Ini adalah tulisan lama saya, yang saya tulis sewaktu masih menjadi mahasiswa Fakultas Filsafat UGM. Tulisan ini saya posting hari ini untuk menghormati Prof Damardjati Supadjar yang berpulang kemarin dan dimakamkan hari ini. Selamat jalan Pak Damar.
________________
Bagi kita yang sempat berinteraksi dengan Damardjati Supadjar, baik sebagai mahasiswa, kolega, atau pun pendengar setia ceramah, atau pembaca buku yang ditulis beliau, Pak Damardjati adalah sosok yang istimewa. Pak Padjar begitu para dosen biasa menyebut beliau, atau Pak Damar begitu mahasiswa biasa memanggil beliau adalah seorang yang sangat terkenal, bukan hanya di lingkungan Fakultas Filsafat dan UGM saja, tetapi juga di luar, di kalangan masyarakat luas khususnya di Yogyakarta.
Saat penulis ditanya oleh seseorang di mana penulis kuliah, dan saat penulis menjawabnya di Fakultas Filsafat UGM, orang tersebut lantas berujar: “wah.. kamu pasti muridnya Pak Damardjati ya”. Dari sana tampak kesan yang kuat sekali bahwa Fakultas Filsafat dan Pak Damardjati adalah dua hal yang saling terkait satu sama lain, kalau disebut satu teringat pada yang lainnya. Pak Damar yang dikenal kalangan umum sebagai penasehat Sri Sultan, sebenarnya juga figur yang cukup santun, bahkan pada para mahasiswanya. Ia tak akan segan-segan tersenyum ramah dan bersikap santun yang khas beliau saat berpapasan, atau melewati mahasiswa yang kebetulan duduk di pinggir jalan yang beliau lewati, walaupun kadang mahasiswa tersebut cuek dan tak acuh pada beliau, tetapi beliau tetap santun.
Persinggungan atau interaksi resmi yang dialami penulis dengan Pak Damardjati adalah saat mengikuti matakuliah Filsafat Pancasila II, pada saat itu beliau adalah dosen atau pengampu mata kuliah tersebut. Di Fakultas Filsafat UGM, mengampu mata kuliah Pancasila atau Filsafat Pancasila adalah sebuah tugas yang tidak mudah, kalau tidak mau dikatakan sangat berat. Hal tersebut disebabkan oleh prasangka yang telah tertancap kuat di benak masing-masing mahasiswa berupa imej buruk Pancasila sebelum mereka mengikuti mata kuliah tersebut. Bahkan sebelum kuliah pun mahasiswa sudah merasa dan berpikir bahwa kuliah ini tidak penting, pembodohan, pro Orde Baru, pemaksaan ideologi, dan lain sebagainya. Hal tersebut menurut penulis adalah sebuah sindrom Pancasila Phobia[1], oleh karena itu, alih-alih mahasiswa mau serius mengkaji Pancasila dengan sungguh-sungguh dengan pisau analisis filsafat, ia justru malas dan terus-terusan menanyakan dan mengkritik Pancasila dan perkuliahannya itu, baik di depan maupun di belakang dosen.
Sikap mahasiswa yang Pancasila Phobia tersebut juga bukan tanpa sebab, ini adalah penyakit yang tumbuh diakibatkan oleh ulah penguasa Orde Baru yang menanamkan ideologi Pancasila secara salah, misalnya dengan memanipulasi sejarah tentang Pancasila, mengklaim diri sebagai orde yang paling Pancasilais sambil menindas rakyat, penataran yang melelahkan dan menghabiskan banyak dana, melarang dan merepresi pandangan atau pemikiran lain yang dianggap bertentangan dan membehayakan Pancasila dan lain sebagainya, yang pada akhirnya membuat Pancasila dibenci sebagaimana mereka membenci Orde Baru.
Kuliah yang Cerah dan Mencerahkan
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Setidaknya itulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan kiprah Pak Damardjati dalam mengajar Filsafat Pancasila. Pancasila di tangan Pak Damardjati tidak lagi menjadi sesuatu yang misterius dan membosankan sebagaimana yang selama ini dirasakan oleh mahasiswa. Kuliah yang diampu beliau selalu menjadi kuliah yang cerah, menarik dan tidak membosankan. Banyak metode mengajar yang menarik beliau terapkan, dan itu tidak pernah dilakukan oleh para dosen lain.
Dalam kuliah beliau, jarang sekali Pancasila digembar-gemborkan dan dipuja seperti di kuliah Pancasila yang lain yang lebih kental unsur pembelaan berlebihan atas Pancasila dan pemancangan ideologinya. Di sini Pancasila diposisikan sebagai genetivus objektivus.[2] Dalam kuliahnya beliau banyak menerapkan pemikiran filsafat yang khas pemikiran beliau sendiri, seperti metode gotak-gatuk matuk-nya, mencari paralel antara pengetahuan Barat, Timur, Islam, dan Nusantara (khususnya Jawa). Hal itu mengingatkan penulis kepada tokoh idola penulis yaitu Fritjof Capra[3] yang suka membuat paralel pemikiran Timur dan Barat. Ternyata beliau juga pengagum Capra dan selalu menganjurkan mahasiswanya untuk membaca karya Capra, penulis juga pernah berbincang tentang Capra dengan beliau dan beliau mengaku belum punya beberapa buku Capra yang sudah terbit, beliu mengaku jarang dan enggan ke toko buku karena sekali ke sana biasanya langsung ingin beli banyak sekali buku.
Secara garis besar pemikiran Damardjati Supadjar bisa dikatakan dijiwai oleh empat pemikiran besar yaitu Filsafat Jawa, Filsafat Timur, Filsafat Barat, dan Filsafat serta teologi Islam. hal itu bisa dilihat dan tampak jelas pada perkuliahan, ceramah, maupun karya tulis beliau seperti Nawangsari,[4] dan lain sebagainya. Maka wajar saja jika dalam setiap kuliah beliau akan selalu kita dapati unsur Islam yang kental, yang digatuk-kan dengan Filsafat Jawa, Filsafat Timur dan tak ketinggalan Filsafat Barat. Pak Damar juga juga sering menelurkan tafsiran agama Islam yang masuk akal tetapi “tak lazim” ala beliau sendiri. Misalnya tentang jihad, beliau mengatakan bahwa jihad itu mengubah sadar nar menjadi sadar nur, maka tanpa usaha yang sungguh-sungguh hal itu mustahil dilaksanakan.
Contoh lainnya yaitu, beliau pernah mengatakan bahwa Neraka itu tidak ada, Neraka menurut beliau adalah Surga yang tertutupi oleh perbuatan buruk atau jahat kita,[5] beliau menambahkan bahwa api Neraka itu dibawa oleh manusia itu sendiri, karena tidak ada api yang telanjang atau berdiri sendiri tanpa bahan bakar, api menurut beliau adalah potensi. Beliau juga pernah mengatakan bahwa jika rasa memiliki kita sama dengan nol, maka dibagi berapa pun hasilnya tak terhingga, artinya orang yang tidak posesif punya atau tidak punya tidak masalah bagi dia, ia akan sabar di saat sempit dan syukur di saat lapang. Beliau juga mengajarkan kita untuk berani hidup bukan berani mati, sebab mati itu gampang dan menjalani hidup lah yang sulit, artinya kita jangan lari dari persoalan hidup kita. Filsafat menurut beliau adalah ilmu tentang hidup. Selain itu beliau juga mengajarkan transformasi diri dari komunitas semut ke komunitas lebah, menurut beliau di dalam Al Quran ada cerminan tiga komunitas yang juga nama surat yaitu: komunitas laba-laba (Al Ankabut), komunitas Semut (An Naml) dan komunitas Lebah (An Nahl). Selain itu semua masih banyak lagi ajaran kefilsafatan dari beliau yang layak kita camkan baik-baik.
Kembali ke masalah Pancasila, dalam perkuliahannya Pak Damar menganjurkan mahasiswa untuk membaca bukunya Pak Notonagoro sang pendiri Fakultas Filsafat UGM. Tak jarang pertanyaan beliau untuk mahasiswanya hanya bisa terjawab jika mereka membaca buku tersebut. Misalnya beliau sering meminta mahasiswa untuk membandingkan konsep keadilan Pancasila dengan teori keadilan Aristotelian yang ada di dalam buku tersebut.[6] Tampaknya konsepsi Pak Damardjati tentang Pancasila juga banyak terinspirasi oleh Pak Notonagoro.
Pemikiran lainnya yang diajarkan oleh Pak Damardjati adalah tafsirannya mengenai pembukaan UUD 1945. Beliau menafsirkan alinea I sebagai ordo cognosendi, alinea II sebagai ordo vivendi, alinea III sebagai ordo essendi, dan alinea IV sebagai ordo agendi, yang menurut Pak Damar ditambahkan oleh Arthur Schopenhauer dari tiga ordo sebelumnya. Itulah contoh penafsiran Pancasila oleh Pak Damardjati dengan memakai pemikiran Filsafat Barat. Masih banyak lagi pemikiran lain dari Pak Damardjati yang seperti itu, yang beliau ajarkan kepada para mahasiswanya sehingga menjadi tercerahkan dan memahami Pancasila secara lebih baik lagi.
Pak Damar selalu memberikan pertanyaan yang filosofis di setiap akan mengakhiri kuliahnya, beliau juga memberikan tugas yang bisa meningkatkan kemampuan dan wacana mahasiswa seperti mencari tiga kata berjenjang,[7] membaca tulisan penting, dan membuat karangan di media massa tentang Pancasila. Beliau jarang memberi nilai jelek kepada mahasiswanya jika mengikuti perkuliahan dengan baik, kecuali jika mahasiswa tersebut jarang nongol alias tukang bolos, dan tak pernah mengerjakan tugas dari beliau. Kebanyakan nilai yang beliau berikan adalah B, sedikit yang C, dan sangat sedikit yang A. Nilai A adalah nilai istimewa yang hanya diberikan beliau kepada mahsiswa yang tulisannya tentang Pancasila dimuat di media massa, atau paling tidak yang tidak dimuat tetapi bagus.[8] Hal yang dilakukan beliau tersebut sangat wajar dan baik sekali sebab jika seorang bisa menulis tentang Pancasila dengan baik, maka ia sudah tentu ia menguasai pengetahuan tentang Pancasila dengan baik pula. Jadi sah-sah saja jika mahasiswa yang menulis tentang Pancasila dengan baik mendapat nilai A dari beliau. Hal tersebut sejalan dengan pepatah latin yang selalu beliau ajarkan dan pesankan pada setiap mahasiswanya yaitu: non scholae sed vitae discimus yang artinya tidak di sekolah kita terpelajar tetapi di arena kehidupan.
Mutiara kebijaksanaan tentang belajar yang pernah beliau ajarkan di saat kuliah adalah repetitio est mater studiorum (pengulangan adalah inti dari studi). Sebuah semboyan kaum Scholastici yang beliau jabarkan menjadi tiga poin yaitu: pertama ulang-ulangilah belajarnya, agar dapat induk pelajaran, kedua dalam peristiwa yang setiap kali berulang kembali pasti terdapat pokok-pokok pelajaran, dan ketiga jangan sekali-kali mengulang kesalahan yang sama.[9] Itulah sedikit yang dapat diungkapkan dari sebagian besar hikmah yang penulis dapatkan dari kuliah beliau yang merupakan sebuah kuliah yang cerah dan mencerahkan. Maka tidak salah jika penulis sampai dua kali mengikuti kuliah beliau, bukan karena tidak lulus atau mengulang tetapi sekedar untuk mendengar ceramah beliau yang penuh humor dan hikmah serta agar mendapat lebih banyak lagi ilmu dari beliau.
Konsep Pancasila Belum Lahir
Dalam memandang Pancasila, Pak Damardjati mempunyai sebuah konsep atau pendapat yang cukup menarik, ia berpendapat bahwa “Pancasila belum lahir”. Pendapat ini akan terasa begitu janggal dan aneh bagi orang yang mendengarnya, tetapi hal itu tidak berlaku bagi para murid dan orang yang mengerti betul pemikiran beliau. Mereka yang tidak memahami pemikiran Pak Damardjati akan mengatakan pendapat tersebut salah besar, karena mereka dan kebanyakan orang, berpendapat bahwa Pancasila sudah lahir pada 1 Juni 1945 ketika Bung Karno berpidato tanpa teks tentang dasar negara yang dikemudian hari kita kenal dengan Pancasila.[10]
Kali ini pendapat orang-orang tersebutlah yang salah. Karena lahir yang dimaksud Pak Damardjati bukanlah lahir seperti halnya lahirnya seorang bayi ke dunia dari rahim ibunya, yang dimaksud Pak Damardjati adalah lahir sebagai kebalikan dari batin. Konsep ini dijabarkan oleh beliau sebagai berikut:
“Anda lahir dari mana? Kalau jawabannya: “Dari Kediri”, maka yang demikian itu tepat untuk pertanyaan “Anda lahir di mana?” (Di Kediri). Kalau anda menjawab: “Dari rahim ibu”, maka anda berdisiplin ilmu kedokteran. Bagaimana kalau pertanyaan tadi dibingkai secara filsafati atau ushuluddin? Jawaban atas pertanyaan seperti itu sungguh aneh di mata mereka yang salah kaprah, justru karena jawabannya adalah “kita lahir dari BATIN”. Bahwa Bung Karno pada tanggal 1-6-1945 itu mengusulkan Pancasila sebagai dasar Filsafat Negara, itu kita akui semua; bahwa pidato beliau sebagai jawaban agenda rapat perihal “dasar negara”, dan yang bagi beliau dasar negara itu haruslah suatu Filsafat, itupun kita akui dan kita benarkan. Bahwa pidato beliau 1-6-45 itu tanpa teks dan tanpa judul itupun kita iakan. Bahwa beberapa saat kemudian pidato lisan beliau itu dicetak dan bukunya diberi judul “Lahirnya Pancasila” itu tidak berarti bahwa Pancasila itu LAHIR pada 1-6-45, atas dasar alasan bahwa Yang Ilahi sebagai Yang BATINI (Sila I) itu harus DILAHIRKAN sebagai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”[11]
Dari ungkapan Pak Damardjati yang selalu diajarkan beliau dalam kuliahnya tersebut, bisa kita simpulkan bahwa beliau menggunakan konsep lahir itu dalam bingkai filsafat. Maka akan sulit bagi kita untuk memahami pemikiran beliau itu jika kita tidak terbiasa berpikir kefilsafatan, seperti yang sering beliau tekankan dan pesankan.
Konsep lahir-batin tersebut sejalan dengan konsep potensial-aktual dalam filsafat proses A. N. Whitehead[12], dan kemungkinan besar beliau terinspirasi oleh Whitehead mengingat filsuf tersebut diangkat pemikirannya oleh beliau sebagai disertasi doktoralnya.[13] Maka seperti yang beliau jelaskan Pancasila itu harus lahir dari batin Ketuhanan yang Maha Esa (Sila I) dalam wujud Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Sila V). Jadi kalau keadilan sosial belum terwujud, dengan kata lain masih ada ketimpangan, penindasan, penggusuran, dan lain sebagainya, Pancasila bisa dikatakan belum lahir atau masih dalam batin. Pancasila masih berada dalam sebuah dunia potensial sebagai sebuah ide besar yang akan semakin sulit ditangkap maknanya dan menjadi usang seiring berjalannya waktu.
Memang dari sini Pak Damardjati seolah menekankan pentingnya sila yang terakhir (Sila V) tersebut. Hal ini juga sangat tepat dan beralasan, keadilan selama ini memang selalu menjadi tema sentral sebuah ideologi. Keadilan juga merupakan sebuah prasyarat mutlak kehidupan bersama di dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejalan dengan sabda Nabi Besar Muhammad SAW, bahwa sebuah pemerintahan bisa tetap berdiri walaupun tidak beriman, tetapi akan hancur bila tidak adil. Dan hal itu telah terbukti di dalam catatan sejarah. Maka tak aneh kiranya bila banyak sekali konsep-konsep Mesianisme seperti ratu adil yang mewarnai peradaban seiring bergulirnya waktu.
