Saat ngabuburit sambil nyetel deder keris yang baru saya mahari, saya jadi ingat bahwa puasa dan keris atau pusaka itu erat hubungannya. Dahulu kala saat membuat pusaka sang empu akan berpuasa.
Saya masih ingat saat saya tanya ke ibu saya soal apakah di besalen keluarga yang dikelola paman-paman saya pernah membuat keris. Ibu saya bilang di era ayahnya atau kakek saya, besalen di Sendangharjo, Tuban, itu sudah tidak membuat keris hanya membuat pedang, arit, pisau, dan sejata tajam lainnya.
Namun saat ada yang memesan, biasanya kakek saya akan tanya; apakah senjata itu akan digunakan sebagai cekelan (pusaka) atau hanya sebatas alat kerja. Jika untuk cekelan maka akan diposoni atau kakek saya akan puasa beberapa hari saat pembuatannya.
Tradisi itu tampaknya sudah tidak dilanjutkan saat besalen dipegang paman-paman saya, sampai tutup belasan tahun lalu setelah paman saya meninggal dunia. Kebanyakan yang datang dan pesan hanya butuh senjata tajam untuk alat pertanian yang kuat dan awet karena dibuat secara tempa lipat dengan besi yang bagus.
Bahkan sekarang kebanyakan besalen yang membuat keris pun meninggalkan ritual puasa ini. Puasa sebelum atau sambil menempa memang agak berat apalagi kalau pesannannya membludak.
Lalu mengapa empu dahulu sebelum membabar pusaka puasa dulu? Karena puasa itu mampu membantu memancarkan energi postif manusia. Puasa di sini tidak sekadar menahan nafsu makan dan minum saja, tetapi juga nafsu lainnya sperti nafsu birahi, amarah, dan lain-lain.
Nafsu yang dikendalikan saat puasa itu adalah unsur hewani yang ada dalam diri manusia. Dengan ditekannya unsur ini maka diharapkan diri menjadi bersih dan sisi spiritualitas manusia akan lebih dominan dan bisa lebih dekat dengan Tuhan yang Maha Esa.
Agar besi yang ditempa memberikan kekuatan hebat yang memiliki berbagai manfaat. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al Hadid ayat 25.
Menurut guru saya Almarhum Profesor Damardjati Supadjar, pakar filsafat dan Budaya Jawa, puasa dan kekuatan memang berkaitan. Beliau yang pernah menjadi penasihat Sultan Hamengkubuwono X ini, mengatakan bahwa puasa adalah bukti bahwa kita kuat bukan karena makan. Buktinya tidak makan tetap kuat, dan banyak orang menjadi lebih kuat, sehat, atau sakti karena puasa.
Puasa, kata beliau, adalah menegaskan bahwa kita kuat bukan karena makan tapi kita kuat karena Allah. Itulah makna laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil adhiimi, tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.
Maka untuk memperoleh kekuatan dari Allah diperlukan nyawiji atau manunggaling kawulo lan gusti, yang di keris digambarkan dengan bersatunya gonjo dan pesi, wilah dan warangka, dan lain sebagainya.
Untuk ke sana orang harus bertaqwa, yaitu menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-larangannya.
“Wahai orang-orang yang beriman. Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 183)
Maka seyogyanya seorang empu yang membuat pusaka harus seorang yang menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-larangannya. Tak hanya dalam agama Islam, di kepercayaan lain saya kira juga sama.
Saya jadi ingat seorang teman yang tidak mau pesan keris kepada seorang yang dikenal sebagai empu. Teman ini tidak sepakat orang tersebut dianggap empu.
“Bagi saya empu harus orang yang bersih mas. Lha gimana masak empu kok masih suka minum dan mangku LC,” katanya.
Tentu soal ini orang boleh sepakat dan tidak. Tapi kalau saya sendiri sih sepakat dengan pandangan teman saya tersebut.
Demikian sedikit renungan saya soal puasa dan pusaka. Silahkan dituliskan di kolom komentar jika punya pandangan lain.
Selamat menjalankan ibadah puasa, semoga puasa kita bisa membawa kita ke dalam golongan insan yang bertaqwa dan semakin banyak memberikan manfaat pada sesama. Amin 🤲🏼