Juga sempat masuk ke dalam Puro Pakualaman dan tour melihat-lihat ke dalam termasuk ke museum pusakanya. Malah selama tinggal di Yogya belum pernah masuk Keraton Kasultanan. Baru sempat masuk Keraton malah setelah tinggal di Jakarta, waktu rekreasi ke Yogya.
Kadipaten Pakualaman lahir pasca serangan Inggris ke Yogyakarta yang berlangsung pada 19 sampai 20 Juni 1812. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Geger Sepoy atau Geger Sepehi ini Keraton Yogya diserang oleh koalisi tiga kekuatan yaitu Inggris, pasukan Pangeran Notokusumo (adik tiri sultan), dan Pasukan Kapiten Cina Tan Jing Sing.
Akhirnya Yogya yang dipimpin Sultan Hamengkubuwono II alias Sultan Sepuh berhasil ditakhlukkan pada 20 Juni 1812. Gubernur Jendral Inggris Thomas Stamford Raffles kemudian membagi Kasultanan Yogyakarta dan menyerahkan sebagian wilayah kepada Pangeran Notokusumo.
Maka pada 17 Maret 1813, Kadipaten Pakualaman resmi berdiri pasca kontrak politik antara residen Inggris John Crawford dan Pangeran Notokusumo. Selanjutnya pada 29 Juni di tahun yang sama Pangeran Notokusumo dinobatkan sebagai Gusti Pangeran Adipati Pakualam I.
Lalu apakah setelah Yogya dibelah jadi Kasultanan dan Pakualaman, maka kemudian terjadi pembedaan gaya seperti saat mataram dibelah jadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta (Pawilahan Nagari), di mana gaya berpakaian, wayang, keris, dll. punya gaya yang berbeda.
Soal keris misalnya, sepanjang yang saya baca, juga sering ditulis Sifu Victor Mh, karena Pakualaman hanya kadipaten, maka tidak (diperbehkan) mempunyai pakem tangguh sendiri. Setiap era selalu berubah, penangguhan umumnya berdasarkan Mpunya, Mpu karyodikromo, karyocuriga , dll.
Hal yang sama berlaku juga pada sandangannya (rangka, pendhok, deder dll. ). Sandangan Pakualaman selalu berubah ubah, kadang pakai wanda Yogya kadang pakai wanda Surakarta. Di foto saat pelantikan Paku Alam X terlihat bahwa keris pusaka yang akan disematkan sandangannya Landrang Surakarta.
Selain itu kadang keris Pakualaman menggunakan sandangan dengan gaya sendiri yang lain dari Yogya maupun Surakarta. Contohnya gayaman saya ini. Itu pun dalam perspektif Yogya hanya disebut gayaman kagok.
Terlepas dari perdebatan ada atau tidak gaya Pakualaman (ini saya serahkan pada senior dan para ahli), saya tetap menikmati warangka gaya Pakualaman ini. Setidaknya dia tampil beda di tengah jajaran keris berawangka Surakarta dan Yogakarta di jagrak saya.
Juga (dan yang ini paling penting bagi saya) dia mengingatkan saya akan memori saat pertama datang ke Yogya yang sampai sekarang terasa seperti kampung halaman saya.