Pemikiran Pancasila Damardjati Supadjar tersebut jelas memperkaya dan memberikan sumbangan yang besar bagi pemahaman mengenai Pancasila, dan bisa merintis jalan ke arah pelurusan kesalah pahaman tentang Pancasila apalagi pemikiran beliau dilandasi oleh pemikiran filsafati yang terbukti mampu menjernihkan masalah. Selanjutnya yang harus kita laksanakan adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia agar Pancasila bisa lahir.
Ini Bukan, Itu Bukan, yang Bukan-bukan Juga Bukan
Salah satu yang disyaratkan Pak Damardjati untuk mengikuti kuliah Filsafat Pancasila yang diampunya adalah menghilangkan prasangka jelek yang ada di kepala tentang Pancasila. Kalau ada yang mengatakan Pancasila “ini” beliau akan mengatakan bukan, lalu bagaimana dengan “itu”, itu juga bukan, lantas kalau begitu Pancasila itu yang bukan-bukan, yang bukan-bukan juga bukan. Itulah yang sering dikatakan Pak Damardjati di dalam kuliahnya tentang Pancasila.
Hal tersebut sebenarnya adalah analogi yang digunakan Pak Damardjati untuk menggambarkan sikapnya terhadap pendapat yang ingin menyamakan Pancasila dengan budaya, atau dengan agama. Beliau sering mengatakan benar bahwa Pancasila digali dari budaya kita, tetapi Pancasila bukan budaya. Hal yang sama juga berlaku bagi agama. Jadi kalau ada yang mengatakan Pancasila sama dengan budaya itu salah, dan Pancasila sama dengan agama juga salah, begitu pula yang berlaku antara agama dan budaya. Lantas yang betul bagaimana? Pancasila tidak sama dengan keduanya tetapi ada titik temu atau titik singung di antara ketiganya.
Dari sana maka akan salah jika kita membandingkan Pancasila dengan agama Islam misalnya, Islam tidak bisa dibandingkan (tidak komparabel) dengan Pancasila, Islam komparabel dengan agama lainnya misalnya dengan Kristen atau Hindu. Begitu pula dengan budaya Jawa atau Kejawen tidak komparabel dengan Pancasila, Kejawen komparabel dengan Keminangkabauan atau kebudayaan lainnya. Hal inilah yang yang menjadi salah satu faktor yang membuat kita salah paham tentang Pancasila, kita tidak mau berpancasila karena takut musyrik atau melanggar ketauhidan, seperti yang dipahami beberapa kalangan Islam yang berpikirnya teramat sempit (yang juga sering membandingkan Kejawen dengan Islam, padahal seperti yang telah dijelaskan di atas keduanya tidak komparabel). Juga ada yang menganggap Pancasila itu identik dengan budaya Jawa, itu juga salah. Hal seperti inilah yang ingin diluruskan Pak Damardjati dalam kuliah beliau tentang Pancasila yang kebetulan penulis juga mengikutinya.
Itulah sekilas tentang pemikiran Pak Damardjati Supadjar tentang Pancasila yang coba penulis baca sebagaimana yang beliau sering katakan kita harus membaca segala sesuatu dalam kehidupan ini. Mungkin cara baca penulis terlalu sempit bahkan salah, maklum penulis hanyalah mahasiswa biasa yang penuh keterbatasan dan masih harus banyak belajar dan belajar lagi. Pak Damardjati bagi penulis adalah seorang guru yang akan selalu menjadi inspirasi dalam menjalani kehidupan, karena warisan mutiara kebijaksanaannya. Oleh karenanya penulis ikut bergembira dengan sangat saat beliau dinobatkan sebagai Profesor, dan penulis juga sangat berduka saat beliau diberi cobaan Allah dengan kehilangan putrinya tercinta ketika beliau hendak menunaikan rukun Islam kelima, beribadah haji di Tanah Suci Makkah. Pada saat itu beliau masih mengampu di kelas tempat penulis belajar.
Akhir kata semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan rahmatnya kepada Pak Damardjati Supadjar agar bisa terus berkarya dan mengabdi pada masyarakat, bangsa, serta agamanya. Pengabdian beliau selama ini pun sangat berarti dan tidaklah sia-sia karena meninggalkan kesan yang baik di hati sanubari kami semua para muridnya .dan semoga ilmu yang beliau ajarkan menjadi ilmu yang manfaat yang akan terus tumbuh buah pahalanya sampai akhir masa, Amien.
[1] istilah tersebut adalah istilah yang saya buat sendiri untuk menamai ketakutan dan anti yang tidak jelas terhadap Pancasila.
[2] Pancasila dipandang sebagai objak kajian di mana pendekatan filsafat diPakai untuk menjadi pisau analisis, kebalikannya adalah genetivus subjektivus.
[3] Fritjof Capra adalah seorang fisikawan dan filsuf yang terkenal dengan karyanya TheTao of Physics yang merumuskan parallel antara fisika modern dengan mistisisme Timur dan juga terkenal sebagai pemikir Holisme yang menentang paradigma Cartesian-Newtonian.
[4] Lihat Damardjati supadjar.1993. Nawangsari: Butir-butir Renungan Agama, Spiritualitas, Budaya. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
[5] beliau menggunakan argumentasi ontologi: “ada” lawannya “tidak ada”, Neraka lawannya Surga, jadi kalau Surga itu ada maka lawan surga atau Neraka itu tidak ada. Untuk argumen Surga adalah Neraka yang tertutupi perbuatan buruk kita, beliau memakai analogi siang-malam, di mana sebenarnya malam adalah bagian Bumi yang tertutupi bagian bumi lainnya dari sinar matahari, sehingga gelap dan disebut malam.
[6] Lihat Notonagoro. 1995. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Bumi Aksara.
[7] Tiga kata berjenjang tersebut seperti: asah-asih-asuh, vini-vidi-vici, kognitif-afektif-psikomotorik, liberte-egalite-fraternite, dan lain sebagainya.
[8] Penulis adalah salah satu dari sedikit mahasiswa yang mendapat nilai A dari beliau setelah menyerahkan tulisan yang berjudul Nasib (Pendidikan) Pancasila Kita.
[9] Lihat Damardjati Supadjar. 2003. “Membaca Ulang: Keberadaan dan Kebersamaan Kita Sebagai Bangsa yang Bernegara”. Prawacana dalam Listiyono Santoso, dkk. 2003. (de) Konstruksi Ideologi Negara: Suatu Upaya Membaca Ulang Pancasila. Hal. III-V. Yogyakarta: ning-Rat. Hal. III.
[10] Pidato Bung Karno tersebut kini telah dibukukan dengan judul Lahirnya Pancasila judul tersebut yang kemudian membuat kita menganggap Pancasila lahir pada saat itu (1 Juni 1945).
[11] Damardjati Supadjar.2003. “Membaca Ulang: Keberadaan dan Kebersamaan Kita Sebagai Bangsa yang Bernegara”. Prawacana dalam Listiyono Santoso, dkk. 2003. (de) Konstruksi Ideologi Negara: Suatu Upaya Membaca Ulang Pancasila. Hal. III-V. Yogyakarta: ning-Rat. Hal.IV-V.
[12] Beliau sering menyebut filsafat proses Whitehead sebagai filsafat gotong royong.
[13] Disertasi tersebut telah diterbitkan sebagai buku, lihat Damardjati Supadjar. 2000. Filsafat Ketuhanan: Menurut Alfred North Whitehead. Yogyakarta: fajar Pustaka Baru.
DAFTAR PUSTAKA
Notonagoro. 1995. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Bumi Aksara.
Santoso, Listiyono, dkk. 2003. (de) Konstruksi Ideologi Negara: Suatu Upaya Membaca Ulang Pancasila. Yogyakarta: ning-Rat.
Supadjar, Damardjati.1993. Nawangsari: Butir-butir Renungan Agama, Spiritualitas, Budaya. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
__________. 2000. Filsafat Ketuhanan: Menurut Alfred North Whitehead. Yogyakarta: fajar Pustaka Baru.
__________. 2003. “Membaca Ulang: Keberadaan dan Kebersamaan Kita Sebagai Bangsa yang Bernegara”. Prawacana dalam Listiyono Santoso, dkk. 2003. (de) Konstruksi Ideologi Negara: Suatu Upaya Membaca Ulang Pancasila. Hal. III-V. Yogyakarta: ning-Rat.