Setelah sebilah keris selesai dibuat, tugas selanjutnya adalah membuatkan warangka atau menyandanginya. Demikian pula saat keris Kiai Naga Kulawarga selesai dibuat, maka selanjutnya saya harus memberinya sandangan atau busana.
Membuat sandangan keris ini kerap kali lebih rumit dari membuat kerisnya. Kali ini saya pun mengalaminya. Warangka dan printilan lainnya yang jauh hari saya siapkan, ternyata meleset semua.
Warangka misalnya, sudah saya siapkan Gayaman Surakarta dari Kayu Gaharu. Gaharu ini istimewa karena motif seratnya seperti pelet ngigrim tidak seperti motif Gaharu pada umumnya.
Saya suka sekali dengan warangka yang sudah saya simpan lebih dari lima tahun ini. Pikir saya ini saatnya dia jadi busana pusaka saya. Tapi ternyata meleset.
Saat disetel, ternyata warangka ini tidak cocok dengan lengkungan ganja keris yang terlalu ekstrim (menyesuaikan bada naga). Jadi saat keris masuk, ganjanya nongol banyak dan kurang enak dilihat.
Maka mau tak mau harus membuat warangka khusus yang bisa menutupi ganjanya. Karena kalau pakai warangka Surakarta normal tidak bisa.
Ini agak lumayan bikin pusing. Karena kalau mau dibuat warangka menutup ganja ala Yogyakarta, juga kurang pas di warangka Surakarta. Maka harus buat warangka Surakarta yang menutup ganja, tapi beda dengan gaya Yogyakarta.
Solusinya adalah mengadopsi gaya Bali. Kebetulan saat itu saya baru selesai membaca buku soal keris Bali dan urangka (warangka) Bali untuk ganja bergelombang dibuat mengikuti lekuk ganja. Bedanya dengan Yogyakarta, kalau Yogyakarta yang mengikuti lekuk ganja punggung warangka, tapi garis warangka tetap lurus. Sementara kalau Bali, garis warangka mengikuti lekuk ganja.
Ini lebih rumit karena harus dibuat dengan dicocokkan ke kerisnya. Sementara kalau Yogyakarta bisa disiapkan warangka buat ganja bergelombang (dilebihin di bagian punggung) dan bisa distel dengan kerisnya belakangan. Kalau model Bali tidak bisa, harus dibuat dipola dari kerisnya karena garis warangka harus pas mengikuti ganja.
Tambah rumit lagi karena kalau buat warangka artinya harus cari bahan bagus. Sementara bahan bagus tidak selalu tersedia. Beda dengan bahan untuk membuat keris yang selalu tersedia.
Untungnya masih ada sisa kayu Cendana Jawa dengan motif nginden di Mas Sutopo. Walau motifnya tidak seperti bahan sebelumnya yang saya buat jadi warangka PA, yang nganam kepang.
Lalu saya minta Mas Topo membuat warangka seperti kemauan saya. Awalnya bingung menjelaskan karena ini warangka tidak umum. Untungnya lagi Mas Agung Sunarno pernah membuat warangka serupa, jadi fotonya bisa saya jadikan contoh. Ditambah contoh foto Warangka Gegodohan Bali untuk ganja wilut sebagai referensi bagaimana bentuk garis warangka yang mengikuti ganjanya.
Alhamdulillah Mas Sutopo bisa mengeksekusi dengan baik. Dia sampai bikin tiga buah sekaligus dan yang terbaik yang diberikan pada saya, karena yang dua kurang bersih motifnya.
Ditambah satu warangka Gaharu yang jadi korban, maka keris ini sudah dibuatkan warangka empat buah. Saat saya bilang ini ke Mas Krisna yang membuat keris, dia bilang wajar empat warangka, kan naga di kerisnya juga ada empat. Wah bener juga ya hahaha.
Maka lahirlah warangka kombinasi Solo dan Bali ini. Tapi saat membahas di facebook, ternyata Mas Puji Hartono punya keris tua berwarangka Surakarta dengan garis warangkanya mengikuti lekuk ganja. Dari foto yang diupload terlihat meski lekuknya samar tapi terlihat lekuk warangka mengikuti ganja wilutnya.
Apakah itu pakem lama Surakarta yang ditinggalkan? Saya tidak tahu, walau banyak yang mengatakan bukan.
Tapi model begini yang menurut saya paling pas untuk keris Naga Kulawarga saya yang lekuk ganjanya ekstrim. Ya kalau bukan pakem anggap saja ini kreasi baru. Toh ini Keris Kamardikan yang artinya selain dibuat di era pasca Kemerdekaan, juga berarti merdeka dalam berkreasi.
Setelah jadi warangka ini lalu saya dilengkapi dengan pendok bunton templek bahan perak. Motif atau ukiranya senada dengan kerisnya yaitu motif Naga Kulawarga. Belakangnya juga diukir dengan motif nam kepang dengan logo saya (logo huruf D yang terbentuk dari tulisan arab Dian).
Pendok ini dikerjakan dengan baik oleh Pak Suroso. Hasilnya sesuai harapan. Detail dan ndudut ati.
Untuk hulunya, saya pakai jejeran Surakarta Putri Kinurung. Ini hulu buatan Madura, karya Almarhum Mas Didik. Hulu ini sudah lama sekali saya simpan. Setelah bertahun-tahun akhirnya hulu kesayangan saya menemukan jodohnya.
Kembali ke warangka, agar nyawit dengan jejeran dan pendok perak, maka warangka Cendana Jawa itu tidak diplitur atau diserlak. Cukup diamplas halus dan difinishing dengan beeswax.
Agar pas dan trep, saya kemudian membuat mendak Solo dengan ukuran disesuaikan ukuran lingkar bawah jejerannya. Mendak perak dengan mata intan besar-besar kemudian menjadi pilihan dan dikerjakan dengan baik oleh Mas Danny.
Ternyata masih ada tantangan berikutnya. Karena kayu warangkanya masih basah, maka saat warangka dibuatkan pendok, kayu menyusut sehingga lubang bilah atau leng-lengan mengecil atau mingkup. Maka dapat PR lagi untuk nyetel ulang.
Akhirnya setelah semua itu, tepat di Hari Jumat yang baik warangka atau busana keris saya selesai dikerjakan. Hasilnya seperti yang terlihat di foto. Alhamdulillah sesuai harapan.
Meski hanya busana kelas runner up, (Karena hanya perak. Kalau busana kelas juara yang pake emas pendok dan mendaknya) tapi itu adalah upaya maksimal semampu saya. Tak sedikit biaya, tenaga, waktu, dan kesabaran yang saya curahkan.
Busana keris harus diupayakan baik. Sebab seperti kata leluhur: “ajining rogo soko busono”, berharganya raga karena busana yang dikenakannya. Maka untuk pusaka kita pun perlu memberikan busana terbaik semampu kita, agar berharga dan menunjukkan bahwa kita menghargainya.
Ingat, keris itu bukan cuma bilahnya saja. Keris itu kesatuan bilah dan warangka atau busananya.
Demikian cerita soal busana Naga Kulawarga. Semoga ada manfaatnya, utamanya bagi yang mau membuat warangka serupa.