“Awas jangan dipegang! hati-hati kalau kebeler (tergores) bisa fatal.”
Demikian yang dikatakan paman, saat saya akan memegang salah satu keris yang sedang diminyaki bersama senjata-senjata pusaka lainnya. Saat itu saya yang masih SD pun bertanya-tanya dalam hati, apa iya keris hanya dengan menggores bisa membuat orang mati?
Paman saya serta banyak orang lainnya meyakini hal itu. Ini berdasarkan banyak kisah yang diceritakan turun temurun; bahwa keris nenek moyang dulu bisa mematikan lawan hanya dengan sedikit menusuk dan menggores saja.
Belakangan orang berpendapat atau menduga bahwa itu bisa terjadi karena keris diwarangi dengan cairan warangan yang mengandung arsenik. Tapi pendapat ini lemah, karena keris yang hanya diwarangi ternyata tidak bisa mematikan dengan hanya menggores atau sedikit menusuk saja.
Ini karena arsenik yang ada di warangan itu adalah racun alias poison. Sementara keris yang bisa membunuh dengan goresan itu diduga mengandung bisa atau venom.
Meski sama-sama toksin yang apabila masuk ke tubuh menyebabkan kematian karena kegagalan fungsi organ, tapi racun atau poison dan bisa atau venom itu berbeda. Racun cara kerjanya kalau dikonsumsi (dimakan atau diminum). Misalnya jamur beracun, ikan beracun, atau cairan racun. Sementara bisa atau venom ini akan bekerja saat terinjeksi ke tubuh baik tertusuk, tergigit, tergores, dan lain sebagainya. Misanya bisa pada ular, kalajengking, dan lain-lain.
Bisa atau venom dalam Bahasa Jawa disebut upas. Keris yang mengandung upas inilah yang bisa membuhuh dengan goresan.
Ternyata sejarah mencatat keris seperti ini benar-benar ada. Inilah yang membuat keris yang terlihat kecil dan ringkih bisa mematikan.
Menurut G. B. Gardner dalam buku Keris and Other Malay Weapos (1936, hal. 10), para penulis Eropa kuno menyebut keris saat itu sebagai senjata berbisa. Berdasarkan pengalaman mereka saat berinteraksi dengan orang Nusantara di masa itu. Ini berbeda dengan keris di zaman modern yang tidak ada bisanya.
Dia mengungkapkan bahwa keris awalnya kecil dan diberikan bisa dari tumbuhan. Lama-lama tumbuhan ini susah didapat, maka kemudian keris dibuat menjadi lebih besar tapi tidak mengandung bisa.
Di Melayu, lanjut Gardner, selain keris, bisa juga dibubuhkan pada senjata lainnya seperti panah.
“D’Albuquerque menceritakan kepada kita bahwa ketika menyerang Malaka dia kehilangan banyak anak buah karena panah atau senjata berbisa.”
Bisa pada keris pusaka dan senjata lainnya ini di Jawa juga diambil dari tanaman. Raffles mencatat bahwa nama tanaman itu adalah pohon upas. (2019, hal. 20). Nama itu diambil dari kata upas yang dalam Bahasa Jawa artinya bisa atau venom.
Penggunaan keris dan senjata tajam lainnya yang mengandung bisa dari pohon upas tercatat masih digunakan di zaman Susuhunan Pakubuwono III. Ini tercatat dalam manuskrip tertua dalam Bahasa Inggris tentang Jawa yaitu: The Island of Java yang ditulis John Joseph Stockdale.
Di sana Stockdale mencatat eksekusi terbuka yang dilakukan Sunan pada tahun 1776 terhadap 13 selir yang dinilai tidak setia. Eksekusi tersebut dilakukan dengan cara mengikat terpidana di tiang dan ditusuk dengan semacam pisau kecil (yang kemungkinan keris) yang mengandung upas.
“…algojo menghunus sebuah alat yang mirip dengan pisau tukang ladam kuda.
Dengan alat ini, yang telah diolesi dengan getah dari pohon upas, para terhukum ditusuk tepat di tengah-tengah dada, dan pelaksanaan hukuman ini untuk semua terbukum selesai dilakukannnya hanya dalam waktu kurang dari dua menit.
