Ganesha dari Surakarta

Hulu dengan wujud gajah selalu identik dengan hulu dari Kulonan atau bagian Barat Pulau Jawa. Hulu ini dikenal sebagai Garan Gajahan yang digunakan di keris dari Tegal atau Pasundan. 

Namun sebenarnya di bagian Tengah Pulau Jawa juga ada hulu dengan wujud gajah. Hulu ini adalah hulu atau jejeran keris Surakarta yang berupa hulu seperti Tunggak Semi namun berkepala gajah, berambut, dan bermahkota.

Jejeran ini di kalangan perkerisan dikenal dengan nama Jejeran Liman Raja. Nama ini kemungkinan disematkan karena wujud jejeran ini adalah liman atau gajah dengan mahkota laiknya seorang raja.

Susuhunan Pakubuwono X yang selama ini disebut sebagai pemrakarsa jejeran ini. Hulu ini dibuat bersama hulu figuratif lainnya yang banyak di buat oleh PB X bukan sebagai hulu fungsional tapi sebagai hulu koleksi atau pusaka.

Di era PB X, mranggi kraton diperintah untuk banyak memproduksi hulu figuratif yang diukir dengan gaya naturalis. Bentuknya berupa tokoh wayang, termasuk punakawan, manusia, prajurit, sultan, adipati, pangeran-pangeran, sampai mahluk-mahluk ajaib, yang kesemuanya mempunyai arti khusus. (Suhartono Rahardjo, 2003, Ragam Hulu Keris Sejak Zaman Kerajaan. hal. 37).

Meski banyak dibuat di era PB X, namun hulu figuratif sebenernya sudah ada sejak era Mataram. Menurut Mranggi PB X Mas Ngabehi Nayawirangka III, hulu figuratif sudah ada sejak era Sultan Agung yang tertuang dalam Serat Raja Kapa-kapa (Mas Ngabei Nayawirangka III, 1937, Kawruh Jejeran. hal. 16)

Jejeran figuratif, menurut Nayawirangka III termasuk dalam jejeran pakem Surakarta. Ada tiga 4 jenis wangun atau dhapur jejeran pakem ini yaitu: Wangun Tunggak Semi, Wangun Samban, Wangun Sambegan, dan Wangun Gana. (Nayawirangka III (1937) hal. 13).

Wangun Tunggak Semi adalah yang seperti saat ini banyak dikenal dan dipakai di keris Surakarta. Wangun Samban adalah yang memakai kepala tokoh wayang yang juga dikenal sebagai Jejeran Sirah Wayang. Wangun Sambegan adalah seperti Tunggak Semi tapi tidak ada cecekan-nya. Ini biasanya digunakan untuk keris masyarakat kalangan bawah (Rahardjo, 2003, hal. 35).

Sementara Wangun Gana adalah hulu figuratif berbentuk manusia, prajurit, dan lain sebagainya. Hulu ini sebagaimana disebut di atas marak dibuat di era PB X.

Dari kategorisasi wangun atau dhapur jejeran, hulu yang dikenal sebagai Liman Raja ini masuk dalam Wangun Samban. Karena dia berupa Jejeran Tunggak Semi dengan kepala wayang atau sirah wayang(Garrett Solyom dan Bronwen Solyom, 1978, The World of Javanese Keris. hal. 30)

Jejeran Wangun Samban atau kadang disebut Nyamba ini, selalu memakai kepala dari figur wayang dan kebanyakan dibuat dari bahan kayu yang diukir detail. Ada yang kemudian disungging atau diwarnai, namun ada pula yang tidak, jika pembuatannya rapi dan cermat atau ukirannya bagus. Namun ada pula Jejeran Samban yang di dibuat dari tanduk, gading, atau bahan logam perak dan emas (Rahardjo, 2003, hal. 35).

Tokoh wayang yang dipakai misalnya Samba (yang dari tokoh ini nama Samban berasal), Rajamala, Burisrawa, Anoman, Cakil, dan lain sebagainya. Bentuk kepalanya mirip seperti wujud wayangnya. 

Sementara kalau abstrak, tidak masuk Wangun ini. Misalnya Samba yang diabstrakkan jadi wanda Samba Keplayu di Wangun Tunggak Semi. Atau Tunggak Semi wanda Gatotkaca Seba.

Dari sini kita jadi tahu bahwa Jejeran Liman Raja ini salah kaprah dalam penyebutan atau penamaan. Sebab tidak ada tokoh Raja Gajah atau Liman Raja di wayang. 

Lalu figur siapakah yang ada di jejeran ini?

Itu adalah figur Dewa Ganesha yang di wayang Jawa dikenal sebagai Bathara Ganesa atau Bathara Gana. Ganesha versi wayang juga merupakan sosok berbadan manusia dan berkepala gajah, namun tangannya hanya dua, tidak empat seperti versi dewa Hindu.

Di pewayangan, Batara Ganesa adalah putra Batara Guru atau Sang Hyang Manikmaya dengan Dewi Uma. Kepada Bathara Narada, Bathara Guru menyampaikan keinginan untuk memiliki putra yang ahli pengetahuan.

Untuk mewujudkan hal itu, Batara Narada kemudian punya ide menggabungkan gajah memiliki daya ingat yang kuat dan volume otak yang besar dengan otak manusia. Dia lalu meminta Batara Indra menuntun gajahnya secara diam diam di belakang Dewi Uma. 

Maka pada saat Dewi Uma menoleh kebelakang, dia sangat terkejut melihat gajah Batara Indra. Hal itu kemudian mempengaruhi kehamilannya yang pada akhirnya melahirkan bayi berbadan manusia berkepala gajah (Heru S. Sudjarwo, Sumari, & Undung Wiyono, 2010, Rupa & Karakter Wayang Purwa. hal. 110-111).

Soal keistimewaan Dewa Ganesha atau Bathara Ganesa alias Bathara Gana, sudah pernah saya jelaskan di tulisan saya sebelumnya soal hulu gajah. 

Lalu mengapa jejeran Ganesha Surakarta ini disebut Liman Raja?

Itu penyebutan yang salah kaprah. Hal itu diduga karena penyebut awal atau yang menamai demikian, hanya melihat ada kepala gajah atau liman dan memakai mahkota seperti raja. Lalu dinamakan saja Liman Raja.

Padahal jika tahu wayang dan karakternya, wujud di jejeran tersebut jelas-jelas Bathara Ganesa atau Bathara Gana. Mahkota atau tutup kepalanya pun tutup kepala khas para bathara atau dewa, bukan mahkota raja.

Apalagi jejeran tersebut masuk wangun Samban, di mana semua figur yang dipakai di wangun itu adalah figur wayang. Lalu, sekali lagi, tidak ada Liman Raja di wayang baik di kelompok Dewa (Bhatara), Ramayana, maupun Mahabarata. Yang ada adalah Ganesha atau Bathara Gana.

Demikian penjelasan soal hulu Ganesha dari Surakarta. Semoga setelah ini kita tidak keliru lagi menyebut atau menamai jejeran ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *