Gaduh. Itulah kesan yang muncul dari kabar Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke 33 di Jombang, Jawa Timur. Kegaduhan memang mewarnai acara lima tahunan ormas Islam terbesar di Indonesia itu, mulai dari proses registrasi sampai perdebatan di sidang-sidangnya.
Tak hanya adu mulut, beberapa kali juga terlihat adu fisk antar muktamirin atau dengan Banser yang mengamankan. Maka kemudian sampai ada media yang membandingkan dengan Muktamar Muhammadiyah yang relatif tidak gaduh dengan judul kurang lebih: “Muktamar NU Gadug, Muktamar Muhammadiyah Teduh”
Judul itu tak bisa dipungkiri mewakili mayoritas pemberitaan dan opini masyarakat. Pejabat Rais Aam NU KH Mustofa Bisri (Gus Mus) bahkan mengutip judul tersebut dalam pidatonya saat menenangkan muktamirin. Pidato Gus Mus yang berisi permintaan maaf mewakili pengurus dan panitia, dengan cucuran air mata, itu kemudian memang berhasil menarik simpati muktamirin dan meredakan kegaduhan. Apalagi Gus Mus membatalkan mekanisme Ahlul Halli Wal Aqdi (Ahwa) dan kembali ke mekanisme di AD/ART.
Ahwa memang biang kegaduhan. Jauh sebelum Muktamar digelar, polemik pemilihan Rais Aam dengan sistem Ahwa sudah mengemuka dan memanas. PWNU dan PCNU terbelah dalam dua pendapat; mendukung dan menolak Ahwa.
Bagi yang mendukung Ahwa dinilai mekanisme yang tepat dengan berbagai alasan misalnya: karena pemilihan langsung rawan politik uang, jabatan Rais Aam itu sakral maka biarlah dipilih oleh para kiai dalam Ahwa dan lain sebagainya. Namun mereka yang menolak melihat Ahwa ini hanya akal-akalan untuk menjegal KH Hasyim Muzadi dan untuk menggolkan kembali Gus Mus dan KH Said Agil Siradj.
Selain itu banyak PWNU yang menduga dipaksakannya Ahwa ini karena ada kepentingan politik dari parpol tertentu yang berkepentingan untuk menguasai NU dan membackup kelompok pro Ahwa. Politisi parpol tertentu ini khawatir jika Kiai Hasyim jadi rais aam, maka kepentingan mereka di NU bisa terganggu. Akan susah memperalat NU dan menjadikan ketua umumnya bintang iklan parpol seperti pada pemilu yang lalu. Selain itu, pengurus NU daerah menilai Kiai Hasyim cocok jadi rais aam, karena bisa lebih tegas terhadap aliran yang selama ini diduga menggerogoti NU seperti liberalisme, syiah, kiri, dan sejenisnya. Sementara Gus Mus, dinilai kurang tegas terhadap hal tersebut.
Hal itu diperparah dengan ulah panitia juga dinilai membeda-bedakan perlakuan antara muktamirin yang pro Ahwa dan yang kontra Ahwa. Kelompok kontra Ahwa merasa suaranya tidak didengar, dan mendapat diskriminasi dari panitia, dan lain sebagainya.
Maka sejak awal Muktamar, kelompok kontra Ahwa yang banyak jumlahnya memilih menginap di Ponpes Tebuireng dan berkumpul bersama KH Sallahudin Wahid (Gus Solah) dan KH Hasyim Muzadi, dibanding penginapan yang disediakan panitia. Dua tokoh tersebut dicalonkan muktamirin kontra Ahwa menjadi ketua umum dan rais am.
Polarisasi dua kekutan ini selalu berbenturan di muktamar. Pidato Gus Mus, sempat meredam benturan itu dan meredakan kegaduhan. Namun, saat laporan pertanggungjawaban ketua umum KH Said Agil diterima tanpa pandangan dari PWNU, dan mekanisme Ahwa kembali dipakai, kegaduhan muncul kembali. Muktamirin kontra Ahwa tidak mau kembali ke arena muktamar dan memilih istighosah di Tebuireng.
Lalu muncul lah spekulasi bahwa akan ada muktamar tandingan. Juga kabar NU akan pecah, dan lain sebagainya yang semakin membuat gaduh dan panas.
Tetapi, di tengah kegaduhan dan ketidaksempurnaan Muktamar NU ada teladan yang baik yang ditunjukkan para ulama. Gus Mus dan KH Hasyim Muzadi menunjukkan ahlakul karimahnya.
Gus Mus menunjukkan teladan baik dengan meminta maaf pada muktamirin atas kesalahan panitia, diskriminasi, dan hal-hal yang menyakiti mereka dalam pidato mengharukan yang sempat mendinginkan suasana. Gus Mus bahkan mengatakan siap mencium kaki muktamirin satu persatu bila itu diperlukan untuk meredam kegaduhan dan menyatukan mereka.
Selain itu, Gus Mus juga mengatakan berharap tidak dipilih lagi menjadi rais aam dan tidak berminat dengan jabatan yang menurutnya berat dan tidak layak baginya itu. Hal ini kemudian memang benar dibuktikan Gus Mus. Saat para ulama dalam Ahwa memilihnya menjadi rais aam, beliau menolak dan memberikan surat tidak bersedia jadi rais aam. Meski dirayu terus Gus Mus tetap pada pendiriannya dan akhirnya KH Ma’ruf Amin yang awalnya ditetapkan jadi wakil rais aam, naik menjadi rais aam.
Teladan baik juga ditunjukkan mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi. Kiai Hasyim menenangkan mereka yang kecewa dengan muktamar yang saat itu berkumpul di Tebuireng dan tidak mau kembali ke arena Muktamar di Alun-alun Jombang. Beliau meminta para pendukungnya itu agar tidak membuat muktamar tandingan. Sebab bila itu terjadi, maka NU akan pecah dan jika sudah pecah akan sulit disatukan lagi.
Meskipun mereka kecewa karena muktamar penuh kecurangan, Kiai Hasyim meminta muktamirin sabar dan tidak mau diadudamba untuk pecah. Beliau juga menegaskan tidak bersedia dipilih jadi rais aam, baik oleh muktamirin yang ada di Tebuireng (pendukungnya) maupun muktamirin yang ada di Alun-alun (kubu seberang). Ini dilakukan Kiai Hasyim untuk membuktikan tidak ada ambisi pribadi dan untuk menjaga persatuan.
Itulah teladan baik para ulama yang muncul dalam Muktamar NU ke 33. Ahlakul Karimah para ulama ini ibarat oase di panasnya muktamar kali ini. Nah, contoh baik sudah ditunjukkan para ulama. Kita, baik warga Nahdliyin atau umat Islam lainnya layak mengapresiasinya, sukur-sukur meneladaninya.