Senjakala Media Cetak Indonesia

jakarta globeTak disangka, usinya hanya tujuh tahun. Apalagi kalau mengingat optimisme dan kegembiraan yang ditunjukkan teman-teman saya yang pindah ke tempat itu dahulu. Tak ada yang menyangka bahwa ternyata umurnya hanya sampai hari ini saja.

Dari postingan beberapa teman, saya jadi tahu bahwa hari ini, surat kabar Jakarta Globe terbit untuk terakhir kalinya. Melalui tulisan yang di halaman mukanya yang berjudul “A Last Hurrah… And a New Beginning,” koran berbahasa inggris itu mengumumkan bahwa mereka akan mematikan edisi cetak dan beralih ke online.

Biaya yang mahal untuk media cetak, dan gerusan zaman digital adalah alasan utamanya. Ini juga yang menjadi alasan banyak media cetak akhirnya gulung tikar. Di Indonesia, sebelum Jakarta Globe, sudah ada banyak yang mendahuluinya, sebut saja koran Jurnal Nasional (Jurnas), tabloid Bola, dan banyak lainnya.

Semua ada masanya. Demikian pula halnya dengan media cetak. Pernah ada masa di mana media cetak, terutama koran begitu berjaya dan dihormati. Bahkan banyak pengusaha kemudian berlomba-lomba membuat koran, tabloit, atau majalah. Mereka tidak hanya berburu laba, tetapi juga pengaruh.

Artikel berseri Washington Post tentang skandal Watergate yang berhasil menjatuhkan Presiden Amerika Richard Nixon, disebut sebagai salah satu tonggak besar yang membuat pamor media cetak melejit. Pengaruh besar dan moncernya bisnis media cetak bahkan masih terus berlanjut sampai di era pergantian milenium.

Apalagi saat beberapa media online yang coba dirintis untuk menggantikan media cetak sempat ambruk berjamaah di masa dot-com bubble. Saya masih ingat saat itu banyak bekas wartawan media online yang pindah bekerja ke surat kabar. Mereka mengatakan media online tidak serius dan tidak memiliki masa depan. Ini sempat saya amini, namun saya koreksi di kemudian hari.

Kini, zaman pun berubah. Era digital pelan tapi pasti membawa perubahan yang cukup berarti. Model bisnisnya boleh jadi sama: menjual tulisan ke pembaca, dan menjual pembaca ke pengiklan. Namun mediumnya berganti rupa, dari cetak bergerak ke online.

Penetrasi koneksi internet yang semakin meluas dan menjangkau pelosok, di tambah makin terjangkaunya smartphone dan perangkat mobile lainnya, juga semakin mendukung hal tersebut. Ditambah lagi banyak keunggulan media online di banding media cetak, yang membuat banyak pembaca beralih secara suka rela ke sana.

Coba bandingkan, untuk membaca berita di koran misalnya, kita harus menunggu peristiwa hari ini tersaji besok pagi, itu pun harus dengan membeli. Sementara media online peristiwa tersaji beritanya hari itu juga, tak perlu menunggu besok, dan disajikan secara cuma-cuma pula. Di koran, sudah basi beritanya, disuruh bayar pula. Itu alasan umum banyak orang yang memilih meninggalkan media cetak dan beralih ke online.

Soal kepraktisan, koran yang bentuknya besar berlembar-lembar, tentu kalah praktis dibanding dengan media online yang mudah dibaca dengan telepon pintar atau tablet yang bentuknya juga relatif kecil, muat di saku. Belum lagi di zaman sekarang di mana orang senang berbagi berita di media sosial, media online juga memberikan kemudahan untuk menyebar atau sharing berita, kepada teman atau kerabat. Untuk mencari berita lama juga mudah dengan bantuan mesin pencari. Ini juga yang tidak dipunyai media cetak.

Media online juga punya kelebihan dalam hal menganalisis topik yang disukai pembaca. Sebab, di media online dengan bantuan CMS kita bisa tahu tulisan mana saja yang banyak pembaca dan mana yang tidak. Sementara di media cetak, ini ditentukan oleh kesepakatan redaksi saja. Jadi bisa saja yang dianggap disukai pembaca sebenarnya tidak disukai. Hal ini sedikit banyak juga ada pengaruhnya dalam hal menarik pembaca.

Tak heran jika kemudian jumlah pembaca berbalik, dan kemudian juga membalik situasi. Dulu sering dikatakan jumlah pembaca media cetak lebih tinggi dari media online. Sehingga pandangan umum menempatkan kasta media cetak berada di atas media online.

Namun kini sebaliknya. Sebagai ilustrasi saja, koran nasional terkemuka, pembacanya diklaim sekitar 300 ribuan. Sementara media online papan tengah saja, sehari pembacanya bisa mencapai angka jutaan orang.

Hal ini juga disadari oleh narasumber, pengiklan, pengambil kebijakan, dan lain sebagainya. Maka jika dulu media online dianggap media kelas dua, kini tidak lagi. Bahkan perusahaan media cetak yang sempat jumawa dan memandang sebelah mata media online, kini bergegas membuat media online sebagai sekoci penyelamat mereka.

Teman saya yang bekerja di koran bercerita, mereka sekarang mendapat kewajiban mengisi media online yang dibuat korannya untuk skoci itu. Sementara di koran lain, seorang pegawai sirkulasi mengeluh karena mendapat tambahan tugas mencari iklan, karena kini makin sepi ikalan yang masuk. Juga sudah banyak ditulis bagaimana agen dan loper mulai mengeluhkan bisnis yang menjadi mata pencaharian mereka ini.

Akan datangnya senjakala media cetak ini sebenarnya sudah disadari sejak lama oleh mereka yang bekerja di media cetak. Saya masih ingat saat masih bekerja di sebuah koran nasional, seorang pimpinan mewanti-wanti akan hal ini. Jika tidak berubah, maka kita akan mati digilas internet dan media online.

Lalu saat itu dibahas sebuah peluang yang mungkin bisa menyelamatkan media cetak di zaman digital ini. Peluang atau lebih tepatnya langkah penyelamatan ini tidak hanya berlaku untuk konteks Indonesia, tapi juga dunia. Satu-satunya peluang media cetak adalah menawarkan keakuratan dan kedalaman.

Apalagi media online rata-rata mengidap penyakit kambuhan berupa katidak akuratan dan kedangkalan. Ceruk ini yang harusnya diisi oleh media cetak, sebab mereka punya lebih banyak waktu untuk mendalami, memverifikasi, dan menulis cerita yang lebih baik.

Saya masih ingat sebuah dialog dalam film “State of Play” tahun 2009, yang menggambarkan dengan baik hal tersebut. Saat itu tokoh utamanya Cal McAffrey, seorang wartawan surat kabar (diperankan oleh Russell Crowe) mengatakan kepada temannya Stephen Collins, seorang pejabat (diperankan oleh Ben Affleck), bahwa surat kabar masih ada nilainya:

“Kenapa kamu berkata begitu? Karena tidak ada lagi yang membaca surat kabar? Sebuah cerita sejenis yang dua hari kemudian bernasib jadi kertas pembungkus? Kamu tahu, di tengah semua gosip dan spekulasi yang merasuki kehidupan orang-orang, aku masih merasa mereka tahu perbedaan antara berita sebenarnya (real news) dan berita bohong (bullshit),”

Nah, jika media cetak mau survive di era digital ini, sebaiknya memang mengikuti kata Cal itu. Sayangnya, mayoritas media cetak di Indonesia justru tak berbeda sajiannya dengan media online, cuma lebih panjang saja, dan tentu saja lebih basi, karena datangnya baru besoknya. Hanya sedikit sekali yang memberikan kedalaman atau cerita berbeda. Bahkan bukan rahasia umum lagi kalau banyak wartawan media cetak yang mencobtek berita dari media online.

Bahkan banyak yang sekadar mengambil atau copy paste berita dari media online lalu “menjahit”nya menjadi versi yang lebih panjang.

Akibatnya pembaca pun akan terus tergerus. Ditambah dengan biaya cetak dan biaya operasional lainnya yang tinggi, ini tentu menjadi perpaduan yang sempurna untuk kematian media cetak. Jika dalam buku “The Vanishing Newspaper” Philip Meyer memprediksi bahwa media cetak di Amerika akan mati pada kuartal pertama 2043. Maka di Indonesia, jika kondisinya sama seperti saat ini, bisa jadi datangnya akan lebih cepat dari predisksi itu.

Maka tak ada pilihan lain bagi media cetak di era digital ini: berbenah atau musnah.

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *