Suatu waktu, Kota Madinah dilanda kekeringan yang sangat parah. Panas dan dahaga melanda, namun sumur-sumur di sana tak ada yang menyisakan airnya.
Satu-satunya sumur yang masih ada airnya adalah Sumur Raumah. Air di sumur itu debitnya cukup untuk memenuhi kebutuhan air penduduk Madinah di masa sulit ini.
Tapi sayangnya sumur ini milik seorang Yahudi. Dia memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan dengan memonopoli sumur itu dan mematok harga yang sangat tinggi bagi siapapun yang berminat mengambil air di sana.
Masyarakat pun resah. Mereka keberatan dengan tingginya harga, terutama mereka yang dari kalangan miskin papa.
Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin merasakan keresahan rakyatnya dan segera mencari solusinya.
Meski sebagai kepala negara, Rasulullah tidak serta-merta mengambil alih sumur itu, meski untuk kemaslahatan bersama. Sebab sumur itu adalah hak milik Si Orang Yahudi dan Islam menghormati hak milik pribadi.
Lalu Nabi pun meminta para sahabatnya untuk membantu membebaskan sumur tersebut.
“Wahai sahabatku, siapa saja di antara kalian yang mau menyumbangkan hartanya untuk dapat membebaskan sumur itu, lalu menyumbangkannya untuk umat, maka dia akan mendapatkan surganya Allah Ta’ala”
Kemudian Utsman Bin Affan RA menyanggupi hal itu. Utsman adalah sahabat yang terkenal sangat kaya sekaligus sangat dermawan. Utsman juga menantu Rasulullah.
Utsman pun langsung mendatangi Orang Yahudi pemilik sumur. Dia mengutarakan minatnya untuk membeli sumur itu. Negosiasi berlangsung alot. Meski Utsman sudah menawarkan harga yang sangat tinggi, tetap saja ditolak.
Bagaimana tidak, dengan memonopoli, Si Yahudi bisa panen keuntungan yang berlimpah ruah. Maka tawaran berapapun akan sulit menggoyahkan posisi ini.
Tapi bukan Utsman jika tidak punya kecerdikan untuk melawan itu. Dia lalu mengubah tawarannya. Jika awalnya Utsman berniat membeli kepemilikan sumur secara penuh, kali ini dia bilang ke Si Yahudi hanya akan membeli kepemilikan sumur setengahnya saja.
Tawaran baru Utsman ini membuat Si Yahudi goyah. Dia lalu menyetujui tawaran Utsman. Dia terbayang keuntungan ganda, dapat uang besar namun tetap tidak kehilangan kepemilikan sumur itu.
Lalu disepakati pembagian kepemilikan dan pemanfaatan antara Si Yahudi dan Utsman. Yaitu satu hari sumur itu dikuasai Utsman, hari berikutnya dikuasai Si Yahudi. Begitu terus secara bergantian.
Saat tiba giliran menguasai sumur, Utsman menggratiskan airnya. Semua orang apapun sukunya apapun agamanya boleh menimba air di sana. Dengan cerdik dia juga berpesan agar mereka ambil air untuk dua hari, sebab esok hari yang menguasai sumur itu adalah Si Yahudi.
Maka masyarakatpun berbondong-bondong mengambil di saat sumur itu jadi milik Utsman. Lalu nyetok dua hari. Maka saat giliran jadi milik Si Yahudi, tak seorang pun datang dan membeli air. Si Yahudi yang membayangkan untung double malah kehilangan pembeli dan kemudian bangkrut.
Dia kemudian mendatangai Utsman dan meminta agar sumurnya dibeli sepenuhnya. Lalu Utsman membeli kepemilikan sumur itu secara penuh. Jika di awal dia membeli separuh kepemilikan sumur dengan harga 12.000 dirham, akhirnya separuh lagi dijual Si Yahudi lebih murah yaitu 8.000 dirham saja. Total nilai pembelian sumur itu 20.000 dirham (sekitar 3 Miliar rupiah). Sebuah angka yang fantastis di kala itu.
Dengan kecerdikan Utsman berhasil mengakhiri monopoli sumur Yahudi.
Setelah memiliki sumur itu secara penuh. Utsman kemudian mewakafkan jadi properti milik publik. Siapaun bisa memanfaatkan Sumur Raumah itu.
Kemudian di sekitar sumur itu pun tumbuh pohon kurma dan menjelma jadi perkebunan kurma. Buahnya pun bisa dimanfaatkan siapa saja yang membutuhkannya.
Sampai hari ini, Sumur Utsman ini airnya masih mengalir. Kebun kurmanya pun masih membuahkan hasil.
Hasil panen kebun itu oleh Pemerintah Arab Saudi dimasukkan ke rekening atas nama Utsman Bin Affan. Dana itu dipakai untuk membantu fakir miskin, anak yatim piatu, dan golongan lain yang membutuhkan.
Kisah Utsman memberikan kita banyak teladan. Soal melawan kesemena-menaan dengan kecerdasan, soal empati dan berbagi, pemerataan hak, soal keadilan sosial, dan banyak hal lainnya yang bisa kita ambil hikmahnya.
Teladan ini makin relevan untuk kondisi susah seperti kondisi pandemi saat ini. Kita tahu banyak orang yang memanfaatkan kesusahan untuk meraup keuntungan, seperti yang dilakukan Si Yahudi dengan sumurnya.
Bedanya kalau saat ini yang dengan memainkan harga barang, obat, makanan atau hal lainnya yang tujuannya mencari kesempatan dalam kesempitan. Empati kesetiakawanan sosial, dan nilai kemanusiaan lainnya dibuang jauh-jauh demi keuntungan pribadi.
Padahal harusnya yang dilakukan di saat seperti ini adalah seperti apa yang dilakukan Utsman. Karena itulah yang harusnya dilakukan oleh manusia kepada manusia lainnya.
Rasulullah mengajarkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama manusia lainnya.
Utsman sudah lama tiada, namun manfaat dari kebaikannya masih terasa, abadi sampai hari ini.