Tentang Kijang

Suatu waktu Nabi Muhammad SAW melewati sejumlah orang yang telah memburu seekor kijang. Lalu mereka mengikatnya pada tiang tenda. Saat melihat Nabi kijang itu berkata:

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ditangkap, sementara aku memiliki dua anak yang masih kecil. Maka izinkan aku menyusui mereka lalu aku kembali kepada mereka.”

Nabi pun bersabda; 

“Mana pemilik (kijang) ini?”

Orang-orang itu pun berkata; 

“Kami, wahai Rasulullah.”

Kemudian Nabi pun bersabda; 

“Lepaskan dia hingga mendatangi kedua anaknya untuk menyusuinya, lalu akan kembali kepada kalian.”

Mereka berkata; 

“Siapa yang menjamin kepada kami untuk itu?”

Beliau menjawab; 

“Aku.”

Mereka pun melepaskannya. Kijang itu lalu pergi, kemudian menyusui anaknya dan kembali kepada orang-orang yang menangkapnya. Mereka pun mengikat kembali kijang itu.

Nabi kemudian berkata pada mereka; “Maukah kalian menjualnya kepadaku?”

Mereka kemudian menjawab; “Dia untukmu wahai Rasulullah.”

Beliau pun bersabda; “Lepaskanlah dia!”

Lalu kijang itu pun dilepaskan dan kembali ke keluarganya.

Peristiwa ini disaksikan banyak orang dan diceritakan turun temurun dan dicatat di kitab hadist. Di Kitab Al Bidayah wa An Nihayah semua versi hadist ini dikumpulkan dalam bab “Hadist tentang Kijang”. Perbedaan versi hanya soal kijangnya antara diberikan oleh orang-orang itu atau dibeli oleh Nabi.

Kisah tentang kijang juga banyak muncul dalam cerita peradaban besar. Misalnya di epos Ramayana ada raksasa Marica yang menyamar jadi kijang dalam misi menculik Sinta.

Melihat kijang yang merupakan samaran Marica, Sinta meminta Rama menangkapnya.

“…Dia (Sinta) mengira bulu kijang bagus untuk dijadikan selendang, karena mengkilat, dengan bulu berwarna emas, halus dan lembut. Hatinya tergetar oleh keinginannya untuk memiliki apa yang baru saja dilihatnya. Kemudian dia memintanya (Rama) untuk mendapatkan rusa emas untuknya. Raghusuta tidak segan untuk memenuhi setiap permintaannya. Dia meninggalkan adik laki-lakinya Laksmana untuk menjaga pertapaan dan pergi mengejar rusa itu, tetapi dia tidak bisa menangkapnya, karena rusa itu melompat- lompat sehingga membuatnya bingung….”

(Kakawin Ramayana, Bab V)

Singkat cerita kijang jelmaan Marica berhasil dipanah Rama. Di saat sekarat, Marica yang berubah dari bentuk kijang menjadi raksasa kembali, dan masih sempat mengecoh. Dia mengerang tapi erangannya menyerupai suara Rama. 

Ini kemudian membuat Laksmana terkecoh berlari hendak menolong Rama dan meninggalkan Sinta. Sinta yang sendirian namun masih terlindungi lingkaran pelindung kemudian juga terkecoh oleh Rahwana yang menyamar jadi resi yang kemudian berhasil menculiknya.

Dalam epos Mahabarata juga ada kisah tentang kijang di mana seorang resi bernama Kindama suka berubah wujud menjadi kijang. Hal itu dilakukan Kindama untuk memuaskan hasras seksual. Sebab dia pantang melakukan hubungan seksual dengan manusia, dan menyalurkan hasratnya dengan menjadi kijang dan mengawini kijang betina.

Suatu waktu, Raja Hastina Pandu sedang berburu. Melihat kijang, yang merupakan jelmaan Kindama, sedang bersenggama, Pandu lantas membidik dan berhasil memanahnya.

Sekarat terkena panah Pandu, sang resi kembali ke wujud manusia dan mengutuk Pandu. Bapak para Pandawa itu dikutuk akan mati jika bersenggama dengan dengan wanita. Kutukan itu kemudian menjadi kenyataan. Belasan tahun kemudian Pandu tewas ketika bersenggama dengan Dewi Madrim. 

