang akan mengklik link berita yang judulnya menarik dan tersebar di socmed.
Saking efektifnya memanfaatkan media sosial untuk mencari pembaca atau visitor, bahkan media online rela membayar mahal untuk beriklan di media sosial. Juga untuk merekrut admin yang bertugas menyebar berita produksi media bersangkutan ke media sosial.
Kebiasaan baru baca berita ini kemudian membuat media sosial tampil menjadi sebuah news agregator. Kalau dulu orang baca media online dengan langsung masuk ke dalam website bersangkutan, sekarang orang memilih cara baru dengan mengumpulkannya di linimasa mereka. Caranya, orang akan memfollow akun-akun resmi media online yang mereka sukai. Lalu akan membaca berita yang menurut merek menarik saja.
Sebenarnya sudah ada aplikasi news agregator untuk smartphone atau gadget lainnya. Namun tampaknya kurang membuat orang tertarik. Mereka lebih suka baca dari linimasa media sosial mereka sendiri. Setelah baca berita, biasanya mereka juga akan memberikan respon dengan menuliskan komentar baik di media bersangkutan maupun di linimasa. Mereka juga akan dengan sukarela share atau menyebar berita yang menurut mereka menarik.
Karena orang sekarang suka baca berita lewat linimasa, maka akun resmi media pun ramai difollow atau diikuti orang. Di twitter misalnya, akun media online difollow puluhan ribu hingga jutaan orang. Ini menguntungkan dua belah pihak. Di satu sisi orang yang butuh informasi update akan mendapatkan langsung di linimasanya, di sini lain media juga butuh kunjungan pembaca atau klik yang bersumber dari pengguna media sosial.
Banjir follower akun resmi media ini juga bisa dimanfaatkan media untuk meraih keuntungan. Karena banyak follower maka akun media sosial itu bisa demonetize atau digunakan untuk menghasilkan uang. Misalnya untuk memposting atau mentwit iklan di akun itu yang akan dibaca jutaan orang. Sebagai contoh, Founder detik.com (@detikcom) Budiono Darsono (@budionodarsono) pernah menyatakan di twitnya bahwa tarif iklan di akun twitter resmi detik sekitar 20an juta per twit. Tentu ini angka yang tidak sedikit dan bisa menjadi pemasukan media online. Banyaknya jumlah follower akun twitter resmi media juga sering dijadikan nilai jual media online saat menawarkan iklan, di samping jumlah visitor, dan lain-lain.
Namun kebiasaan membaca berita melalui linimasa media sosial ini bukan tanpa masalah. Karena seringkali pengguna media sosial seperti twitter misalnya mudah percaya dengan berita yang belum jelas asal usul dan kebenarannya. Asal ada berita dan link langsung ikut menyebar. Padahal sekarang banyak berita dari situs tidak jelas, dari blog, forum, dan lain sebagainya yang kebenarannya patut diragukan. Atau memang sengaja disebar di media sosial untuk menggelontorkan isu atau wacana tertentu, oleh pihak tertentu, untuk kepentingan tertentu.
Orang yang menyebar informasi begini, tahu betul bahwa sekarang orang baca berita melalui media sosial. Makanya menyebar sesuatu yang seolah berita di media sosial pasti akan ramai dan jadi perhatian. Apalagi media sosial cukup berpengaruh di kalangan menengah ke atas, yang di dalamnya ada kalangan pembuat opini dan pengambil kebijakan. Ada juga kecenderungan, pengguna media sosial mudah percaya informasi yang menyebar di linimasa dan malas melakukan verifikasi. Sementara informasi yang valid dan tidak datang bersamaan dengan sangat deras bak air bah.
Belum lagi soal kebiasaan buruk pengguna media sosial yang dalam membaca berita kadangkala cuma baca judulnya saja. Baca judul, langsung RT, sahare, atau ikut menyebar. Tidak membaca isi atau mengklik linknya terlebih dahulu. Padahal seringkali media online membuat judul yang bombastis dan kadang tidak ada kaitan atau tidak mencerminkan isi. Tujuannya tidak lain agar memancing klik. Ini juga seringkali membuat orang salah paham dan bisa menyesatkan.
Belum lagi soal berita palsu yang disebar oleh akun palsu yang dibuat seolah mirip dengan akun reami media online. Juga berita palsu dengan judul yang menarik tapi linknya berisi jebakan phising dan semacamnya. Hal seperti ini tentu sangat merugikan.
Karena itu, agar terhindar dari hal-hal negatif tersebut, pembaca berita melalui linimasa media sosial harus hati-hati atau waspada. Caranya misalnya dengan hanya memfollow akun-akun resmi media mainstream terpercaya. Kunjungi websitenya untuk tahu mana akun resminya.
Bedakan juga mana media mainstream yang berisi produk jurnalistik, mana produk user generated content yang berisi opini seperti yang ada di blog atau forum. Kadangkala ada blog atau forum yang mengemas informasinya seolah produk jurnaliastik. Padahal isinya nukan fakta dan susah dipertanggungjawabkan kebenaran dan akurasinya.
Jangan mudah menyebar berita tanpa membaca isinya terlebih dahulu. Jangan gatel RT hanya dari baca judul. Jika ada berita dari sumber yang agak meragukan jangan lantas percaya. Luangkan waktu untuk verifikasi atau cek dan ricek.
Verifikasi penting sebab di era sekarang, seringkali mana fakta, mana opini, mana yang benar mana yang salah, makin kabur atau dikaburkan. Seperti kata Bill Kovac dan Tom Rosenstiel di bukunya “Blur”: bahwa di era banjir informasi seperti saat ini, yang paling nyaring dan populerlah yang menang, dan kebenaran jadi korban pertamanya.
Maka kita harus pandai memilih dan memilah informasi. Sebab tidak semua informasi benar dan bermanfaat bagi kita. Akhir kata, selamat membaca berita dari linimasa dan tetaplah waspada.
Jakarta, 12 Mei 2014