Metamorfosis Warangka Keris, dari Bahari ke Agraris

Pada mulanya warangka keris itu mengambil bentuk sebuah perahu atau baita. Perahu adalah perlambang kendaraan moyang dari kayangan ke dunia.

Bahkan menurut Karsten Sejr Jensen dalam bukunya ”Krisdisk: Krisses from Indonesia, Malaysia and the Philippines”, kata “Wrangka” diduga berasal dari kata kuno Proto-Austronesian “Wanka” yang berarti perahu. (Dia mengutip Jerome Feldman: Arch of Acestors (1994) halaman 24).

Sementara untuk handle keris dia melambangkan manusia alias jalma. Maka saat keris disarungkan, kita akan melihat gambaran orang yang sedang menaiki perahu (baita tinitihan jalma). Gambaran seseorang bersama bahteranya yang sedang mengarungi samudera kehidupan.

Handle yang merupakan bagian dari bilah, dan warangka atau sarungnya adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Sebab tanpa sarung atau perahu, handle atau manusia akan tenggelam. 

Tenggelam dalam hawa nafsunya, atau tenggelam dalam keburukan lainnya. Jadi warangka sebagai pelindung bilah, juga bisa diartikan sebuah perahu yang melindungi manusia. 

Awalnya bentuk manusia di handle keris ini sangat realistik, menggambarkan figur manusia atau raksasa yang sedang jongkok. Posisi jongkok menyimbolkan posisi posisi bayi di kandungan atau saat kelahiran. Handle model ini bisa dilihat di era Majapahit, Banten, bahkan masih dipakai di Bali sampai saat ini.

Masuknya Islam di tanah Jawa membuat handle ini bermetamorfosis. Dari bentuk figur manusia atau raksasa yang realistik ke bentuk manusia yang abstrak. Sebagaimana ajaran Islam yang menghindari penggambaran manusia secara realistik. 

Namun dari handle keris ini (nunggak semi, baik Yogya maupun Solo) masih menyimbolkan manusia. Seorang manusia yang sedang menunduk sembahyang atau rukuk. 

Metamorfosis warangka keris tidak hanya terjadi di handlenya saja. Warangkanya pun bermetamorfosis dari bentuk perahu ke tumbuhan.

Misalnya warangka untuk sehari-hari yang disebut Gayaman. Meski bentuk perahu masih terlihat, tapi bentuk ini disebut menyerupai buah Gayam.

Buah Gayam bisa diartikan gegayuh ayem atau mendambakan kedamaian atau ketentraman. Selain itu buah Gayam memiliki banyak manfaat untuk kehidupan. Mulai dari buahnya untuk di makan manusia, daunnya untuk ternak, sampai sebagai sarana penyuplai oksigen dan penyimpan air, serta berbagai manfaat lainnya.

Tak hanya warangka sehari-hari yang diasosiasikan dengan tanaman (Gayaman). Warangka formal (Branggah Yogya, atau Ladrang Solo), meski masih menyimpan bentuk perahu, tapi juga memakai simbol tanaman di berbagai bagiannya. Misalnya bagaian lebarnya disebut ron atau godongan (daun), ri cangkring (duri), angkup (kelopak), dan lain sebagainya.

Metamorfosis warangka keris dari bentuk perahu ke tanaman ini tak bisa lepas dari pergeseran kerajaan di Jawa dari maritim dengan budaya baharinya ke pedalaman dengan budaya agraris. Di era Majapahit dan Demak yang menguasai lautan, budaya bahari sangat kental. Karenanya warangka pun mengambil simbol dari unsur bahari seperti perahu.

Namun saat kerajaan Jawa kehilangan kekuatan maritim akibat jatuh ke tangan penjajah kolonial, dan hanya berkuasa di pedalaman. Budayanya pun bergeser ke budaya agraris. 

Maka simbol-simbol agraris seperti tanaman menjadi dominan. Termasuk soal warangka keris juga ornamen-ornamen budaya lainnya.

Meski warangka keris mengalami metamorfosis dari budaya bahari ke agraris, tetapi keindahan dan kedalaman maknanya tidak sirna. Tetap memesona dan bermakna yang membuat kita tak berhenti menganguminya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *