Orang Jakarta Cuma Punya Dua

Saya ingat sekali saat itu. Di ruangan kelas III SMP guru BP saya bercerita tentang keluarga. Saat itu dia mengatakan bahwa sangat kasihan sebuah keluarga yang anggota keluarganya jarang berkumpul dan berinteraksi.

Dia mencontohkan seorang pekerja kantoran di kota yang jarang punya waktu bersama anak-anaknya. “Walau banyak duit, tapi kalau kerja sampai malam dan gak punya waktu untuk keluarga apa enaknya,” kata guru saya. Kami sekelas pun setuju karena membayangkan betapa sepinya rumah jika orang tua sibuk bekerja di luar. Apa jadinya jika belajar tanpa ditemani ayah dan ibu.

Bagi kami anak-anak desa kala itu, suasana keluarga kota yang sibuk seperti itu hanya dapat kami bayangkan. Atau juga kami lihat di cerita sinetron. Karena pada dasarnya kita selalu berkumpul bersama keluarga. Orang tua kita yang bekerja pulang siang atau sore hari, tidak ada yang sampai larut malam.

Jika orang tua pulang, biasanya kita diajak makan dan tidur siang. Sore sampai malam harinya adalah waktu keluarga. Beragam aktivitas yang dikerjakan bersama anggota keluarga, bisa bercocok tanam, bercengkerama, atau didampingi belajar dan nonton tv.

Waktu berlalu, dan saya tumbuh dewasa. Untuk mengejar ilmu dan bekerja saya harus hijrah ke kota. Pelan-pelan saya mulai beradaptasi dengan lingkungan kota. Mulai dari kota Yogya sampai Jakarta. Siapa sangka, saya menemukan dan melihat sendiri apa yang dulu diceritakan guru saya. Kalau dulu hanya cerita, sekarang saya mengalaminya.

Tinggal di kota membuat saya akrab dengan perilaku warganya. Tiap hari saya melihat orang bergegas pergi di pagi hari dan baru pulang setelah malam hari. Rutinitas ini adalah salah satu ciri kehidupan di kota, apalagi kota besar seperti Jakarta.

Lalu  saya mulai teringat dengan apa yang dikatakan guru saya. Soal keluarga orang-orang kota itu, para pekerja itu. Mereka tentu akan jarang bersama-sama dengan keluarganya. Kesibukan kerja tentu akan merampas waktu mereka bersama keluarganya.

Kebetulan teman saya ada yang cerita. Dia bercerita, atau lebih tepatnya mengeluh, mengenai pekerjaan dan keluarganya. Dia mengaku tak punya banyak waktu bagi keluarganya. Karena dia harus berangkat kerja pagi sekali.

Sebagai pekerja kecil dia hanya mampu tinggal di pinggiran kota Jakarta. Dengan jarak yang jauh dan dihadang kemacetan, dia harus berangkat lebih awal. Maklum butuh waktu lama untuk tiba di kantornya tepat pukul delapan pagi. Dia harus datang tepat waktu, sebab jika telat 15 menit saja gajinya dipotong.

Karena harus berangkat pagi, dia kehilangan waktu sarapan bersama anak-anaknya di pagi hari. Mengantar anaknya ke sekolah juga mustahil dilakukan karena dia menempuh jalur berbeda dengan sekolah anaknya, jika dipaksakan dia akan telat ngantor.

Selepas magrib waktunya pekerja pulang, demikian juga teman saya. Dalam hatinya selalu terbersit keinginan untuk sesegera mungkin sampai di rumah. Namun apa daya, kemacetan Jakarta yang makin lama makin parah, menghadangnya. Kemacetan yang kadang nyaris tak bergerak ini adalah santapan rutin warga ibu kota di jam berangkat dan pulang kerja.

Saat macet ini biasanya mereka berebut jalan. Tak ada yang mau mengalah. Sedikit saja lajur tersisa akan jadi rebutan. Kalau perlu sikut-sikutan, srempet-srempetan. Semua ingin cepat pulang, cepat berkumpul dengan keluarga.

Tapi apa daya, teman saya baru sampai di rumahnya ketika malam mulai larut. Anaknya yang masih kecil biasanya sudah mengantuk dan tertidur. Kadang tertidur saat menunggunya pulang. Namun teman saya masih bersyukur bisa melihat senyum anaknya yang sedang tertidur pulas. Dengan melihat dan menciumnya rasa penat bekerja dan lelah dipekerjaan langsung sirna. Apalagi kalau saat tiba di rumah anaknya masih bangun dan menyambutnya.

Sedih sekali memang mendengar cerita teman saya. Cerita keluarga pekerja di kota. Namun, kata teman saya itu belum seberapa. Bosnya bahkan lebih parah lagi. Harus lebih pagi berangkat ke kantor, dan pulangnya juga lebih larut. Para bos ini berangkat lebih pagi karena rumahnya jauh dari Jakarta. Jauh bukan karena tak mampu beli rumah yang lebih dekat, tapi karena membangun rumah yang lebih besar di luar Jakarta yang memang masih banyak menyisakan tanah luas.

Mereka harus berangkat lebih pagi karena pergi dengan mobil. Jarak tempuh mobil ini akan jauh lebih lambat di kemacetan dibandingkan dengan motor. Para bos ini juga tak akan sempat mengantar anak bersekolah, bahkan mereka harus berangkat saat anak-anaknya masih tertidur lelap.

Saat pulang kerja, biasanya mereka juga akan pulang lebih larut. Banyak pekerjaan yang harus dituntaskan. Mungkin juga banyak janjian dengan klien, meeting sampai malam dan sebagainya. Biasanya menjelang jam sembilan malam mereka baru pulang.

Sampai rumah tentu akan lebih malam lagi. Karena di jalan kemacetan parah akan menanti. Tak seperti pengendara motor yang bisa selap-selip, lewat gang atau jalan tikus, mobil hanya bisa pasrah jika sudah macet. Macet ini semakin parah di jalur menuju daerah di mana orang-orangnya menggunakan mobil. Biasanya di kawasan elit tempat para bos ini bermukim.

Walhasil sampai di rumah sudah sangat larut. Anak-anaknya sudah tertidur pulas. Jangankan anak-anak mereka, istri dan pembantunya juga seringkali sudah tertidur lebih dulu saking larutnya. Banyak juga di antara mereka yang mengeluhkan hal itu. Mengeluh karena meski gaji besar, harta melimpah tapi waktu bersama keluarga terampas.

Tak ada waktu bersama-sama anak mereka. Tak ada waktu mendidik anak-anak mereka. Menemani belajar, membantu mengerjakan PR, nonton tv bareng dan sebagainya. Ada yang memakai istilah anak jadi anak didikan pembantu.

Untungnya tidak di semua hari para pekerja di kota Jakarta itu bekerja. Dua hari dalam seminggu adalah hari libur mereka. Sabtu dan Minggu. Di dua hari akhir pekan itu biasanya mereka memanfaatkan waktunya dengan keluarga sebaik mungkin. Ada yang menghabiskannya di rumah, ada pula yang pergi ke Mal atau tempat rekreasi.

Di dua hari itu anak dan orang tua punya waktu bersama. Waktu berharga yang tak terganggu aktivitas kerja. Sayangnya orang Jakarta ini hanya punya waktu dua hari saja. Padahal dulu saya dan orang tua saya hampir tiap hari punya waktu. Kalau orang Jakarta cuma punya dua, kami punya tujuh.

Tapi itu dulu. Sekarang saya telah menjadi orang Jakarta. Saya salah satu dari para pekerja yang berangkat pagi dan pulang malam mengarungi kemacetan. Mungkin saat anak saya lahir nanti mereka juga akan mengeluh pada saya: mengapa untuk mereka saya cuma punya dua.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *