Satu Dasawarsa Gempa Yogya

 

Bagian 1: Tak Jadi Korban Gempa, Jadi Korban Hoax

Sebagian bangunan candi Prambanan yang rusak karena Gempa Yogya. Foto: Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM)

Sebagian Candi Prambanan rusak karena gempa Yogya. Foto: Kompas

Pagi itu, 10 tahun lalu, pagi-pagi sekali saya sudah duduk di depan televisi. Menjelang pukul enam pagi, saya duduk bersila sambil memegang remot dan menjelajah tiap saluran televisi. Lalu berhenti dan menikmati siaran berita pagi.

Ritual pagi seperti ini saya lakukan hampir tiap hari. Saat teman yang lain masih terlelap di alam mimpi, saya sudah asik sendiri menonton televisi atau baca buku di ruang tengah lantai 2 kos-kosan.

Sedang asik menikmati berita, tiba-tiba televisi dan raknya jalan sendiri mendekati saya. Saya terperanjat, nyaris melompat. Awalnya saya kira ada hantu yang menggerakkannya.

Namun karena dibarengi getaran yang makin lama makin kencang, saya kemudian menyadari bahwa ini karena gempa. Saya yang baru pertama merasakan getaran gempa tenang-tenang saja dan mengira ini getaran hanya sebentar karena aktivitas Gunung Merapi, yang kala itu memang sedang “batuk-batuk”.

Getaran makin lama-makin kencang, tak kunjung berhenti. Semua orang berhamburan. Termasuk teman-teman saya yang segera berlarian turun dari lantai 2, lalu berkumpul di halaman. Saya yang masih bingung dengan apa yang terjadi malah bertahan di balkon.

“Jug jug jug jug…”

Bunyi bangunan digoyang gempa berkekuatan 5,9 skala Richter, sungguh menyeramkan. Getarannya pun cukup membuat kita sulit berdiri tanpa berpegangan. Ibarat naik bus Sumber Kencono yang sedang ngebut, dalam posisi berdiri. Saya merasakan bangunan kos-kosan saya terhuyung-huyung. Untung tidak ambruk, karena kosan saya termasuk bangunan baru. Kalau ambruk, pasti saya pagi itu sudah tertimbun puing dan tercatat sebagai salah satu korban gempa Yogya.

Hampir semenit kemudian getaran mereda. Ramai suara bangunan diguncang gempa kemudian berganti ramai suara orang-orang yang membahas apa yang baru saja terjadi. Hampir semua menduga ini gempa vulkanik dari Merapi.

Beberapa lama kemudian kami baru tahu bahwa ini gempa tektonik yang terjadi di laut selatan. Juga datang kabar bahwa banyak rumah rata dengan tanah dan korban diangkut dengan kendaraan seadanya ke RS Dr Sardjito UGM. Baru saja menyadari bahwa gempa bukan dari utara tapi dari selatan, tiba-tiba datang kabar yang lebih mengejutkan.

“Tsunami. Tsunami. Air udah naik. Air udah naik! ” teriak orang-orang yang berlarian dari utara menuju ke tempat kami, di kawasan Kampus UGM.

Kontan saja semua orang berhamburan lari sekuat tenaga. Bayangan dasyatnya tsunami Aceh yang belum lama terjadi, cukup membuat nyali semua orang ciut. Tak ayal semua orang pun mengikuti instingnya untuk berlari menyelamatkan diri.

Rasanya Saat itu memang seperti dikejar kematian. Orang lari bertabrak-tabrakan. Tangisan dan teriakan ketakutan membuat suasana makin mencekam. Bahkan saya melihat beberapa nenek-nenek yang tidak kuat lari kemudian berkumpul di sebuah lapangan sambil berdoa bersama. Pasrah jika nanti gulungan gelombang mengakhiri riwayat mereka.

