Memahami Keris Mahanani

Jika ditanya keris atau pusaka terbaik itu yang bagaimana? Orang Jawa menjawab keris atau pusaka terbaik adalah yang mahanani.

Maka sering kita dengar mahanani ini disebut atau dipanjatkan dalam doa ketika seseorang mendapatkan pusaka. Misalnya; “mugi-mugi mahanani“, “semoga jadi pusaka yang mahanani“, “semoga pusaka ini jadi pusaka mahanani“, dan lain sebagainya.

Banyak yang sering mendengar soal mahanani ini, bahkan mungkin juga sering mengucapkannya, namun tak banyak yang memahami dan bisa menjelaskan apa itu  mahanani. Maka di sini akan kita coba urai untuk memahami makna mahanani.

Menurut Pakar Keris Haryono Haryoguritno, keris atau dhuwung mahanani adalah level tertinggi dari klasifikasi keris yang dilihat dari mutu fisik dan sugesti yang ditimbulkannya. Urutannya mulai dari yang terbaik hingga yang paling buruk yaitu; dhuwung mahananidhuwung prayogidhuwung sekecadhuwung saedhuwung cekapdhuwung kirangdhuwung awondhuwung cacat, dan dhuwung-dhuwungan (Lihat Jimmy S. Harianto, 2020. Duwung Mahanani)

Mahanani, berasal dari kata dalam Bahasa Jawa; kahanan yang berarti keadaan atau suasana. Maka dhuwung mahanani dimaknai sebagai keris yang mampu memberikan keadaan atau susana positif sesuai dengan harapan pemiliknya.

Selanjutnya ada prayogi yang berarti disarankan karena bagus. Maka dhuwung prayogi adalah keris yang memenuhi persyaratan baik estetis maupun simbolis bagi yang melihat maupun yang memilikinya. 

Lalu ada sekeca yang artinya enak. Maka dhuwung sekeca adalah keris yang enak, bagus, memenuhi syarat untuk nyaman disandang meski mungkin keris itu bukan keris terbaik.

Sedangkan sae, artinya baik atau bagus. Namun dalam konteks ini nilainya di bawah dhuwung prayogi. Sebab keris yang bagus belum tentu enak disandang atau enak dipandang orang ketika disandang.

Sementara cekap artinya cukup atau cukupan. Ini untuk kelompok keris yang mutunya sedang-sedang saja.

Lalu di level bawah ada kirang yang artinya kurang. Maka dhuwung kirang maksudnya adalah keris yang kurang bagus secara estetis, termis, simbolis dan spiritual. 

Di bawahnya ada awon atau jelek. Jadi dhuwung awon adalah keris yang jelak atau buruk baik secara teknis, estetis, simbolis dan spiritual.

Lalu di bawahnya lagi ada cacat. Maka dhuwung cacat adalah keris cacat yang nilainya lebih rendah dari keris jelek. Keris cacat bisa jadi dulunya adalah keris bagus yang kemudian mengalami kecacatan dalam perjalanannya.

Sementara yang paling rendah adalah dhuwung-dhuwungan atau keris-kerisan alias keris palsu. Yang masuk dalam jenis ini adalah keris mainan, keris dari plat yang dibuat sekadar jadi ornamen busana dan lain sebagainya.

Setelah tahu bahwa klasifikasi tertinggi keris adalah keris yang mahanani, lalu bagaimana keris atau pusaka yang mahanani itu?

Kalau menurut Pak Haryono sebagaimana dipaparkan di atas, keris yang mahanani adalah keris yang mampu memberikan keadaan atau susana positif sesuai dengan harapan pemiliknya. Selain juga terkait sugesti yang ditimbulkannya.

Lalu memang macam-macam tafsir orang atas mahanani ini, terutama atas keadaan atau suasana positif yang dimaksud. Maka seringkali mahanani bagi satu orang beda dengan mahanani versi orang lainnya.

Ada pendapat menarik tentang keris yang mahanani ini dari Pekeris Senior Ferry Febrianto. Saat berbincang dengan saya, Pak Ferry mengungkapkan bahwa keris atau pusaka yang terbaik atau mahanani itu jika ada emotional engagement atau keterkaitan emosional dengan pemiliknya.

Untuk memahami soal emotional engagement ini Pak Ferry mencontohkan dengan baju yang dipakai saat menikah. Seseorang yang sudah menikah 11 tahun, saat ditanya baju apa yang dipakai saat menikah, hampir semua ingat dengan detail, padahal sudah berlalu 11 tahun. Namun saat ditanya baju apa yang dipakai 11 hari lalu, kebanyakan orang lupa. 

Mengapa yang 11 tahun orang masih ingat sementara yang baru 11 hari orang lupa? Ini karena peristiwa 11 tahun itu memiliki emotional engagement. Karena itu peristiwa pernikahan, peristiwa yang sakral dan tentu saja memiliki keterkaitan emosional.

Emotional engagement ini juga bisa dicontohkan dengan sebuah foto atau video anak kita. Saat kita suntuk, lalu melihat foto atau video anak, tiba-tiba suntuk hilang, stres hilang, dan kebahagiaan datang. 

Foto atau video tersebut ternyata memiliki ‘tuah’ untuk menyembuhkan stres dan meningkatkan semangat. Foto atau video itu memberikan ‘tuah’ tersebut karena ada emotional engagement. Maka foto atau video itu bagi orang lain belum tentu memberikan efek atau ‘tuah’ yang sama. 

Demikian pula dengan keris yang memiliki ‘tuah’ tertentu sesuai harapan pemiliknya. Keris yang memiliki emotional engagement itulah yang kemudian mampu memberikan ‘tuah’ dan dianggap sebagai keris yang baik atau keris pusaka yang mahanani.

Selain emotional engagement bagi pribadi, juga bisa bagi komunitas. Misalnya sebuah keris yang memiliki jasa dan sejarah yang baik bagi komunitas atau kerajaan tertentu, juga dapat memberikan emotional engagement

Karena keris diharapkan menjadi keris pusaka yang mahanani dan memberikan dampak baik, maka wujud, proses, dan pemeliharaannya juga harus baik. Karena itu leluhur kita menamakan tosan aji.

Aji artinya baik atau berharga. Maka bahannya (tosan atau besinya) harus aji, atau dari material yang baik bahkan terbaik. Prosesnya juga aji, atau diproses dengan sebaik-baiknya. Disandangi dengan aji, atau diberi sarung dan ornamen atau aksesoris yang baik dan indah. Diberi harapan yang baik, dan setelah jadi juga harus dirawat dengan baik.

Pembuatan dengan mencari hari atau momentum yang baik juga penting. Ini yang dilakukan leluhur kita dahulu. Kalau sekarang bisa dengan mengambil momentum hari ulang tahun, pernikahan, dan lain sebagainya. Untuk apa? Agar bisa menimbulkan emotional engagement

Karena keris yang dibuat dengan bahan yang baik, proses yang baik, dirawat dengan baik, serta memiliki emotional engagement lah yang akan menjadi keris yang mahanani. Sebaliknya, sebaik apapun sebuah keris tanpa emotional engagement maka keris itu tidak mahanani. 

Maka tentu makna mahanani ini bisa beda-beda untuk tiap orang. Mahanani bagi saya belum tentu mahanani bagi anda. 

Itulah mengapa leluhur kita mengajarkan etika perkerisan yang salah satunya adalah larangan untuk tidak mencela keris orang lain. Karena keris yang bagi kita biasa saja, bisa jadi bagi yang memiliki itu adalah sebuah pusaka mahanani.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *