Wajah raksasa yang seram dengan mata melotot lebar dan taring besar menjadi ciri khas sosok ini. Kadang juga digambarkan dengan lidah besar yang menjulur keluar.
Di dunia keris, sosok ini disebut Makara. Maka jika ada ornamen ukiran sosok ini di hulu, warangka, atau pendok, selalu disebut ukiran atau ornamen Makara.
Sebenarnya itu adalah salah kaprah. Entah sejak kapan kesalahan ini terjadi, tapi hingga hari ini masih saja lestari.
Penyebutan Makara salah, karena yang disebut Makara itu adalah wajah Kala, Batara Kala, atau Kala Kirtimukha. Banyak cerita atau mitologi terkait dengan sosok Kala ini.
Misalnya di Jawa ada cerita tentang Batara Kala yang lahir saat Batara Guru gagal bersetubuh dengan Batari Uma saat bertamasya menaiki lembu Andini. Batari Uma yang menolak karena malu dengan lembu Andini ini membuat sperma Batara Guru jatuh ke laut dan menjadi Batara Kala. Kelak Batari Uma dikutuk jadi Dewi Durga.
Kala ini kemudian menjadi mahluk yang bernafsu makan besar dan menjadi pemangsa anak-anak sukerta. Karenanya muncul ritual ruwatan untuk anak sukerta agar terhindar dari Kala. Maka Kala yang dalam Bahasa Sansekerta artinya Waktu, kemudian juga memiliki arti musibah atau bencana.
Kala juga muncul dalam mitologi gerhana. Di mana gerhana dipercaya terjadi karena matahari atau bulan dimakan Kala. Karenanya untuk menakut-nakuti Kala agar memuntahkan kembali matahari dan bulan, orang ramai-ramai memukul lesung atau kentongan saat gerhana terjadi.
Selain itu dalam mitologi Hindu juga ada Kala Kirtimukha yang diciptakan Dewa Siwa untuk mengalahkan Rahu, raksasa tanpa badan yang berhasil mencuri air keabadian. Kirtimukha ini adalah mahluk yang selalu lapar dan bisa memangsa apa saja termasuk matahari dan bulan. Jadi mitologi gerhana juga.
Pada akhirnya karena nafsu makannya tak terbendung dia diminta mamakan tubuhnya sendiri, sampai akhirnya habis dan tinggal kepalanya saja. Maka Kirtimukha jadi mahluk hanya kepala seperti yang dikenal saat ini dan selalu ada di Candi-candi Siwa.
Sementara Makara sendiri adalah mahluk yang berbeda. Makara di dalam Bahasa Sansekertta artinya adalah mahluk air. Dia adalah wahana atau kendaraan Dewa Baruna atau Dewa Laut, juga Dewi Gangga.
Makara merupakan hewan mitologi gabungan antara gajah dan ikan. Terkadang mulutnya juga menyerupai buaya. Makara merupakan penguasa dunia bawah.
Maka dia biasa muncul di bagian bawah candi seperti di ujung bawah tangga, di pintu bagian bawah, atau talang air. Sementara di atasnya ada Kala atau Kirtimukha.
Dari sanalah konsep ornamen Kalamakara lahir dan banyak jadi penghias pintu di candi-candi. Kalamakara ini berfungsi sebagai pengusir roh jahat.
Dari Kalamakara inilah saya duga salah kaparah menyebut ornamen Kala sebagai Makara berasal. Awalnya disebut Kalamakara lalu lama-lama jadi Makara saja. Tapi disebut Kalamakara pun masih salah, sebab di ornamen keris baik di hulu, warangka, dan pendok, hanya ada wajah Kala.
Sementara Kalamakara itu harus ada Kala atau Kirtimukha di atas dan Makara di bawah. Jika di candi hanya ada wajah Kala disebut Kirtimuhka saja. Jika ada keduanya baru disebut Kalamakara.
Ornamen Kala di keris ini biasanya kalau yang di Jawa Tengah atau Solo dan Yogya, Kalanya melet atau dengan lidah menjulur. Ini sama dengan candi di Jawa Tengah yang Kalanya melet tanpa dagu, sementara di Candi Jawa Timur Kalanya pakai dagu dan tidak melet.
Kala melet ini diambil dari cerita saat Batara Guru menarik lidah Kala dan memotongnya. Kemudian potongan lidah ini jadi senjata panah Pasopati. Pasopati ini di dunia keris juga jadi dapur keris yang sangat populer.
Tak hanya lidah, taring Kala juga dipotong. Taring ini kemudian dijadikan dua buah keris yaitu Kalanadah dan Kaladate. Ada juga yang menyebut Kalanadah dan Kalamisani. Maka dari sinilah istilah “ngadu siung Batara Kala” untuk petempuran dengan menggunakan keris muncul.
Demikian sekilas penjelasan soal Kala atau Kirtimukha dan Makara. Semoga bisa memberikan pemahaman perbedaan keduanya, dan semoga setelah ini tidak ada lagi yang salah kaprah menyebut ornamen Kala sebagai Makara.