Di tengah kepanikan, tiba-tiba saya terpikir untuk tidak usah lari lagi. Percuma lari secepat apapun, jika tsunami datang pasti dia lebih cepat sapuannya dari lari kita. Lalu saya bediri di bawah tiang baliho UNY. Jika air datang saya akan memanjat saja. Selebihnya pasrah.

Rupanya hingga beberapa jam kemudian tsunami itu juga datang. Akhirnya semua orang sasar bahwa info itu tidak benar. Ternyata itu hanya info hoax. Info hoax ini entah dari siapa datangnya, tapi menyebar cepat sekali pagi itu dan membuat gempar dan membuat semua orang ketakutan. Bahkan ada teman yang kabur menggunakan motor sampai hampir ke Semarang, dan kemudian baru menyadari dia cuma pakai baju tidur dan tanpa helm.

Saat itu memang kabar hanya beredar dari mulut ke mulut. Sebab pasca gempa semua listrik mati. Waktu itu juga belum ada smartphone, socmed, dan akun BMG yang rajin mengupdate info gempa. Selain itu, pagi itu mayoritas orang juga lebih dominan berpikir bagaimana bertahan hidup dibanding berpikir apakah info itu benar atau tidak.

Maka pagi itu saya dan orang-orang memang tidak jadi korban gempa, tapi jadi korban info hoax.

 

Bagian 2: Gempa Yogya Mencegah Perang Saudara

Foto: Radar Yogya

Foto: Radar Yogya

Televisi jalan sendiri. Itu yang menyadarkan saya bahwa pagi itu ada gempa.

Televisi yang jalan sendiri itu sedang menayangkan berita seru. Berita itu adalah kabar tentang pertikaian antara FPI melawan Banser Ansor NU. Pertikaian dua ormas Islam ini diawali oleh tindakan FPI yang mengusir KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di sebuah acara diskusi.

Lalu Banser pun tidak terima dan menyerang setiap markas FPI di daerah. Di berita, terlihat beberapa anggota FPI di daerah tidak berdaya diserang oleh Banser. Namun di Jakarta, FPI cukup banyak dan menyatakan siap menghadapi Banser.

Maka anggota Banser pun mulai berdatangan ke Jakarta untuk menghajar FPI. Perang statement antar pemimpin ormas ini sedikit lagi akan menjadi perang saudara di Jakarta. FPI berkumpul di Petamburan, sementara Banser sudah terlihat berkumpul di Kramat, Matraman, dan sekitarnya.

Saat layar televisi masih menyiarkan berita ini, tiba-tiba televisinya berjalan sendiri ke arah saya. Getaran gempa membuat televisi dan kursi bergeser dari tempatnya.

Lalu terjadilah peristiwa yang kemudian dikenal sebagai gempa Yogya itu. Peristiwa itu kemudian mendominasi pemberitaan.

Pasca gempa bumi, tak ada lagi berita Banser lawan FPI. Berita Banser lawan FPI seolah hilang ditelan bumi. Tak ada lagi televisi yang menyiarkan. Siaran berita isinya didominasi kabar gempa Yogya.

Akhirnya perang saudara antar ormas Islam itu pun urung terjadi dan tidak terdengar lagi. Walau sampai sekarang mereka masih bermusuhan dan saling benci, namun perang saudara yang nyaris pecah 10 tahun lalu itu batal dilakukan.

Di kemudian hari, saya baru menyadari bahwa secara tidak langsung gempa Yogya telah mencegah perang saudara. Gempa Yogya yang memakan banyak korban jiwa ini juga menyelamatkan banyak jiwa. Karena mungkin kalau tidak ada gempa Yogya, kita akan menyaksikan banyak korban jiwa dari perang Banser melawan FPI.

Bahkan saya dengar dua kelompok yang sudah berniat saling sikat ini kemudian ikutan memikirkan gempa Yogya dan mengirimkan relawannya. Maka tenaga mereka pun teralihkan dari hal yang banyak mudarat ke hal yang lebih banyak manfaat.

Memang selalu ada hikmah di balik setiap musibah.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.