
Jika bicara keris Sumatra, yang terbayang di antaranya adalah keris yang indah dan tidak murah. Apalagi setelah beberapa waktu lalu ada keris (yang diduga) keris Sumatra yang laku miliaran kalau dirupiahkan.
Bahkan copotan perabot Keris Sumatra di pasaran pun dihargai tinggi. Ini karena kebanyakan memakai bahan berharga ini: gading dan emas. Dua bahan yang terus dihargai tinggi sejak zaman kerajaan hingga di era AI sekarang ini.
Emas dan gading memang dahulu melimpah di Sumatra. Karena selain habitat gajah, pulau ini juga banyak menghasilkan emas, sampai dijuluki Swarnadwipa yang artinya pulau emas.
Maka tak heran jika banyak keris Sumatra berhiaskan bahan tersebut. Dipadukan dengan ukiran yang indah dan khas, maka keris Sumatra tampil menawan dan tak kalah indah dari keris daerah lainnya.
Namun siapa sangka, keris Sumatra yang kini makin dihargai dan diminati ini dahulu sempat dinilai tak berharga dan tidak diminati di pasar keris. Saat itu keris Sumatra sampai harus ganti baju dan diaku sebagai keris Jawa agar ada yang mau meninangnya.
Menurut Pekeris Senior Pak Guntur Setyanto, saat itu keris-keris Sumatra diganti bajunya dan dipoles menjadi keris Jawa utamanya Surakarta. Itu terjadi karena saat itu dunia keris sangat Jawa sentris. Di pasar keris masa lalu yang segmented, permintaan yang masuk hanya untuk keris Jawa atau Surakarta.
Maka banyak sarung atau warangka juga hulu keris Sumatra yang dibuang sampai menumpuk di pojok rumah hunter atau pedagang keris.
“Perabotnya yang sekarang mahal-mahal itu dulu dibuangin numpuk di pojokan,” kata Pak Guntur.
Hulu gading bahkan dijual perkantong kresek dengan harga sangat murah. Demikian pula warangkanya yang dijual borongan nyaris tak berharga.
Bahkan, lanjut Pak Guntur, ada hulu gading ada yang dibakar untuk jadi sarana asap buat mengusir nyamuk. Ini tentu kontras dengan kondisi saat ini yang mana satu hulu gading buluk saja bisa laku jutaan rupiah.
Pak Guntur yang melihat keindahan hulu-hulu buangan itu kemudian memborongnya. Maka kini beliau memiliki banyak sekai hulu keris Sumatra yang bagus.
Beliau kemudian juga bertekad mengangkat keris Sumatra agar menjadi lebih berharga dan dihargai. Tak hanya dengan mengumpulkan atau mengkoleksi keris Sumatra tapi juga merestorasi sampai menghidupkan kembali kriya perabot keris Sumatra yang telah punah.
Suka duka dilalui dalam proses memodali dan mendidik seniman kriya lain agar bisa membuat perabot keris Sumatra. Semua digali dari referensi pustaka dan koleksi museum.
“Kita bolak balik ke museum sehari bisa berkali-kali,” kenangnya.
Proses yang memakan banyak biaya, waktu, dan menguras emosi ini terbayar saat akhirnya menghasilkan karya yang luar biasa. Hasil yang baik itu kemudian juga ditampilkan dipameran sampai masuk ke dalam buku. Termasuk dalam buku karya Pak Guntur “Nilai Didaktis Keris Nusantara” dan “Nilai Didaktis Hulu Nusantara”. Dalam buku yang keduanya terbit total 11 jilid itu banyak dibahas soal keris Sumatra termasuk warangka, hulu, dan nilai didaktis yang ada di dalamnya.
Maka saat kini keris Sumatra menjadi semakin berharga dan dihargai serta diminati, Pak Guntur mengaku senang. Ini menjadi bukti bahwa upaya bertahun-tahun tak kenal lelah baik yang dilakukannya, maupun mereka yang peduli dengan keris Sumatra tidak sia-sia.
Pak Guntur juga mengajak agar terus mengapresiasi dan menggali keindahan, kebijaksanaan, dan nilai didaktis yang ada pada keris Sumatra. Semua harus dilakukan dalam bingkai kearifan lokal.
“Maka jangan menilai besi keris Sumatra misalnya dengan parameter keris PB, ya tidak nyambung. Semua punya kekhasan dan keunggulannya masing-masing,” terangnya.
Kini dengan semakin berharganya keris Sumatra semoga juga bisa mendorong munculnya empu-empu baru yang bagus dari Sumatra, pengrajin warangka dan perabot yang bermutu tinggi, dan lain sebagainya. Agar yang berharga dari keris Sumatra tidak hanya keris-keris tua tinggalan masa lalu saja, tetapi juga keris baru buatan masa kini yang menjadi bukti pelestrian dan keberlanjutan.
Termasuk menggali makna, dan nilai yang ada pada keris Sumatra. Agar warisan budaya yang ditinggalkan nenek moyang dan tersimpan dalam keris di Sumatra tidak punah ditelan zaman dan terus berharga sampai kapan pun jua.