Curiga dalam Sutasoma

Salah satu karya sastra Jawa kuna yang bertahan melintasi waktu dari Zaman Majapahit hingga saat ini adalah Kakawin Sutasoma. Karya Mpu Tantular ini juga banyak dikenal karena sumber motto atau semboyan Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan anak SD pun tahu soal itu. 

Meskipun mungkin tidak banyak yang tahu di bagian mana semboyan itu ada di Kakawin Sutasoma. Karena orang yang pernah membaca isi kakawin tersebut, tidak sebanyak yang tahu judulnya dan nama pengarangnya.

Orang hanya sekadar tahu dan menghafal bahwa kakawin yang digubah di masa Prabu Hayam Wuruk atau zaman keemasan Majapahit itu, sebagai sumber semboyan berbeda-beda tapi satu jua itu tadi. Sementara isinya soal apa, tak banyak yang tahu, kecuali sedikit orang yang belajar sastra Jawa atau sejarah.

Maka melalui tulisan ini, izikan saya berbagi garis besar isi kakawin tersebut dan di bagian mana Bhinneka Tunggal Ika diambil. 

Jadi Kakawin Sutasoma ini berisi cerita tentang Pangeran Sutasoma anak Raja Hastinapura. Karya sastra gubahan Mpu Tantular ini dinilai unik karena bernafaskan Buddha. 

Kakawin ini juga mengajarkan toleransi atau sinkretisme Hindu-Siwa dengan Buddha. Karena di zaman kakawan ini digubah (antara tahun 1365 sampai 1389), Majapahit memang memegang kepercayaan campuran dua agama itu yang jadi Siwa-Buddha.

Frasa Bhinneka Tunggal Ika, diambil dari bagian soal toleransi ini. Makanya kalimat itu dianggap cocok jadi semboyan Indonesia yang beragam tapi bersatu dalam satu kesatuan.

Hal itu ada di dalam Kakawin Sutasoma Pupuh CXXXIX: 

5. Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa, bhineki rakwa ring apan kena parwanosen, mangkang Jinatwq kalawan Siwatatwa tunggal, bhineka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa.

5. Konon dikatakan bahwa wujud Buddha dan Siwa itu berbeda, mereka memang berbeda namun bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang, karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua, mereka memang berbeda-beda namun pada hakikatnya sama karena tidak ada kebenaran yang mendua.

(Mpu Tantular, 2019, Kakawin Sutasoma. Jakarta: Komunitas Bambu, hal. 504 – 505)

Selain soal Bhinneka Tunggal Ika, ada hal lain yang menarik dalam Sutasoma terutama terkait keris. Karena di dalam kakawin itu, terekam fungsi keris sebagai kelengkapan pria Jawa yang masih lestari hingga hari ini.

Untuk diketahui, dalam tradisi Jawa seorang pria dewasa baru lengkap sebagai pria jika memiliki beberapa hal berikut: wisma (rumah atau tempat tinggal), turangga (kuda atau kendaraan), kukila (burung atau hobi), wanita (istri), dan curiga (keris). Meski pria punya semua termasuk pasangan, dia belum lengkap sebelum memiliki keris. (Lihat proposal pencalonan kerie ke UNESCO hal. 17)

Tradisi tersebut banyak yang mengira baru ada di era Jawa baru. Seperti era Mataram dan setelahnya. 

Namun ternyata tradisi pria Jawa wajib memiliki keris, atau pentingnya keris sebagai pelengkap pria Jawa sudah ada di Era Majapahit. Bahkan mungkin juga sebelum-sebelumnya juga.

Buktinya dalam Kakawin Sutasoma, keris termasuk yang disebut di samping kelengkapan lainnya. Hal ini ada di Pupuh IV :

3. Tekwan rakwa kiteki manggala wisesamumpuni stryahajong, ratna mwang maniraja paksi curiga ndan sing lewih ring jagat, manggeh drwya ni sang narendra karuhun tang jiwa ning rat kabeh, yapwan langghyanawada danda niyata ngwwang yan prasangghe kita.

3. Kamu sungguh memerlukan seorang permaisuri yang cantik. Permata yang indah, burung-burung, keris-keris, semua yang utama di dunia, akan menjadi milikmu dan di atas semua itu kesetiaan para abdi calon permaisurimu kepadamu. Namun, jika mereka tidak mematuhi kata-kataku, atau jika mereka menengang kehendakmu, aku akan menghukum mereka.

(Tantular, 2019, hal. 14 – 15)

Di sana keris disebut curiga. Karena curiga memang merupakan sebutan keris pada Bahasa Jawa Kuna (Lihat Kamus Jawa Kuna-Indonesia Zoetmulder & Robson, 2011, hal.182). Sebagaimana diketahui, Kakawin Sutasoma sendiri memang ditulis dalam Bahasa Jawa Kuna.

Kalau dibandingkan antara kelengpakan pria Jawa yaitu: wisma, turangga, kukila, wanita, dan curiga, dengan yang versi di Kakawin Sutasoma, ada yang masih sama yaitu keris, burung dan wanita. Namun yang masih konsisten sebutannya hanya curiga untuk keris. 

Sampai sekarang pun terkait tradisi kelengkapan pria Jawa ini, keris juga tetap disebut curiga. Meski saat ini juga ada sebutan lain untuk keris dalam Bahas Jawa yaitu: keris, wangkingan, juga dhuwung.

Memang keris atau curiga tidak banyak dibahas di dalam Kakawin Sutasoma. Tetapi curiga dalam Sutasoma ini telah mengingatkan kita semua, khususnya Orang Jawa, bahwa belum lengkap seorang pria jika belum memiliki keris.

Jadi bagaimana? Sudah punya keris, belum?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *