Di dunia politik, orang memuja yang banyak. Karena demokrasi memberikan pakem bahwa yang mendapat banyaklah yang menang, yang didukung mayoritaslah yang akan berkuasa.
Maka yang banyak yang kemudian dicari. Orang ingin memiliki yang banyak, orang ingin menguasai yang mayoritas.
Namun sebenarnya tak semua yang banyak itu berharga. Yang sedikit, yang minoritas, yang jarang, seringkali justru yang lebih bernilai.
Karena sesungguhnya disadari atau tidak, fitrah manusia itu suka sesuatu yang jarang. Yang jarang ada, yang jarang dilihat, yang jarang ditemui, yang jarang dipegang.
Emas bernilai tinggi karena dia lebih jarang, lebih sedikit dan sukar ditemukannya. Demikian pula berlian, dan lain sebagainya.
Mereka yang rupawan juga demikian, jumlahnya sedikit dan jadi rebutan. Terkadang parameternya karena jarangnya.
Misalnya orang bule yang menilai orang kulit sawo matang cakep. Itu karena jarang melihat yang demikian, dan lebih sering melihat orang yang berkulit terang.
Sebaliknya orang kita yang sawo matang melihat orang bule cakep. Sebab jarang melihat yang bule dan lebih sering melihat yang sawo matang atau gelap.
Yang jarang terlihat memang lebih memikat. Yang tak biasa memang lebih memesona.
Di dunia hewan pun sama. Kala rata-rata kawanannya berwarna hitam atau gelap, maka hewan yang berwarna putih atau terang akan jadi tak biasa, lalu jadi primadona. Begitu pula sebaliknya.
Buaya putih, menjadi istrimewa karena rata-rata buaya berwarna gelap. Bahkan buaya putih yang sebenernya demikian karena albino, sering dilabeli sebagai siluman atau dewa.
Sebaliknya, angsa hitam menjadi “sesuatu” karena rata-rata angsa berwarna putih. Bahkan sampai dijadikan nama teori segala (black swan theory).
Di dunia keris juga sama: yang jarang, yang dicari orang. Meski teori atau pakemnya misanya semua pamor sama bagusnya atau tidak ada satu pamor yang lebih baik dari pamor lainnya, namun prakteknya orang cari pamor yang jarang.
Demikian juga dhapur, sandangan, dan lain sebagainya. Makin jarang, makin langka, makin sedikit, makin banyak yang cari. Lalu biasanya jadi makin berharga.
Saya juga termasuk penyuka yang jarang. Soal sandangan keris saya juga suka cari yang jarang ada. Yang unik dan tak biasa. Bukan biar terlihat wah, eksklusif atau apa, tapi ya itu tadi, melihat hal yang jarang dilihat itu menyenangkan.
Contohnya kendit putih. Saya senang sekali berburu sandangan keris dengan kendit putih. Karena dia jarang ada. Kendit biasa saja jarang, apalagi yang putih.
Cuma sering membaca di buku soal kendit putih tapi tak kunjung melihat wujudnya. Maka saya kemudian berburu kayu yang ada kendit putihnya. Akhirnya ketemu kayunya. Entah kayu apa, orang Lombok menyebutnya Kayu Darah.
Kayu ini lalu saya jadikan warangka Wulan Tumanggal. Hasilnya lumayan juga, seperti yang anda lihat di foto terlampir.
Meski secara pakem Yogyakarta ini tidak pakem. Karena katanya pelet kendit harus di kayu Timoho, kalau bukan Timoho tidak ada “wahyunya”.
Tapi gak masalah bagi saya, ini era kamardikan. Merdeka berkarya dalam kerangka nunggak semi.
Juga ini saatnya mencoba alternatif bahan warangka. Di saat bahan warangka pakem yang baik langka dan mahal harganya.
Apalagi bagi saya kendit putih kayu darah ini jauh lebih baik dari kayu Timo yang diwarna seolah kendit putih 😁
Karena membuat warangka kendit dengan mewarnai itu bukan saja tidak pakem tapi juga tidak patut.