Satu hal yang menarik perhatian saya di Piala Dunia Afrika Selatan (Afsel) 2010 kali ini adalah hadirnya dua tim dari negara Semenanjung Korea. Kali ini tak hanya Korea Selatan (Korsel) saja yang berlaga di pesta bola se dunia itu, tetangganya Korea Utara (Korut) juga ikut ambil bagian.
Kehadiran dua tim dari Semenanjung Korea ini jelas menarik perhatian. Sebab dua negara ini adalah negara yang bertetangga sekaligus berseteru. Mereka berseteru setelah dipisahkan oleh ideologi yang berbeda. Korea Utara berkiblat pada komunis dan Korea Selatan kepada barat. Mereka juga sempat terlibat perang hebat yaitu Perang Korea 1950-1953.
Sampai saat ini pun kedua negara saling siaga di perbatasan menghadapi kemungkinan perang. Hubungan ke duanya pun terus diliputi ketegangan. Satu bulan sebelum pesta Piala Dunia dihelat, tensi hubungan dua negara Korea ini meninggi. Ini dipicu dengan insiden penembakan kapal patroli Korsel yang diduga dilakukan dengan torpedo dari kapal selam Korut yang menewaskan 46 pelaut Korsel.
Lalu bagaimana dua negara Korea ini di Piala Dunia? Mereka menjadi fenomena. Korsel membuka pamer taji negara ginseng dengan menekuk Yunani dengan skor telak 2-0 di Stadion Nelson Mandela Bay. Kemanangan Korsel ini dinilai sebagai pembuktian bahwa wakil Asia tak bisa diremehkan.
Korsel memang sudah berpengalaman di kancah bola internasional. Pada Piala Dunia 2002, Korsel menjadi tuan rumah bersama Jepang. Bahkan tim ini berhasil mempecundangi Italia dan masuk ke semi final. Sebuah prestasi yang belum pernah dilakukan tim dari negara Asia.
Meski tak sehebat prestasi Korsel, Korut juga tak kalah fenomenal dalam Piala Dunia kali ini. Dalam laga melawan tim kuat Brazil, Korut membuaktikan mereka adalah kuda hitam dan layak diperhitungkan. Tim yang peringkatnya di 105 dunia ini hanya kalah tipis 2-1 dari Brazil yang peringkatnya nomor wahid. Siapa sangka gawang Brazil bisa dijebol oleh anak asuh Kim Jong-hun itu. Karena itu wajar jika Korut banjir pujian meski kalah.
Kim mengatakan bekal utama timnya adalah tekad untuk mengulang kesuksesan 44 tahun silam saat menembus perempat final Piala Dunia 1966 dengan menekuk Italia 1-0. Manurut dia anggota tim nasional Korut 1966 yang masih hidup telah memberikan nasihat kepada tim nasional yang sekarang. Cerita Korut di Piala Dunia tahun 1966 ini sempat difilmkan oleh Daniel Gordon dengan judul “The Games of Their Lives” dengan sub judul “The Greatest Shock in World Cup History”.
Cerita lain soal fenomena dua Korea ini datang dari ranah dukungan atau superter. Korsel jelas, banyak superter yang datang ke Afsel dan di negerinya sendiri siarangsung dan infrastruktur untuk nonton bareng tentu sangat memadahi. Maklum, Korsel negara yang cukup maju dan mantan tuan rumah Piala Dunia. Lalu bagaimana dengan Korut?
Sempat dikabarkan bahwa pemain Korut tak akan mendapat dukungan supporter dari negaranya karena negeri yang diembargo dan dimusuhi negara Barat ini akan kesulitan merelay siaran Piala Dunia. Merelay dari Korsel jelas tak mungkin. Alternatifnya merelay dari Cina. Selain itu di negeri Komunis itu orang susah bepergian ke luar negeri. Banyak kejadian warga Korut yang keluar dieksekusi mati karena dinilai berkhianat.
Namun cerita itu seolah tertepis dengan hadirnya sekitar 300-an suporter Korut di Afsel. Sebanyak 50-an suporter Korea Utara dengan atribut merah-merah terlihat hadir di Stadion Ellis Park, Johannesburg, menyemangati timnya saat melawan Brazil.
Salah satu superter Korut yang berusia 43 tahun, Kim Yong Chon, kepada www.smh.com.au mengatakan 300 orang supporter ini dan akan bertahan hingga laga terakhir Korut. Uniknya ternyata mereka tidak hanya mendukung Korut saja, tapi juga bersimpati pada Korsel. Alasannya mungkin solidaritas serumpun dan sesemenanjung.
Sampai saat ini permainan dua Korea masih dinilai bagus. Jika terus dipertahankan bahkan ditingkatkan bukan mustahil dua ginseng akan bertemu. Saat ini keduanya memang ada di grup yang berbeda. Korut berada di Grup G bersama Brasil, Pantai Ganding, dan Portugal, sedangkan di Korsel berada di Grup B bersama Argentina, Yunani, dan Nigeria.
Menarik memang jika kedua negara Semenanjung Korea ini bertemu dan bertarung. “Perang sudara” ini pasti akan menjadi perhatian dan akan semakin membuat dua Korea itu menjadi fenomena di Piala Dunia kali ini. Jika berhasil lolos terus, memang kedua Korea ini berpeluang bentrok di babak semifinal.
Nah, kita tunggu saja apakah dua Korea ini benar-benar bisa “perang” di lapangan hijau. Jika benar terjadi saya berharap “perang saudara” hanya terjadi di Piala Dunia, bukan malah memicu ketegangan baru di Semenanjung Korea. Saya berharap dua Korea hanya berperang dengan bola, bukan rudal.
Saya membayangkan bagaimana jika dua negara itu tidak berseteru tapi bersatu. Seperti negara Jerman Timur dan Jerman Barat yang melebur menjadi Jerman. Kalau benar terjadi, saya yakin mereka juga akan sekuat tim Panser Jerman. Tapi yang jelas saat ini dua Korea adalah fenomena dan mengangkat kasta Asia di Piala Dunia.