Kepang adalah struktur dengan pola tertentu yang dibentuk oleh jalinan atau anyaman dari dua atau lebih helai bahan tertentu. Kepang atau braid ini sejak dahulu kala menjadi bagian dari budaya berbagai bangsa dan diterapkan pada rambut, logam, tekstil, sampai bangunan.
Kepang ini mengingatkan memori masa kecil di mana saya hidup di desa dengan Budaya Jawa yang kental. Saat itu rumah-rumah di sana kebanyakan dibuat dengan dinding Kepang dari bambu yang disebut gedheg.
Kepang dari bambu ini juga dipakai untuk membuat topi petani yang disebut caping. Juga untuk membuat Kuda Lumping yang dalam Bahasa Jawa disebut Jaran Kepang.
Sementara di depan rumah, ibu-ibu merajut rambut anak gadisnya yang dikenal sebagai aktivitas ngepang. Biasanya Kepang di rambut gadis ini dibuat dua helai dan menjuntai di kiri dan kanan.
Aktifitas yang dilakukan dengan Kepang membuat Kepang bukan kriya semata. Tetapi merupakan seni sosial dan simbol persatuan dan kebersamaan.
Jaran Kepang atau Kudang Lumping jadi acara berkumpul dan bergembira menikmati hiburan. Ngepang rambut, juga jadi acara bersosialisasi ibu-ibu membahas berbagai masalah. Biasanya juga dilakukan bersama aktifitas lain yaitu petan atau cari kutu rambut.
Aktifitas ini juga bisa dilakukan ibu-ibu sambil membuat anyaman untuk kerajinan bambu atau rotan, juga tikar. Atau saat merajut atau menenun kain.
Kepang dari bambu sebagai dinding rumah juga menandai aktivitas sosial. Karena dahulu di desa mendirikan rumah dilakukan bersama-sama atau gotong royong oleh warga yang disebut sambatan.
Dalam acara itu warga suka rela memberikan tenaga, tanpa biaya, jauh dari komersialisasi. Murni kerja sosial. Sementara tuan rumah bersedekah makanan dan minuman, yang disantap sambil berbincang membahas berbagai masalah, di saat pekerjaan telah selesai.
Kepang adalah simbol persatuan, kebersamaan, dan pembauran. Dia menyatukan dan menjalin helai-helai yang terpisah jadi satu, menyatu, dan kuat. Helai lemah bersatu jadi kuat, bahkan bisa melindungi, seperti gedheg yang menjadi dinding pelindung.
Maka saya kurang setuju jika sapu lidi dijadikan simbol persatuan. Karena di sapu lidi, lidinya bersatu karena satu ikatan (tali sapu). Model persatuan seperti ini rawan bubar atau ambyar, saat tali atau pengikatnya putus.
Sementara persatuan di Kepang lebih solid karena semua helai berperan dalam persatuan. Saling menganyam dan memperkuat. Jika satu atau beberapa helai diambil ataupun lepas, anyaman tidak serta merta bubar.
Persatuan dalam kehidupan sosial itu penting. Apalagi jika masyarakatnya majemuk. Persatuan adalah prasyarat harmoni, dan harmoni adalah prasyarat kedamaian.
Tanpa persatuan juga tak akan ada kekuatan. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.
Selain itu, Kepang ini juga unik. Karena saat muncul di rambut atau tekstil jadi keindahan. Saat muncul di gedheg jadi kekuatan, dan saat muncul di tikar jadi kenyamanan. Dia bisa jadi apa saja yang kesemuanya itu sangat dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya.
Filosofi atau nilai didaktis yang ada pada kepang itulah yang menginspirasi saya membuat keris dengan pamor Kepang. Pamor Kepang ini adalah pamor kreasi baru yang muncul belakangan terutama di Era Kamardikan. Seperti Pamor Poleng yang diperkenalkan Empu Pauzan Pusposukadgo.
Pamor Kepang ini bagi saya layak disandingkan dengan pamor-pamor pakem klasik. Selain filosofinya yang bagus, juga indah secara estetika.
Membuatnya juga rumit dan menunjukkan metode tata pamor empu sekarang pun tak kalah dengan para pendahulunya. Terima kasih Empu Jamil yang membantu mewujudkan keinginan saya memiliki keris dengan pamor ini.
Untuk dhapur kerisnya saya pulih Tilam Upih. Tilam adalah alas tempat tidur, sementara Upih adalah pelepah Pinang (Areca catechu) yang seperti tabung. Jadi Tilam Upih adalah semacam tikar dari anyaman pelepah Pinang untuk tidur. Karenanya dhapur ini dipakai untuk menyimbolkan (atau tuahnya) ketenangan, ketentraman, kedamaian, dan melindungi dari hal negatif.
Dhapur ini menurut saya yang paling pas dengan Pamor Kepang. Karena Tilam Upih kan wujudnya juga berupa anyaman atau Kepang. Jadi dhapur dan pamor kerisnya makin pas dengan filosofi kepang.
Untuk namanya saya namai keris ini Kiai Kepang.
Sedangkan untuk sandangannya, saya juga membuat keris ini nyandang Kepang. Semua harus serba Kepang agar nyawit atau serasi senada.
Dimulai dengan warangka Ladrang Surakarta dari kayu Cendana Jawa dengan motif ngamam kepang. Nganam kepang adalah motif kayu yang seperti anyaman Kepang. Hulu atau jejeran-nya juga dibuat dari kayu yang sama.
Lalu pendoknya dari perak pakai motif Kepang juga. Demikian pula dengan selutnya dari perak juga dengan motif Kepang.
Pendok dengan motif Kepang ini ada di pendok keris klasik gaya Surakarta. Tapi kalau selut motif kepang saya belum pernah lihat. Tapi sengaja saya buat agar nyawit dengan pendok dan warangkanya.
Meski pakai gaya Surakarta, semua sandangan-nya dibuat di Yogyakarta. Biar Solo dan Yogya makin bersatu hehe.
Maka jadilah keris yang serba Kepang. Dari bilah sampai warangkanya Kepang semua.
Semoga keris Kiai Kepang yang nyandang Kepang ini bisa jadi pengingat filosofi Kepang yang bagus diterapkan dalam kehidupan.