Asal Muasal Wulan Tumanggal

Bulan sabit atau crescent adalah salah satu simbol tertua di dunia. Dua ribu tahun sebelum masehi, Bangsa Sumeria juga Bangsa Arkadia telah menjadikannya simbol  bagi dewa bulan.

Bentuk seperti sabit dipakai untuk mewakili bulan karena bentuk bulat sempurna sudah dipakai untuk mewakili matahari. Lalu simbol ini digunakan di berbagai bangsa, berbagai tempat, dan berbagai masa.

Bangsa Yunani misalnya memakai bulan sabit sebagai simbol Dewi Artemis, lambang feminim yang tinggal di Bulan. Di Bangsa Romawi ada Diana yang serupa dengan Artemis.

Bulan sabit juga muncul di peradaban Persia, Mesir, dan peradaban kuno lainnya. Rata-rata digunakan untuk simbol bulan atau Dewa Dewi Bulan. Bulan sabit juga sering tampil dipasangkan dengan matahari sebagai simbol feminim dan maskulin. 

Sementara di India, atau dalam Hindu, bulan sabit digambarkan ada di kepala Dewa Siwa. Bulan sabit Siwa ini sebagai lambang bahwa dia adalah penguasa waktu dan perlambang keabadian.

Tapi simbol bulan sabit tidak selalu mewakili bulan. Sebab simbol bulan sabit sejak zaman kuno juga digunakan menjadi simbol untuk logam perak.

Saat ini, bulan sabit identik dengan simbol Islam. Baik bulan sabit saja atas crescent, maupun bulan sabit dan bintang atau crescent and star.

Bulan sabit (dan bintang) sebagai simbol Islam menyebar luas setelah Imperium Islam Turki Usmani (Ottoman) memakainya sebagai bendera dan lambang negara. Dimulai di era Sultan Mustafa III, lalu diteruskan dan menyebar di era Sultan Salim III. Pemakaian bulan sabit dan bintang Turki Usmani ini diduga mengalkulturasikan simbol dunia Islam dan Eropa. 

Di dunia Islam, jauh sebelum Turki Usmani, memang sudah memakai bulan sabit (tanpa bintang) sebagai lambang dan bendera. Misalnya di Era Bani Umayyah, yang juga memasang ornamen bulan sabit di puncak kubah seusai merenovasi Masjidil Aqsa. Dinasti Malmuk juga memakainya sebagai bendera, dan banyak lagi lainnya.

Itu karena bulan sabit memang penting dalam Islam yang memakai kalender bulan atau lunar alias komariah. Hilal alias bulan sabit atau bulan yang terbit pada tanggal satu bulan komariah adalah patokan penentuan waktu untuk ibadah. Misalnya untuk mengetahui mulainya ibadah Ramadan, Haji, dan lain sebagainya.

Hal ini terdapat di dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 189:

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji…”

Sementara di Eropa, bulan sabit dan bintang juga banyak digunakan negara-negara Eropa Abad Pertengahan. Ini pengaruh simbol bulan sabit dan matahari yang telah disebutkan sebelumnya. Yang memakai misalnya Postmouth dan Byzantium atau Konstatinopel yang akhirnya ditakhlukkan Turki Usmani.

Oleh Turki Usmani lambang matahari diubah jadi bintang. Awalnya dengan ujung delapan masih mirip matahari, tapi kemudian jadi bintang dengan ujung lima.

Bulan sabit dengan bintang berujung lima ini kemudian banyak diterima jadi simbol Islam. Dipakai negara Islam sampai organisasi Islam untuk lambang dan bendera. Bahkan sampai ada Bulan sabit Merah (Red Crescent) yang dipakai untuk relawan medis muslim sebagai ganti Palang Merah (Red Cross) yang mengadopsi simbol Salib (Cross). 

Saat Islam masuk ke Nusantara, bendera dan lambang bulan sabit juga digunakan. Seperti Kesultanan Aceh, Kesultanan-kesultanan di Melayu, Demak, dan Mataram Islam. Ada yang memakai bulan sabit dan bintang, ada pula yang hanya bulan sabitnya saja. 

Simbol ini ternyata juga mempengaruhi keris. Maka muncullah warangka Wulan Tumanggal. Wulan artinya Bulan dan Tumanggal artinya menjadi penanda masuknya tanggal baru. 

Sebuah warangka stilisasi bulan sabit atau hilal yang digunakan sebagai penanda waktu atau tanggal. Karena itu, warangka ini juga dikenal dengan nama warangka Penanggalan atau Tanggalan.

Soal asal muasal Wulan Tumanggal, Bambang Harsrinuksmo dalam “Ensiklopedi Keris” mengungkapkan bahwa warangka model ini mulai muncul dan dikenal sejak zaman Kesultanan Demak. Warangka bulan sabit ini kemudian menghilang pada akhir zaman Mataram Kartasura. 

Warangka ini dari Jawa menyebar sampai Sumatra dan Semenanjung Malaya. Dimulai saat Pati Unus menyerbu Portugis di Malaka, lalu diadopsi orang Melayu dan sekitarnya dengan inovasi ciri daerah masing-masing.

Sementara Haryono Haryoguritno dalam buku “Keris Jawa: Antara Mistik dan Nalar” mengatakan bahwa beberapa keterangan menyebutkan bentuk Penanggalan (Wulan Tumanggal) dahulu lazim dibuat pada masa Kerajaan Mataram Senopaten hingga Mataram Mangkurat di Kartasura. Masa sebelum Mataram terpecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta.

Kini warangka Wulan Tumanggal sering muncul di sandangan keris Yogyakarta. Mungkin karena Yogya meneruskan gaya sandangan keris Mataram di mana warangka ini pernah jamak digunakan.

Sementara di Surakarta juga ada warangka Wulan Tumanggal dengan model agak berbeda deri model Yogya, malah lebih mirip Melayu. Warangka Wulan Tumanggal gaya Surakarta ini juga tidak banyak beredar sebabagaimana Wulan Tumanggal gaya Yogya.

Terlampir adalah warangka Wulan Tumanggal gaya Yogyakarta yang saya pakai untuk menyandangi keris tangguh Majapahit. Warangka dari Cendana Jawa ngenam kepang ini mengikuti pakem Yogya yaitu punggung warangka menutup lekukan ganja wilut kerisnya.

Hulu atau dedernya dari kayu Tayuman berukir Gurdo dipadu mendak perak kendit mata intan. Sedangkan pendoknya pendok slorok perak diukir motif Gurdo agar selaras dengan dedernya.

Sebuah sandangan sederhana namun mewakili identitas saya sebagai seorang Jawa yang beragama Islam. 

Leave a Reply

Your email address will not be published.