Ingin Kelapa Sawit dan Jalan yang Lebih Baik

bersama tim Depsos siap menembus hutan

Deretan rumah kayu sederhana berjajar di pinggir jalan yang becek. Tiang-tiang kecil dari kayu ulin menyangga rumah-rumah itu dari rawa-rawa di bawahnya. Suasana terasing masih sangat terasa di kawasan terletak jauh di tengah hutan itu. Akses satu-satunya ke wilayah itu hanyalah jalan yang menjadi kubangan lumpur di waktu hujan.

Itulah suasana Desa Jonggon yang masuk dalam Kabupaten Kutai Kertanegara. Untuk mencapai desa yang ada di Kecamatan Loakulu tersebut, perlu perjuangan yang ekstra keras. Sebab jaraknya sekitar 70 KM dari Tenggarong, kota terdekat.

Jarak itu, harus ditempuh selama berjam-jam dengan jalan seadanya, ditambah beberapa medan berlumpur yang hanya bisa dilewati oleh kendaraan off road bergardan ganda. Seperti mobil Mitsubishi Strada yang dijadikan mobil Rescue Depertemen Sosial, yang sering digunakan menembus daerah tersebut.

Desa Jonggon adalah salah satu dari Komunitas Adat Terpencil (KAT) binaan Depsos yang ada di Kalimantan Timur. Desa itu dihuni oleh suku Dayak Basap yang berbaur dengan para transmigran asal Temanggung Jawa Tengah.

Di sana juga ada transmigran dari daerah lain seperti Poso dan Aceh. “Kebanyakan dari Temanggung, tapi ada juga yang dari Poso dan Aceh,” kata Jumari, salah satu warga desa saat berbincang dengan saya.

Jumari yang sehari-hari bekerja sebagai petani itu mengatakan, di desa yang dihuni sekitar 750 kepala keluarga atau sekitar 2500an warga tersebut, hanya memiliki satu sekolah. Di sekolah itu, SD dan SMP dijadikan satu atap. Hal itu diperparah lagi dengan jumlah pengajar yang hanya tiga orang termasuk kepala sekolahnya.

rumah di komunitas adat terpencil

Jonggon juga sangat jauh dari fasilitas kesehatan dan bantuan medis sehingga warga sering terserang berbagai penyakit termasuk malaria. “Sebenarnya di sini ada Puskesmas, tetapi tidak dipakai karena tidak ada tenaga medis,” ungkap Jumari.

Jumari mengeluhkan rusaknya jalan satu-satunya yang ada dikampung itu setiap musim hujan tiba. Sehingga warga desa keseulitan bepergian dari daerah terpencil itu. Terutama saat ingin menjual sayuran dan hasil ladang keluar desa.

Hal senada juga diungkapkan Kepala Adat Desa Jonggon M. Holansah. Dia mengatakan kesulitan terbesar yang dialami oleh warga adalah masalah jalan desa yang selalu rusak diterpa hujan. Karena itu, dia menginginkan jalan yang lebih baik bagi desanya.

Holansah mengatakan sebelum tinggal di desa itu, Suku Dayak Basap berladang secara berpindah-pindah. “Tahun 70an kami masih di ladang, 2002 kami mulai diberdayakan dan dibuatkan rumah oleh pemerintah,” tuturnya.

Setelah diberdayakan Depsos, dia mengakui banyak kemajuan dalam kehidupan warga. Apalagi warga desa yang sehari-hari menjadi petani dan berburu itu juga mendapat bantuan sapi dan listrik (genset). Namun dia berharap Pemda dan Depsos mau membantu warganya untuk membuatkan setifikat lahan dan membuatkan kebun kelapa sawit. “Kami pak ingin punya kelapa sawit,” katanya polos.

Sementara itu, Pegawai Kecamatan Luakulu Muhaji yang menjadi guide perjalanan mengatakan bahwa semenjak diberdayakan Depsos, suku asli tidak lagi hidup berpindah-pindah. Mereka kemudian tinggal berdampingan dengan para transmigran di desa tepi anak sungai Jembayan itu. “Mereka juga banyak belajar dari para penduduk pendatang, terutama dalam membuka ladang dan cara bercocoktanam,” tuturnya.

Muhaji yang pernah bekerja di Dinas Sosial itu menjelaskan, saat ini penduduk terus mendapat bantuan untuk pemberdayaannya. Melalui program KAT Depsos dan program Gerbang Dayaku dari Pemda yang memberikan dana simpan pinjam total Rp dua Miliyar.

Sembari menunggu bantuan agar jalan desa yang lebih mirip kubangan itu segera dibuat lebih layak. “Agar mudah memasarkan hasil ladang,” kata Muhaji yang tentu akan diamini seluruh warga desa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *