Keris itu maskulin banget. Kira-kira begitulah persepsi umum tentang keris dan dunia keris.
Mungkin persepsi ini terbentuk dari keris itu sendiri yang salah satu fungsinya sebagai senjata, sebagai lambang kedewasaan pria, sebagai kelengkapan busana pria, penghobinya yang hampir semua laki-laki, dan lain sebagainya. Disadari atau tidak, keris memang kemudian tampil sangat maskulin banget.
Padahal kalau kita belajar keris dan sejarahnya, keris tidak selalu menjadi domain laki-laki. Selain keris yang disandang kaum adam, ada juga keris untuk kaum hawa yaitu keris patrem. Dahulu profesi dukun bayi atau yang membantu wanita melahirkan, yang mana profesi ini semuanya perempuan, juga biasanya memiliki keris dengan Dapur Brojol. Dapur Brojol menggambarkan harapan agar si jabang bayi bisa mBrojol atau kelur dengan mudah, atau proses persalinan dilancarkan.
Sejarah juga menunjukkan, dari banyak empu pembuat keris di masa lalu yang terkenal, ada juga yang perempuan yaitu Ni Mbok Sombro. Seorang empu perempuan dari Pajajaran yang hijrah ke Tuban atau Majapahit.
Ni Mbok Sombro bahkan memiliki karya legendaris yaitu Betok Sombro yang sangat khas. Dia juga melahirkan para empu yang kemudian menjadi empu terkenal dan legendaris.
Itu semua kemudian membuat saya terfikir untuk memunculkan sisi feminim dari keris. Yaitu dengan membuat keris yang feminim dan empu pembuatnya juga harus empu perempuan.
Soal empu perempuan ini, kebetulan saat ini Alhamdulillah ada perempuan yang tertarik menjadi penerus Ni Mbok Sombro. ISI Surakarta misalnya melahirkan beberapa perempuan pembuat keris. Lalu ada juga perempuan muda dari Madura yang membuat keris secara otodidak yaitu Ika Arista.
Saya kemudian memilih Ika. Saya penasaran dengan empu perempuan ini setelah melihat dari media sosial dan dari banyaknya berita soal dia. Terutama setelah dia mendampingi Menparekraf Sandi Uno yang berkunjung ke Aeng Tong Tong karena keris dari sana dipilih menjadi souvenir B20 Indonesia.
Setelah saya kontak dan wawancarai, Ika memang menarik. Bukan hanya karena dia perempuan pembuat keris, yang mana itu langka, tapi juga wawasan dan pendapatnya soal keris dan dunia perkerisan juga menarik.
Soal Ika dan wawancaranya dengan saya bisa disimak di youtube saya di link berikut ini:
Bagian 1: https://youtu.be/zDFjiy3ENR8
Bagian 2: https://youtu.be/7GKReShe6fc
Saya kemudian berkolaborasi dengan Ika untuk membuat keris feminim. Soal dapur, yang terpikir adalah keris Ni Mbok Sombro. Maka saya kemudian meminta dia membuat keris dengan mengacu pada Betok Sombro tapi dibuat sesuai gaya Ika.
Untuk pamor, agar menambah unsur feminim maka saya pilih pamor bunga atau sekar. Inspirasinya adalah Pamor Melati. Tapi saya ubah dengan menghilangkan bagian bawahnya, dan jumlah bunganya dibuat menjadi 11 buah.
Lalu pamor ini saya namakan Sekar Suwelas. Artinya bunga yang jumlahnya ada sebelas buah.
Mengapa 11? Ini juga sempat ditanyakan Ika. Jawabannya karena 11 merupakan angka favorit saya. Karena saya lahir di tanggal 11, istri saya lahir di bulan 11, anak pertama saya lahir di tahun (dua ribu) 11, rumah saya di RW 11, jumlah salat malam Nabi 11 rakaat, pemain bola ada 11, idola saya Ryan Giggs juga nomor 11, dan banyak lagi alasan saya suka angka 11.
Lebih dari itu 11 atau sebelas yang dalam Bahasa Jawa disebut suwelas adalah simbol belas kasih. Suwelas = welas = welas asih. Welas asih ini khas perempuan, meski kita harapkan dimiliki siapa saja. Bagaimana seorang ibu yang mencurahkan dan mengajarkan welas asih pada anak yang dilahirkannya, keluarganya, bahkan masyarakat sekitarnya.
Lebih dari itu juga harapan agar saya kita senantiasa mendapatkan welas asih atau belas kasih dari Allah SWT dan selalu menerapkan welas asih pada keluarga dan sesama.
Selain itu, bunga di pamor ini juga kita buat berbeda di dua sisinya (side A dan side B). Ini melambangkan di dalam kehidupan kita sering memiliki dua sisi yang terlihat berbeda, namun sebenarnya satu kesatuan. Seperti Yin Yang di Cina.
Juga bisa dimaknai seorang perempuan yang dalam kehidupan memiliki dua sisi yang berbeda. Misalnya seorang wanita karir di satu sisi, dan seorang ibu di sisi lainnya. Seorang dengan profesi yang keras di luar, tapi di rumah dia seorang ibu yang lembut dan penuh kasih sayang. Serta banyak pemaknaan lainnya yang bisa diberikan.
Alhamdulillah keris tersebut akhirnya selesai di Malam Nifsyu Sya’ban. Kerisnya jadi agak besar untuk mengakomodasi 11 pamor bunga, namun masih terpancar karakter feminimnya. Untuk menegaskan bahwa ini keris feminim saya memberi nama Nyai. Jadi keris ini saya namanya Nyai Sekar Suwelas.
Sekarang keris ini sedang proses disandangi. Sandangannya nanti juga akan tampil feminim sebagaimana kerisnya.
Demikian cerita soal Nyai Sekar Suwelas. Semoga bisa memancing munculnya keris-keris feminim di dunia keris yang konon terlalu maskulin ini.
Semoga bermanfaat.