Minggu sore saat saya sedang bersantai, di televisi sedang hangat memberitakan dua kabar duka cita. Duka cita pertama terkait berpulangnya mantan Ibu Negara Hasri Ainun Habibie yang meninggal di Jerman. Duka yang kedua adalah kekalahan telak AM alias Andi Mallarangeng di ajang pemilihan ketua umum dalam Konggres Partai Demokrat.
Kabar kekalahan Andi Mallarangeng tergolong kabar duka, paling tidak bagi para pengikutnya. Betapa tidak, mantan juru bicara presiden yang kini menjabat sebagai Menpora itu sudah lama ngidam jadi ketua umum. Dia juga sudah mati-matian berjuang menjadi Domokrat 1.
Kampanye AM bahkan paling “wah” jika dibandingkan dua kandidat lainnya. Jauh hari iklan AM for Demokrat 1 sudah menghiasi televisi dan Koran-koran. Spanduk dan posternya juga sudah beredar di mana-mana. Foto Bang Kumis tersenyum manis bertebaran di sudut-sudut kota bahkan dibuat baliho raksasa di Jalan Gatot Subroto, tepatnya di depan Plaza Semanggi. Pokoknya AM sudah seperti Sadam Husain saja, fotonya ada di mana-mana.
Pencitraan AM ini ditangani langsung oleh Fox Indonesia. Sebuah lembaga konsultan politik yang dipimpin adiknya sendiri Coel Mallarangeng. Mereka mati-matian mempromosikan AM dengan gaya hampir sama saat menangani SBY dalam pilpres lalu. Gaya kampanye modern cita rasa Amerika. Nyontek-nyontek gaya Obama dikit.
Kaca mobil orang-orang Fox dan orang-orang AM ditempeli stiker besar AM for Demokrat 1. Bahkan Rizal Mallarangeng yang jadi pengurus Partai Golkar pun memasang stiker yang sama di mobilnya. Sempat ada kejadian menarik soal ini, yaitu saat Rizal menghadiri rapat di DPP Partai Golkar dan memakai mobil dengan stiker AM.
Ada gambar calon ketum partai lain membuat seorang kader Golkar memotret gambar itu dan menyebarkan melalui blackberry messenger ke pengurus Golkar. Walhasil, sebelum rapat usai, mobil itu pun meninggalkan kantor DPP. Tak jelas, apakah mobil Rizal diusir, atau pulang sendiri. Yang jelas saat itu Rizal masih ada di DPP Partai Golkar.
Pencitraan itu pun berlangsung terus-menerus. Bahkan saat konggres digelar pun, arena konggres serta kawasan Bandung dan sekitarnya kebanjiran spanduk, poster, bendera, dan baliho. Bahkan dari cerita teman, ada penduduk yang menyindir ini mau ada pilkada lagi ya? Banyak bener spanduknya.
Namun itu semua menjadi sia-sia setelah perhitungan pemilihan tahap pertama menunjukkan AM hanya mengantongi 16% suara. Jauh dari yang selama ini digembar-gemborkan dia dan kubunya bahwa sudah ada 85% suara yang mendukungnya. Kubu AM pun berduka, posko Kampoeng AM yang ada di arena pun dibongkar.
Duka tidak berhenti sampai di situ saja, di dunia maya dan perbincangan kalangan wartawan, AM yang sedang keok juga jadi bahan olok-olok. Ada yang mengatakan dia kualat dengan omongannya sendiri. Seperti diketahui saat kampanye dulu AM pernah mengatakan belum saatnya orang bugis memimpin. Sebuah sindiran untuk JK yang akhirnya berbalik ke dirinya sendiri. Ada juga cibiran AM pengganti Mama Loren, karena bisa meramal bahwa dirinya bakal kalah dari statemen tersebut.
Tak cuma AM, mesin politiknya Fox Indonesia juga jadi bahan olok-olok. Keampuhan Fox kemudian diragukan. Keberhasilan Fox memenangkan SBY dinilai keberhasilan semu. Banyak yang yakin SBY menang bukan karena Fox tapi karena kualitas SBY sendiri. Justru saat kampanye pilpres Fox sering membuat blunder, contohnya adalah soal statemen orang bugis belum saatnya memimpin itu, dan banyak blunder lainnya. Singkatnya Fox dinilai hanya menumpang SBY.
Nah, kekalahan AM membuat keyakinan atas Fox tersebut makin menguat. Bahkan ada teman wartawan yang bilang, nanti setelah ini jika Fox mengajukan proposal pada calon di pilkada akan ditolak. Begini penolakannya; “Saya gak percaya Fox ah, megang saudara sendiri saja kalah telak apalagi orang lain”.
Kalau saya melihat, kekalahan AM dan kemenangan Anas Urbaningrum sebenarnya seperti pertarungan dua gaya kampanye. AM dengan Foxnya selalu menampilkan gaya “high profile” sementara Anas lebih menunjukkan gaya “low profile”. AM memang selalu “high profile”, dukungan Ibas, putra SBY menjadikan dia makin percaya diri. Selain menebar klaim dukungan, AM juga selalu menyatakan pihaknya yakin “peharu ini akan sampai tujuan”.
Namun kenyataan berkata lain. Para kader partai lebih suka gaya “low profile” dan Anas lah yang dipilih. Jika mau jeli, sebenarnya gaya “low profile” ini adalah gaya pencitraan SBY. Pertanyaannya, mengapa Fox tidak menerapkan pada AM. Justru pihak Anas yang jeli membuat iklan bahwa santunnya Anas seperti santunnya SBY. Maka saya tidak heran jika kemudian warga Partai Demokrat yang merupakan fans berat SBY memilih Anas.
Selamat Bung Anas, semoga bisa membawa Partai Demokrat lebih baik lagi dan tidak hanya menjadi partai “atas petunjuk bapak presiden”.