Hari-hari terakhir ini udara Jakarta begitu panas. Kipas angin yang kunyalakan semalaman tak banyak membantu, malah membuat perut terasa kembung. Seperti biasa kuawali ritual bangun pagi dengan membuka pintu kamar kos yang semakin tampak reot.
Sinar mentari menyergap masuk. Cahayanya menyilaukan, bukan saja karena mataku yang baru melek, tapi juga karena matahari memang sudah meninggi. Tadi malam aku tidur larut malam, seperti itu setiap hari. Bangun siang, sholat subuh juga jadi siang.
Hari ini hari minggu. Hari di mana kesibukan kerja tidak berlaku, hari libur yang begitu indah yang datang seminggu sekali. Kerja keras seminggu membuat hari ini begitu berarti dan dinanti.
Di hari libur seperti ini aku biasanya malas-malasan. Tidur-tiduran di kos sambil baca koran. Koranku sendiri yang kubaca, membaca berita karya tulisku. Siapa tahu redaktur salah edit. Beritanya tentang Polycarpus yang dihukum 20 tahun penjara karena didakwa membunuh Munir, dan LSM pembelanya meminta polisi mengusut dalangnya.
Sesaat kemudian, dari layar TV yang semakin mempersempit kamar kosku, tersiar kabar dari rumah sakit pusat pertamina (RSPP) tentang kondisi terkini mantan presiden Soeharto. Diberitakan penguasa Orde Baru itu dalam keadaan sangat kritis. Kegagalan multi organ kembali terjadi. Bahkan kondisinya lebih parah dari sebelumnya.
Terpikir sekilas di kepalaku, hari libur ini akan berakhir. Aku akan masuk kerja jika orang tua itu meninggal. Ternyata tebakanku tak meleset. Sesaat kemudian, sekitar pukul 13.00 siang, Pak Harto meninggal.
Aku tahu pertama kali dari TV, lalu temanku pada menelfon. “Ian, Pak Harto meninggal,” kata mereka. “Dah Tau,” kataku ketus.
Tak berapa lama Korlipku Pak Hojin menelpon. Aku harus liputan ke Cendana. Memang tempat kosku di Jalan Menteng Kecil tak jauh dari Jalan Cendena yang legendaris itu.
Maka aku yang selalu jadi spesialis liputan ke sana. Misalnya saat Pak Harto ulang tahun. Juga saat dia masih dirawat di RSPP. Beberapa kali dia dikabarkan kritis sehingga rumahnya di jalan itu harus ditongkrongi.
Singkat cerita, aku berbegas mandi, menyambar pakaian dan perlengkapan liputan, dan segera memacu motor bututku ke jalan itu. Apalagi TV dikabarkan jenazah akan segera dikirim ke Cendana.
Sampai di Cendana suasana sudah sangat ramai. Polisi sudah menutup tiap ujung jalan itu. Tak satupun kendaraan boleh masuk. Aku sendiri terpaksa memarkir kendaraan di jalan lain sekitar cendana.
Sementara di depan rumah Soeharto para wartawan sudah berjejal. Tidak hanya wartawan TV saja yang ramai menyetel tripod dan kamera. Tampak pula wartawan media lainnya tak kalah sibuk menyiapkan berita. Masyarakat yang tahu kabar dari TV pun tak sedikit yang mendatangi jalan itu untuk melihat langsung.
Dalam hiruk pikuk suasana cendana menyambut pulangnya sang penguasa, ternyata ada sesuatu yang membuat para wartawan sedikit tersenyum simpul. Ternyata mereka mengalami nasib yang nyaris sama. Sama-sama sedang libur, tapi dibatalkan karena harus meliput kejadian “penting” yang tak saban hari terjadi itu..
“Iya ni sama, gue juga lagi libur sebenernya,” kata seorang wartawati ketus.
Bahkan ada pula yang habis ke acara kondangan langsung ditugaskan meliput ke sana. Walhasil, dia harus ke cendana dengan kebaya hijau masih melekat di badan.
Dia sempat jadi bahan ejekan para pemburu berita. “Sialan lo ian,” katanya, waktu kuejek.
Tingkah polah wartawan untuk mendapatkan berita juga makin nekad. Misalnya saja dengan menaiki pagar rumah-rumah sekitar cendana, atau dengan memanjat pohon.
Untuk cara yang terakhir itu, jadi pilihan seorang kameramen. Mungkin berniat menyuguhkan tontonan bagus, dia susah payah memanjat pohon. Tapi sialnya, dia justru malah jadi tontonan.
Karena dia sempat kesulitan naik dan terporosot beberapa kali. Usaha itu tentu saja tidak hanya mendapat pujian tapi juga cemoohan rekan-rekannya.
“Ini nanti dibilangin ke HRD saja biar naik gaji,” ledek seorang wartawan sambil menahan tawa.
Di tengah suasana hiruk pikuk itu tiba-tiba ada ibu-ibu yang berteriak histeris. Ibu yang diduga stres dan mengaku istri Tomy Soeharto itu menambah riuh suasana bersama banyaknya polisi, milisi ormas pro Orde Baru, pasukan Kostrad dan Kopasus yang juga tutur datang bersenjata lengkap, kesibukan menyiapkan kursi, para pengantar bunga, dan sebagainya.
Banyaknya masyarakat yang datang lama-kelamaan membuat wartawan yang meliput menjadi terganggu. Apalagi saat seorang ibu membentangkan payung sehingga menutupi kamera wartawan.
“Bu payungnya,” bentak wartawan RCTI.
“Panas tau,” ujar ibu itu membela diri.
“Kalau mau adem di rumah bu. Jangan di sini, ganggu orang kerja aja,” balas wartawa sengit.
Kesibukan demi kesibukan memang mendera sepanjang hari meliput di depan rumah bercat hijau muda itu. Kaki penat mengiringi liputanku dari datangnya jenazah dengan pengawalan khusus, kedatangan Presiden SBY bersama rombongan, dan tamu penting lainnya.
Lelah makin parah, apalagi di tambah bonus hujan “yang ikut melayat” di malam itu. Tapi semua itu sedikit terusir saat aku menyadari aku sedang mengalami pengalaman yang tak biasa. Aku menyaksikan orang yang ditumbangkan para mahasiswa itu, orang yang paling lama berkuasa itu, akhirnya manutup perjalanan sejarah hidupnya.
“Kita jadi saksi sejarah,” kata seorang teman wartawan.
Malam semakin larut. Aku sudah seharian di sana, sampai tengah malam. Aku masih ingat liputan terakhir adalah wawancara terakhir dengan Amien Rais. Tokoh Reformasi yang jadi seteru berat Soeharto. Dia datang sekitar pukul 23.00 WIB.
Aku pulang malam itu sekitar jam 24.00. Saat mobil polisi memberitahukan bahwa cendana harus disterilkan untuk persiapan upacara melepaskan jenasah Bapak Pembangunan itu untuk di bawa ke Astana Giri Bagun.
Aku bergegas meninggalkan cendana menghampiri motorku. Bersama desiran dinginnya angin malam terlintas di benakku. Tak seorang pun bisa mengelak dari panggilanNya, semua orang pasti akan pulang kepadaNya. Sekuat apapun dia, seberkuasa apapun dia, Pasti akan kembali menghadap raja dari para raja, Allah SWT yang medegubkan setiap jantung, dan meniupkan setiap nafas. Yang beda hanya beda waktunya.