Rasa heran saya memuncak ketika saya melihat efek racun yang sangat tiba-tiba, karena sekitar lima menit setelah ditusuk, para terhukum mengalami tremor (gemetar) disertai dengan subtulus tendinum, dan setelah itu mati dalam keadaan mengenaskan sambil memohon ampunan kepada Tuhan. Menurut perhitungan alroji yang saya pegang, dalam waktu lima belas menit saja semua terhukum sudah mati.”(hal. 347-348)
Saat memeriksa jenazah, Stockdale melihat kematian cepat para terpidana ini bukan karena tusukannya melainkan karena efek bisanya. Mayat mereka menunjukkan kondisi khas seperti orang yang terinjeksi bisa.
Stockdale mencatat selain keris, bisa juga dipakai pada panah orang Jawa. Setiap pendekar atau orang yang membawa senjata tikam atau senjata lain, diolesi racun ini (hal. 351)
Bisa ini berasal dari pohon upas yang letaknya di Jawa sekitar 20 liga dari Batavia dan 14 dari Surakarta. Pepohonan ini di kelilingi perbukitan dan 10-20 mil yang di sekelilingnya tandus bahkan rumput pun tidak ada. Bahkan burung dan mahluk hidup mati karena uap dari pohon ini.
Bisa yang dipakai di senjata orang Jawa berasal dari getah pohon upas yang merembes keluar antara kulit dan kayunya. Untuk mengambilnya, raja menyuruh terpidana mati untuk melakukan pekarjaan itu. Jika berhasil mengambil dan masih hidup, makan terpidana berhak mendapat ampunan. Para terpidana biasanya mengambil dengan cara melawan arah angin, ini agar mereka tidak terpapar uap pohon upas yang juga mematikan saat terhirup. (hal. 337-338)
Bisa dari pohon upas ini ternyata bisa digunakan untuk meracuni air. Orang Belanda sering jadi korban. Maka mereka kemudian saat ke perairan membawa ikan, untuk tes apakah air yang akan diminum beracun atau tidak. (hal. 351)
Pohon ini diduga sudah punah dan jadi misteri. Ada yang menyebut pohon upas ini adalah pohon ipoh atau ipuh (Antiaris toxicaria). Ini karena getah pohon ini juga dipakai untuk memberi bisa ke anak panah.
Tapi dalam catatan Stockdale bukan itu yang dimaksud pohon upas. Getah ipoh juga dicatat Stockdale sebagai sumber bisa bagi Suku Dayak untuk senjatanya. Dia menulisnya sebagai ipo (hal. 366-367). Tapi pohon ipo atau Ipoh ini tidak disebut dia sama dengan pohon upas meskipun memiliki fungsi serupa.
Soal panah atau sumpit dari ipoh ini, pasukan Mataram sempat menjadi korban. Ini terjadi saat Mataram di era Sultan Agung menyerang Sukadana pada 6 Mei 1622. Saat itu armada Mataram berangkat dengan 100 kapal berisi 2000 prajurit yang melakukan serangan pada malam hari.
“Orang Sukdana mengalahkan mereka secara telak -diduga 300 orang tewas-dengan sumpit panah beracun. Terhadap senjata ini orang Mataram, yang hanya mempunyai keris dan tombak, tidak dapat berbuat apa-apa.” (Graff, 2020, hal. 127-128)
Meski demikian Mataram tetap memenangkan perang karena penguasa Sukadana ketakutan dengan jumlah besar pasukan Mataram. Saat pasukan Mataram masuk, kota sudah kosong tinggal ratu tua dengan 900 jiwa penduduknya. Sementara korban di pihak orang Mataram yaitu; tewas 300 dan 400 luka berat kena sumpit dan panah.
Dari catatan sejarah tersebut terbukti bahwa memang ada keris dengan bisa yang bisa menewaskan orang dengan goresan. Keris itu memiliki kemampuan itu karena diberi bisa dari getah pohon upas.
Jejak bisa pada keris sebenarnya juga masih tersisa dari nama keris pusaka. Banyak keris pusaka diberi nama atau gelar dengan kata wisa. Misal Kiai Wisa …, dan sebagainya. Wisa adalah Bahasa Jawa halus untuk upas. Kata wisa ini kemudian diserap dalam Bahasa Indonesia jadi bisa.
Pohon upas sebagai asal bisa di keris sepertinya sudah punah. Atau mungkin sengaja dibasmi atau dipunahkan karena pohon ini berbahaya bagi orang dan mahluk sekitarnya.
Hal itulah yang membuat keris dan pusaka lainnya di kemudian hari tidak mengandung upas ini. Lalu kisah bisa pada keris pusaka perlahan menjadi cerita yang seolah hanya sebuah mitos belaka, padahal nyata ada pada masanya.