Kijang memang selalu muncul dalam kisah pemimpin besar atau raja-raja. Kakawin Negarakretagama mencatat raja Majapahit suka berburu dan kijang merupakan salah satu hewan targetnya. Catatan bangsa asing yang ditulis di zaman Majapahit yaitu Suma Oriental karya Tome Pires juga mencatat bagaimana megah dan meriahnya rombongan raja ketika berburu.

Tradisi raja berburu kijang ini terus lestari sampai era Mataram Islam. Bahkan putra Pendiri Mataram Panembahan Senopati yaitu Panembahan Hanyakrawati meninggal kecelakaan saat berburu kijang di hutan krapyak pada tahun 1613. Karena itu, ayah Sultan Agung ini mendapat gelar anumerta sebagai Panembahan Seda ing Krapyak (Panembahan wafat di Krapyak).

Kijang pun diabadikan dalam regalia kerajaan berupa patung kijang dari emas yang biasanya di bawa wanita di dekat singgahsana atau dampar raja. Di Kesultanan Yogyakarta patung kijang dari emas termasuk salah satu dari regalia Kanjeng Kiai Upacara, yang di bawa perawan bersama patung ayam, merak, dan lainnya. Di Kasunanan Surakarta juga hal serupa yang disebut Dhalang yang dibawa bersama Banyak and Sawung Galing, dan lain-lain yang merupakan bagian dari ampilan dalem kraton.

Maka tak heran jika kijang juga muncul dalam ornamen keris. Dalam keris berdapur naga seperti Nagasasra, ukiran kijang biasanya muncul di dekat naga. 

Ukiran Kijang yang biasanya ditinatah emas di keris naga berguna untuk pembanding menunjukkan ukuran naga yang besar. Selain itu kijang juga simbolisasi pendamping naga yang merupakan simbol pemimpin atau raja. Menurut Karsten Sejr Jensen dalam Krisdisk Chapter 5 hal 4, Kijang merupakan simbol kecepatan, yaitu kecepatan berfikir dan bertindak raja. 

Makna kijang lebih dari itu, hewan yang hidup berkelompok ini juga merupakan simbol kebersamaan dan kekompakan. Kijang juga lincah dan adaptif, dia simbol kecerdikan dan kecakapan. Dia juga serbaguna, dagingnya bisa jadi makanan, kulitnya bisa jadi pakaian, dan memburunya juga bisa jadi hobi atau kesenangan, sebagaimana hobi para raja yang telah diuraikan di atas.

Tak hanya tampil di ukiran atau tinatah keris naga, kijang juga menjadi dhapur keris yaitu: Kidang Soka atau kijang yang berduka. Sebuah pesan agar terus bersama, bersemangat, dan aktif dalam kehidupan meski banyak duka atau rintangan dan hambatan dalam perjalanannya.

Di era kemerdekaan, kijang juga lekat dengan pemimpin bangsa. Presiden Sukarno dikenal suka dengan kijang dan memeliharanya di Istana Bogor yang masih lestari dan dapat kita saksikan sampai hari ini.

Bung Karno juga dikisahkan pernah memarahi seorang pengawalnya yang berburu dan menembak mati seekor kijang.

“Kamu orang ini betul-betul tidak mempunyai rasa kasihan kepada sesama hidup. Apa salahnya kijang itu kamu tembak? Bagaimana kalau kijang yang kamu tembak itu masih mempunyai anak kecil yang masih memerlukan pertolongan induknya? Apakah kamu orang di sini kekurangan makan?”

Kisah itu di tuturkan putra Bung Karno, Guntur Sukarno Putra, dalam buku, “Bung Karno : Bapakku, Kawanku, Guruku “. Kisah Bung Karno dan kijang itu mengingatkan akan kisah Nabi yang menolong kijang.

Itulah kisah tentang kijang yang mewarnai kisah Nabi, raja-raja, dan pemimpin bangsa. Beserta simbolnya yang tersemat dalam pusaka dan makna yang dikandungnya. Semoga kita bisa mengambil hikmahnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *