Nunggak Semi Kiai Gumanti

“If I have seen further, it is by standing on the shoulders of giants”

“Jika saya melihat lebih jauh, itu karena saya berdiri di atas bahu para raksasa”

Itulah kata-kata terkenal dari Ilmuwan Inggris Sir Isaac Newton. 

Siapa tak kenal Newton. Dia adalah salah satu ilmuwan terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Bahkan pemikirannya (bersama pemikiran Rene Descartes) menjadi paradigma era modern dan mempengaruhi berbagai bidang keilmuan dan kehidupan, yang dikenal sebagai Paradigma Cartesian-Newtonian.

Karenanya tak heran jika penemu hukum gravitasi dan seabrek penemuan serta pemikiran lainnya ini, kemudian disebut sebagai orang yang melihat lebih jauh dibanding orang lain atau orang di zamannya. Tetapi itu tak membuat Newton membanggakan diri.

Newton mengatakan bahwa pencapaiannya tidak lain hanyalah berkat jasa para pemikir dan peneliti sebelumnya. Mustahil dia bisa sampai di titik teratas tanpa topangan pemikir dan peneliti besar (yang diibaratkannya raksasa) yang telah membangun pijakan yang kemudian dia teruskan.

Itulah sebabnya Newton menulis kalimat terkenal itu di dalam suratnya kepada Ilmuwan dan Filsuf Robert Hooke di tahun 1679. Selain Hooke, Newton juga berterima kasih pada Filsuf Rene Descartes. Karena tanpa mereka Newton mengatakan dirinya tak akan ada di tempat yang tinggi untuk memandang lebih jauh.

Demikian pula kalau kita lihat perkembangan komputer dan teknologi digital yang sangat digdaya saat ini. Itu semua bukan buah karya satu orang atau satu generasi, melainkan hasil kolaborasi banyak orang lintas generasi. 

Satu generasi menyempurnakan temuan generasi sebelumnya. Terus berkesinambungan hingga sampai secanggih dan sedigdaya saat ini, serta akan semakin digdaya dari masa ke masa.

Kolaborasi antara generasi seperti itu di dalam budaya Jawa tertuang dalam konsep nunggak semiNunggak semi artinya adalah tunggak atau sisa pohon tua yang sudah ditebang, lalu dari sana semiatau tumbuh bersemi kembali tunas baru. 

Nunggak semi ini melambangkan siklus kehidupan. Urip iku gilir gumanti, hidup itu bergilir dan bergantian dari generasi ke generasi. 

Tetapi regenerasi ala nunggak semi ini tak hanya sekadar pergantian saja, ada kesinambungan di sana. Gilir gumanti harus nunggak semi.

Semi tunas baru melambangkan generasi baru, pemikiran baru, budaya baru, dan lain sebagainya. Tetapi berasal dari tunggak dari pohon lama, yang melambangkan generasi lama, pendahulu, pemikiran sebelumnya, budaya lama, dan lain sebagainya.

Inovasi yang tidak meninggalkan tradisi. Untuk menyadari bahwa diri kita saat ini, budaya dan peradaban kita saat ini, tidak bisa dilepaskan dari buah pikir dan upaya leluhur kita.

Itulah nunggak semi yang merupakan filosofi orang Jawa yang dalam mengembangkan budayanya tidak meninggalkan akar kebudayaan itu sendiri. Apa yang dihasilkan pendahulu diteruskan yang berikutnya dengan gaya yang berbeda tanpa keluar dari akar yang sama. Akar pendahulu yang kuat jadi pijakan yang berkesinambungan.

Begitu adiluhungnya filosofi nunggak semi ini, oleh orang Jawa dituangkan dalam simbol yang menghiasi produk budayanya. Di keris misalnya ada pamor nunggak semi, yang dipercaya memiliki tuah atau dibuat untuk simbol keturunan, keberlanjutan, dan kemakmuran.

Hulu atau deder keris Jawa juga disebut nunggak semi. Di pendok dan batik juga ada motif semen. Bahkan ada motif batik nunggak semi yang diciptakan Panembahan Hardjonagoro.

Jika direnengkan, dahsyat juga pemikiran leluhur kita. Kata yang trend saat ini seperti inovasi, kolaborasi, keberlanjutan atau sustainability, ternyata sudah dikenal dan dirangkum dalam filosofi nunggak semi.

Itu semua kemudian menginspirasi saya untuk membuat keris dengan konsep nunggak semi. Pamornya pasti jelas akan pakai pamor nunggak semi

Sementara untuk yang lainnya saya jadi teringat dengan warangka gayaman gaya Pakualaman era PA X yang disebut juga Gayaman Bharatan. Ini menurut saya sebuah nunggak semi, karena membuat inovasi warangka baru tapi masih berdasarkan yang lama. Ada warangka lama Yogya yang bentuknya hampir sama. Ini yang kemudian diteruskan dengan inovasi di sana sini.

Karena sandangannya ala PA, maka kerisnya saya pilih dhapur keris seperti keris pusaka PA yaitu KK Bontit yang berdhapur sabuk inten. Kebetulan sabuk inten luk 11, angka favorit saya. 

Bikin kerisnya ke Mpu Puryadi, yang sering mengerjakan pesanan keris dari Pakualaman juga. Untuk pamor nunggak seminya saya pakai potongan meteor Campo del Cielo. 

Bahan warangkanya pakai kayu cendana Jawa ngenam kepang yang dikerjakan Mas Sutopo, dan deder PAnya dikerjakan Mas Heru. Sementara pendok dan mendak perak sepuh emasnya saya minta Mas John Teguh Panji memesankan.

Untuk namanya, saya menamainya Kiai Gumanti. Diambil dari kata gumanti di frasa gilir gumanti yang merupakan bagian dari nunggak semi.

Hasilnya adalah keris yang ada saksikan di foto terlampir. 

Meski hanya sebuah karya sederhana, tapi teriring harapan dan doa semoga upaya seperti ini terus bersemi agar keris semakin digemari dan lestari.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *